Sabtu, 15 Desember 2018
Terperangkap Di Neraka Karena Lisan
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
Sebahagian orang mengatakan, lidah memang tidak bertulang. Mungkin ada benarnya, sebab banyak di antara manusia bahkan kaum muslimin yang tidak mampu mengendalikan lidah atau lisannya. Lidah mudah menjulur dan bergerak kian kemari tanpa kendali, dan akhirnya menjadi panglima baginya, yang mesti diperturutkan apapun kehendaknya. Jika lidah telah menjadi panglima, maka berapa banyak dosa dan kesalahan yang dapat ditimbulkan olehnya?. Berapa banyak kerusakan dan kehancuran yang disebabkan olehnya?. Dan berapa banyak pula akibat buruk baginya dan bagi orang lain yang dapat dihasilkan olehnya??.
Mengenai hal ini, perhatikan beberapa nash hadits berikut ini yang menerangkan bahwasanya kebanyakan dosa yang diperbuat manusia itu ada pada lisannya. Dan juga menjabarkan tentang peranan lisan di dalam menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan dan kehancuran, jika mereka tidak dapat atau enggan mengendalikannya.
Dari Syaqiq berkata, Pernah Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu anhu bertalbiyah di atas bukit shofa. Kemudian berkata, “Wahai lisan, berkatalah yang baik niscaya engkau akan memperoleh kebaikan atau diamlah niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesal”. Mereka bertanya, “Wahai Abu Abdurrahman (maksudnya; Ibnu Mas’ud), Apakah ini suatu ucapan yang engkau ucapkan sendiri atau yang engkau pernah dengar?”. Beliau radliyallahu anhu menjawab, “Tidak, bahkan aku telah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ
“Kebanyakan dosa anak-anak adam itu ada pada lisannya”. [HR ath-Thabraniy, Abu asy-Syaikh dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1201, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 534 dan al-Adab: 396].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اْلجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَ حُسْنُ اْلخُلُقِ وَ سُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ قَالَ: اْلفَمُ وَ اْلفَرَجُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau juga ditanya tentang sesuatu apakan yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. [HR at-Turmudziy: 2004, Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan sanadnya, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1630, Shahih Sunan Ibni Majah: 3424, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 977 dan Misykah al-Mashobih: 4832. Di dalam satu riwayat; Beliau menjawab, “Dua lobang yaitu mulut dan farji”].
Dalil di atas dengan jelas menerangkan bahwa dosa yang banyak dikerjakan oleh manusia dan yang memasukkan lagi menjerumuskan mereka ke dalam neraka adalah lisan mereka. Dengan lisan, mereka berdusta, bersaksi atau bersumpah palsu, mencacimaki, mencela, mengutuk, berkata-kata keji, mengejek, berfatwa tanpa dasar syar’iy, berdakwah kepada kesesatan, melakukan buhtan (memfitnah), meng-ghibah (menggunjing) dan lain sebagainya dari amalan lisan.
Namun di masa sekarang ini dosa lisan banyak juga yang dituangkan dalam bentuk tulisan di buku-buku, majalah-majalah, tabloid-tabloid, surat-surat kabar, tulisan di internet melalui fesbuk, twitter dan semisalnya. Bahkan terkadang dijumpai bahasa tulisan lebih tajam dan lebih berbahaya dari bahasa lisan, karena berdampak sangat buruk bagi seseorang, suatu komunitas ataupun masyarakat. Tiada yang selamat dari bahaya lisan ini melainkan orang yang diberi rahmat dan keutamaan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ إِنَّ اْلعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِاْلكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تعالى لاَ يُلْقىِ َلهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فىِ جَهَنَّمَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah ta’ala yang ia tidak menaruh perhatian padanya namun mengakibatkannya dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam”. [HR al-Bukhoriy: 6478, at-Turmudziy: 2314 dan Ibnu Majah: 3970. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1884, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 540, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1670 dan Misykah al-Mashobih: 4813].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ucapan itu ada yang baik dan ada yang buruk. Yang mendatangkan keridloan Allah maka itulah yang baik, sedangkan yang mendatangkan kemurkaan-Nya maka dialah yang buruk”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 10].
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. [HR al-Bukhoriy: 6018, 6019, 6136, 6138, 6476, Muslim: 47, Ibnu Majah: 3971 dan Ahmad: II/ 267, 433, 463, VI/ 31, VI/ 384, 385 dari Abu Syuraih. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 32, Shahih Sunan Ibni Majah: 3207 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6501].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ucapan itu adakalanya baik atau buruk. Siapapun yang telah mengetahui (ucapan)nya baik maka katakanlah setelah memikirkan dan memastikannya. Diam itu lebih baik dari berbicara yang tiada faidah padanya. Sepatutnya seorang hamba itu memelihara lisannya, sebab manusia itu tidaklah ditelungkupkan atas hidung-hidung mereka (di dalam neraka) melainkan lantaran hasil lisan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 388].
Katanya lagi, “Hadits ini jelas (menerangkan) bahwasanya sepatutnya tidak mengucapkan (suatu perkataan) kecuali apabila ucapan itu baik, yaitu jelas kemashlahatan (atau kebaikan)nya. Tetapi kapan saja ragu-ragu terhadap kemashlahatannya, maka janganlah berbicara”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 8].
عن عقبة بن عامر رضي الله عنهما قال: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلىَ خَطِيْئَتِكَ
Dari Uqbah bin Amir radliyallahu anhu berkata, aku pernah bertanya, “Wahai Rosululllah, apakah keselamatan itu?”. Beliau menjawab, “Jagalah lisanmu atasmu, lapangkanlah rumahmu dan menangislah atas dosa-dosamu”. [HR at-Turmudziy: 2406 dan Ahmad: II/ 212, IV/ 148, 158, V/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1961, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 888, Misykah al-Mashobih: 4837 dan al-Adab: 400].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ شَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan apa yang ada diantara dua jenggotnya (maksudnya lidah) dan juga dari keburukan apa yang ada diantara dua kakinya (maksudnya farji atau kemaluan), maka ia akan masuk surga”. [HR at-Turmudziy: 2409, Ahmad: V/ 362 dan al-Hakim: 8124. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1964, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6593 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 510].
Di dalam lain riwayat, dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dapat menjaga lisan dan farjinya karenaku, maka aku akan menjamin surga untuknya”. [HR al-Bukhoriy: 6474, 6807. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6617 dan Misykah al-Mashobih: 4812].
Mengomentari hadits ini, asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah berkata, “Wajibnya menjaga lisan dari mengucapkan apa yang tidak diperkenankan secara syar’iy dari apa yang tidak ada keperluan bagi orang yang mengucapkannya. Cobaan yang paling besar bagi seseorang di dunia ini adalah lisan dan farjinya. Barangsiapa yang dapat menjaga dari keburukan keduanya maka ia telah menjaga dari keburukan yang paling besar”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 9].
Adapun asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang berada diantara dua jenggotnya (yaitu jenggot dan kumis) adalah lisan dan yang berada diantara dua kakinya adalah farji. Sama saja apakan dia seorang pria ataupun wanita, yaitu barangsiapa yang menjaga lisan dan farjinya. Menjaga lisannya dari ucapan yang haram berupa dusta, ghibah, namimah, menipu dan selainnya. Menjaga farjinya dari berzina, liwath (homo seksual) dan sarana-sarananya, maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan menjamin untuknya surga. Maksudnya balasannya adalah surga apabila engkau dapat menjaga lisan dan farjimu.
Tergelincirnya lisan itu sama persis dengan tergelincirnya farji, sangat mengkhawatirkan sekali. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkaitkan di antara keduanya hanyalah karena pada lisan itu ada syahwat ucapan. Banyak diantara manusia yang fasih, merasa lezat dan nikmat apabila berbicara tentang kehormatan manusia. العياذ بالله [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 164].
Berkata Ibnu Baththol rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan bahwa cobaan yang terbesar bagi seseorang di dunia ini adalah lisan dan farjinya. Sebab itu, barangsiapa yang menjaga dari keburukan keduanya maka ia terjaga dari keburukan yang sangat besar”. [Fat-h al-Bariy: XI/ 310 dan Tuhfah al-Ahwadziy: XII/ 115].
Dalil-dalil dan penjelasan di atas dengan tegas memaparkan bahwa siapapun hamba muslim yang mampu menjaga lisan dan farjinya dari berbagai keburukan yang ditimbulkan oleh keduanya, maka jaminannya adalah keselamatan di akhirat berupa kenikmatan surga dan boleh jadi di dunia dia berbahagia sebab akan dipuji manusia akan keelokan dan kesantunan akhlaknya. Dari itu, cobaan yang paling berat dan sulit dihindari oleh hamba adalah lisan dan farjinya. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa menjaga umat-Nya, khususnya kaum mukminin dari keburukan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh keduanya.
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَدِّثْنىِ بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ: قُلْ رَبِّيَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَخْوَفَ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا
Dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqofiy berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah ! ceritakan kepadaku suatu perkara yang aku dapat berpegang kepadanya”. Beliau bersabda, “Ucapkanlah ! Rabb-ku adalah Allah, kemudian istiqomahlah”. Sufyan berkata, aku bertanya lagi, “Wahai Rosulullah ! sesuatu apakah yang paling engkau khawatirkan diantara yang engkau khawatirkan?”. Beliau lalu memegang lidahnya sendiri, kemudian bersabda, “Ini”. [HR at-Turmudziy: 2410, Ibnu Majah: 3972, ad-Darimiy: II/ 298 dan Ahmad: III/ 413, IV/ 485. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1965, Shahiih Sunan Ibni Maajah: 3208 dan Misykaah al-Mashoobiih: 4843].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dasarnya istiqomah adalah istiqomahnya hati.
Kapan saja hati telah istiqomah maka istiqomah pulalah semua anggota tubuh di dalam mentaati Allah Azza wa Jalla. Sesuatu yang paling besar yang harus dijaga sesudah hati adalah lisan. Sebab dia adalah penterjemah dan pengungkap hati. Oleh sebab itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika memerintahkan istiqomah, yang ia wasiatkan sesudah itu adalah agar menjaga lisan”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 13].
Jika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam saja sangat mengkhawatirkan akan bahaya lisannya atasnya, maka bagaimana dengan umatnya. Tentu seharusnya mereka lebih memiliki rasa khawatir dibandingkan dengan Beliau saw. Sebab Beliau telah nyata keimanan dan keistiqomahannya, dan apalagi tiada yang diucapkannya melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Sedangkan mereka, apa yang menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengkhawatirkan akibat buruk yang ditimbulkan oleh lisan mereka?. Duhai betapa anehnya keadaan ini.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه رَفَعَهُ قَالَ: إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ: اتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَ إِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu secara marfu’, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia menjelang pagi, maka semua anggota-anggota badannya menyalahkan lisan. Mereka berkata, “(Wahai lisan) bertakwalah engkau kepada Allah, karena kami. Maka sesungguhnya keadaan kami tergantung kepadamu. Jika kamu istiqomah, kamipun istiqomah. Namun jika kamu menyimpang, maka kamipun menyimpang”. [HR at-Turmudziy: 2407 dan Ahmad: III/ 96. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1962, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 351, Misykah al-Mashobih: 4838 dan al-Adab: 397].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Pentingnya menjaga lisan di dalam keselamatan manusia. Yang demikian itu disebabkan bahwa lisan itu adalah penterjemah hati, pengungkap dan penguasanya. Apa yang terlintas dalam hati itu akan nampak atas lisannya. Oleh sebab itu dikatakan: seseorang itu dengan dua ashghar (benda kecil) yaitu hati dan lisannya”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 17].
Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, aku bertanya, “Wahai Nabiyullah! Apakah kita akan dihukum hanya lantaran apa yang kita ucapkan?”.
Lalu Beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَ هَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فىِ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Ibumu telah kehilanganmu wahai Mu’adz. Tidaklah manusia itu ditelungkupkan di dalam neraka atas wajah-wajah atau hidung-hidung mereka melainkan hanyalah karena hasil dari lisan-lisan mereka”. [HR at-Turmudziy: 2616, Ibnu Majah: 3973, al-Hakim: 3601 dan Ahmad: V/ 231, 236, 237. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 2110, Shahiih Sunan Ibni Maajah: 3209, Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir: 5136 dan Irwaa’ al-Ghaliil: 413].
Asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah bertutur, “Terdapat penjelasan bahwasanya hamba itu dihukum dengan seluruh apa yang diucapkannya, apakah diucapkannya dengan sungguh-sungguh atau main-main. Yang dapat menelungkupkan manusia di dalam neraka dan membawa mereka kepada kebinasaan adalah apa yang keluar dari lisan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 23].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Maka waspadalah engkau wahai saudaraku dari hasil panenan ini dan jagalah lisanmu.
Barangsiapa yang menjaga lisannya hendaklah ia menjaga lisannya dari berdusta, menipu, berkata palsu, namimah, ghibah dan semua yang dapat menjauhkannya dari Allah Azza wa Jalla dan menetapkan neraka baginya. Maka wajib baginya untuk bersih darinya”. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 168].
Dalil hadits di atas menerangkan tentang pentingnya mengendalikan dan menjaga lisan, sebagaimana diperintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Barangsiapa yang dapat menjaga dan mengendalikan dari berbagai keburukan yang ditimbulkan lisan berupa dusta, namimah, ghibah, cacian, celaan, kutukan, fatwa tanpa dalil dan lain sebagainya maka ia akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan serta masuk ke dalam surga. Tetapi jika tidak, maka ia akan ditelungkupkan atas wajahnya di dalam neraka. Begitu juga ia mesti memelihara dirinya dari pengungkapan berbagai keburukan lisan yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang beredar di berbagai media, apakah surat kabar ataupun media elektronik.
Bahkan dikisahkan ada seorang wanita yang telah dikenal ibadahnya dengan baik namun ia tidak dapat mengendalikan lidahnya yakni suka mengganggu tetangganya dengannya, maka iapun masuk ke dalam neraka. Sebagaimana di dalam riwayat berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad: 88 dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: 190].
Berkaca dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu anhu di atas, dapat dimengerti bahwa kendatipun seseorang itu telah dikenal akan banyaknya jenis ibadah yang dikerjakan dari mengerjakan sholat malam setelah wajibnya, shoum sunnah pada siang harinya sesudah Ramadlan, bersedekah dan berbagai perbuatan baik lainnya. Namun jika ia tidak dapat mengendalikan lisannya berupa dusta, cacian, celaan, kutukan, sumpah serapah dan sebagainya, dan yang terbanyak biasanya adalah ghibah atau gunjingan, maka tempat yang pantas untuknya adalah neraka. معاذ الله
Simaklah apa yang di ucapkan oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Amat mengherankan bahwa ada seseorang yang dengan mudah dapat menjaga diri dari makan makanan yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum khomer, memandang sesuatu yang haram dan sebagainya, namun ia sulit untuk menjaga gerakan lisannya. Sehingga engkau dapat melihat seseorang yang dijadikan acuan dalam agama, kezuhudan dan ibadah, ia berucap dengan perkataan-perkataan yang mengundang kemurkaan Allah tanpa ambil peduli. Padahal satu kalimat saja akan dapat menjatuhkannya dengan jarak lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Berapa banyak kamu lihat orang yang mampu menjaga dari perbuatan keji dan kezhaliman, sementara itu lisannya mencela kehormatan orang-orang yang masih hidup dan juga orang-orang yang telah mati, tanpa peduli sedikitpun tentang apa yang ia ucapkan”. [Ad-Da’ wa ad-Dawa’ halaman 191 oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah].
Sudah menjadi rahasia umum, sekarang ini banyak tetangga yang tidak merasa aman dari tetangganya yang lain atau shahabat yang tidak merasa nyaman dari shahabat lainnya. Atau juga didapati seseorang tidak merasa aman dan kerasan dari kakak atau adiknya bahkan dari orang tuanya, atau juga seseorang dari anak, menantu atau mertuanya. Atau juga guru tidak merasa aman dan nyaman dari muridnya dan begitupun sebaliknya. Atau juga pemimpin dari rakyatnya atau rakyat dari pemimpinnya, dan sebagainya.
Mereka saling curiga dan waspada akan kejahatan amal atau ucapan satu dari lainnya. Jika segala perilaku seseorang saja dapat menimbulkan penilaian negatif dari orang lain maka bagaimana jika ia melakukan suatu perbuatan yang buruk atau mengucapkan suatu perkataan yang keliru, tentu akan lebih fatal lagi akibatnya. Dari sebab itu, di antara mereka ada yang khawatir segala keburukannya mendapatkan cercaan atau celaan dari selainnya dan takut menjadi bahan gunjingan (objek ghibah) sesamanya.
Sehingga sebahagian mereka ada yang berusaha meninggalkan dan menanggalkan berbagai kesalahan dan dosa itu karena takut menjadi bahan pembicaraan orang lain. Atau ada juga diantara mereka yang mengerjakannya secara sembunyi-sembunyi. Lalu kalau begitu, apatah artinya menjauhkan diri dari berbagai aib jika bukan karena Allah Subhanahu wa ta’ala??.
Meninggalkan berbagai kemungkaran adalah suatu keharusan, tetapi membuat orang lain tidak aman dan nyaman dari sebab khawatir keburukannya disebarluaskan orang lain adalah hal yang juga patut direnungkan dan diperhitungkan. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bahwasanya orang yang tidak membuat rasa aman kepada orang lain, misalnya kepada tetangga, kerabat, teman atau lainnya maka ia adalah orang yang tidak sempurna keimanannya dan tidak akan masuk ke dalam surga serta mendapatkan kedudukan yang paling buruk di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana telah dituangkan di dalam beberapa hadits berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 121 dan shahihnya: 6016, Muslim: 46 dan al-Hakim: 21. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad: 89, Mukhtashor Shahih Muslim: 33, Shahih al-Jami’ ash-Shagiir: 7675, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 549 (II/ 82)].
Di dalam shahih al-Bukhoriy dari Abu Syuraih radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman”. Ditanyakan kepada Beliau, “Siapakah dia wahai Rosulullah?”. Beliau bersabda, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”.
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat penegasan akan hak tetangga lantaran sumpah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap hal tersebut, dan Beliau mengulangi sumpahnya sebanyak tiga kali. Di dalamnya terdapat pula penafian (peniadaan) iman bagi orang yang mengganggu (atau menyakiti) tetangganya dengan ucapan atau perbuatan. Dan yang dikehendaki (oleh Beliau) adalah iman yang sempurna sebab tidak diragukan lagi bahwa orang yang berbuat maksiat itu tidak sempurna imannya”. [Fat-h al-Bariy: X/ 444].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Menahan gangguan kepada tetangga adalah termasuk dari kesempurnaan iman”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 387].
عن عبد الله بن عمرو بن العاص قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: اْلمــُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمــُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ وَاْلمــُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهىَ اللهَ عَنْهُ
Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Muslim itu adalah orang yang kaum muslimin lain selamat dari lisan dan tangannya. Orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah”. [HR al-Bukhoriy: 10, 6484, Muslim: 40, Abu Dawud: 2481, at-Turmudziy: 2627, an-Nasa’iy: VIII/ 105, ad-Darimiy: II/ 300 dan Ahmad: II/ 160, 163, 187, 191, 192, 195, 205, 206, 209, 212, 215, 224, 379, III/ 154, 372, 391, 440, IV/ 114, 385, VI/ 21, 22. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 7, Shahih Sunan Abi Dawud: 2168, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2118, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4623, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6711 dan al-Aadaab: 402].
عن أبي موسى رضي الله عنه قَالَ: قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ اْلمــُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
Dari Abu Musa (al-Asy’ariy) radliyallahu anhu berkata, mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, Islam apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 11, Muslim: 42, at-Turmudziy: 2504, an-Nasa’iy: VIII/ 106-107 dan ad-Darimiy: II/ 299. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 8, Mukhtashor Shahih Muslim: 69, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2032, 2119 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4626].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Yakni tidak menzholimi kaum muslimin dengan lisannya, apakah berupa ghibah, namimah, cacian atau yang serupa dengan itu”. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 163].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat larangan menyakiti kaum muslimin berupa ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu penyebutan lisan untuk menunjukkan atas ucapan dan tangan untuk menunjukkan atas perbuatan”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 8].
Beberapa dalil dan penjelasan di atas memaparkan tentang keindahan ajaran Islam, bahwa seseorang itu disebut muslim jika ia mampu memberi keselamatan dan kenyamanan kepada muslim lainnya khususnya dan umat manusia umumnya, dari lisan dan tangannya. Yakni tidak menzholimi kaum muslimin dari lisannya berupa ghibah, namimah, buhtan, cacian, celaan, kutukan dan selainnya. Dan tidak pula dari tangannya berupa pemukulan, pencurian, perampasan dan lain sebagainya. Namun jika ada di antara mereka yang menzholimi selainnya dengan tangan atau lisannya, sehingga ia dibenci, dihindari, dijauhi oleh orang lain akibat ulahnya itu maka ia termasuk orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah swt pada hari kiamat nanti dan tidak akan masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan abadi.
عن عائشة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: يَا عَائِشَةَ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنِ وَدَعَهُ-أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ- اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
Dari Aisyah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya sejelek-jelek kedudukan manusia di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan (atau dijauhi) oleh manusia karena takut akan kekejiannya”. [HR al-Bukhoriy: 6032, 6054, 6131, al-Adab al-Mufrad: 1311, Muslim: 2591, at-Turmudziy: 1996 dan Ahmad: VI/ 38. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 984, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1624, Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 7925, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1049 dan Misykah al-Mashobih: 4829].
Maksudnya, jika ada seorang hamba dijauhi oleh orang lain lantaran takut dan khawatir akan perbuatan buruk dan jahatnya yang ditimpakan kepadanya berupa pukulan, pencurian, penipuan dan sejenisnya dari amalan tangan, atau ghibah, fitnah, namimah, cacian dan semacamnya dari amalan lisan, maka ia adalah orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat kelak. Ia akan dijauhkan dari surga dan akan dijerumuskan ke dalam neraka dalam keadaan hina dina. Namun jika ia djauhi oleh orang lain lantaran sikapnya yang tepat dan tegas dalam mempertahankan dan memperjuangkan agama Allah maka hal itu tidaklah tercela dan bahkan kelak akan mendapat pujian dan sanjungan dari-Nya.
Bayangkan jika dirimu jadi korban dan objek dari kejahatan lisan orang lain, maka bagaimana perasaanmu?. Niscaya engkaupun akan merasakan pahit dan getirnya hidup. Engkau pasti berharap, agar orang itu menghentikan kejahatannya padamu, hilangnya keburukan yang dilakukan oleh lisan orang-orang padamu dan kehidupanmu dapat berangsur normal lagi seperti sediakala. Jika engkau tidak ingin dicubit, maka jangan sekali-kali mencubit orang lain.
Wahai saudara-saudaraku seiman, jagalah lisanmu dari mengucap berbagai hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Peliharalah tanganmu dari menulis berbagai perkara yang telah diharamkan oleh keduanya. Niscaya kalian akan selamat dari ujian dunia, fitnah kubur dan siksa neraka pada hari kiamat. Janganlah lisanmu berucap atau tanganmu menulis kecuali yang baik-baik dan diridloi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bish showab...
Lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Lisan merupakan anggota badan manusia yang cukup kecil jika dibandingkan anggota badan yang lain. Akan tetapi, ia dapat menyebabkan pemiliknya ditetapkan sebagai penduduk surga atau bahkan dapat menyebabkan pemiliknya dilemparkan ke dalam api neraka.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisannya, karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إن العبد ليتكلم بالكلمة من رضوان الله , لا يلقي لها بالا , يرفعه الله بها درجات , و إن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله , لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم
“Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan keridhoan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karena sebab perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wajibnya Menjaga Lisan
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Qotadah menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kamu katakan ‘Aku melihat’ padahal kamu tidak melihat, jangan pula katakan ‘Aku mendengar’ sedang kamu tidak mendengar, dan jangan katakan ‘Aku tahu’ sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban atas semua hal tersebut.”
Ibnu katsir menjelaskan makna ayat di atas adalah sebagai larangan untuk berkata-kata tanpa ilmu. (Tafsir Ibnu Katsir)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan makna hadits di atas adalah, “Jika engkau hendak berkata maka berfikirlah terlebih dahulu, jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut, namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu maka tahanlah dirimu (dari mengucapkan perkataan tersebut).” (Asy-Syarhul Kabir ‘alal Arba’in An-Nawawiyyah)
Ciri Muslim yang Baik
Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia mampu meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”
Oleh karena itu, termasuk di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya.
Bahaya Tidak Menjaga Lisan
Salah satu bahaya tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka meskipun itu hanyalah perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya. Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satunya adalah hadits yang telah disebutkan di atas.
Atau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)
Buah menjaga lisan
Buah menjaga lisan adalah surga. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يضمن لي ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة
“Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, dalam rangka untuk mencari keridhaan-Nya dan mengharap balasan berupa pahala dari-Nya. Semua ini adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala. (Kitaabul Adab)
Penutup
Ketika kita telah mengetahui bahaya yang timbul akibat tidak menjaga lisan, dan kita pun telah mengetahui bagaimana manisnya buah menjaga lisan, sudah sepantasnya kita selalu berfikir sebelum kita mengucapkan suatu perkataan. Apakah kiranya perkataan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya ia akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Cukuplah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala (artinya):
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18).
Juga firman Allah Ta’ala (artinya):
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang Dia cinta dan Dia ridhai.
***
Jumat, 14 Desember 2018
Doa Memohon Kemudahan Hidup
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
DOA MOHON PERBAIKI URUSAN AGAMA, DUNIA DAN AKHIRAT
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#DoaZikir
DOA MOHON PERBAIKI URUSAN AGAMA, DUNIA DAN AKHIRAT
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
Alloohumma ash-lih lii diiniilladzii huwa ‘ishmatu amrii, wa ash-lih lii dun-yaayallatii fiihaa ma’aasyii, wa ash-lih lii aakhirotiillatii fiihaa ma’aadii. Waj’alil hayaata ziyaadatan lii fii kulli khoirin, waj’alil mauta roohatan lii min kulli syarrin.
Artinya:
Ya Allah. Perbaikilah bagiku agamaku, yang merupakan benteng (penjaga) urusanku. Perbaikilah bagiku duniaku, yang menjadi tempat kehidupanku. Perbaikilah bagiku Akhiratku, yang menjadi tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan ini memunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan, dan jadikanlah kematianku sebagai pembebas dari segala keburukan
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ »
“Rasulullah ﷺ pernah berdoa sebagai berikut:
Alloohumma ash-lih lii diiniilladzii huwa ‘ishmatu amrii, wa ash-lih lii dun-yaayallatii fiihaa ma’aasyii, wa ash-lih lii aakhirotiillatii fiihaa ma’aadii, waj’alil hayaata ziyaadatan lii fii kulli khoirin, waj’alil mauta roohatan lii min kulli syarrin.
Artinya:
Ya Allah. Perbaikilah bagiku agamaku, yang merupakan benteng (penjaga) urusanku. Perbaikilah bagiku duniaku, yang menjadi tempat kehidupanku. Perbaikilah bagiku Akhiratku, yang menjadi tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan ini memunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan, dan jadikanlah kematianku sebagai pembebas dari segala keburukan [HR. Muslim no. 2720].
An Nawawi membawakan hadis ini dalam bab “Berlindung dari Sesuatu yang Telah Diamalkan dan Apa-Apa Yang Belum Diamalkan”.
Faidah hadis:
Islam adalah benteng yang melindungi seseorang agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan ketergelinciran, serta menjaga dari kesesatan dan sekedar mengikuti hawa nafsu.
Seorang Muslim beramal untuk dunianya, seaka-akan ia hidup selamanya. Dan dia beramal untuk Akhiratnya, seakan-akan ia akan mati besok.
Seharusnya umur panjang seorang Muslim dijadikan sebagaimana sarana untuk menambah amalan kebaikan dan ketaatan.
Kematian adalah kebebasan dari segala kejelekan. Maksudnya, boleh jadi seseorang di dunia hidup lama, namun hanya kerusakan yang ia perbuat. Oleh karenanya, kematian itulah yang menyebabkan ia terbebas dari banyak kejelekan.
Karena hidup yang sementara dan kematian yang pasti datang, maka hendaklah setiap hamba memerbaiki ibadahnya, dan mengokohkan amalannya, bertawakal dan selalu meminta tolong pada Allah.
Sebagai renungan!
Dari Abu Bakroh, ia berkata:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
Seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang baik?” Beliau ﷺmenjawab: “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Ia bertanya lagi: “Lalu siapa manusia yang jelek?” Beliau ﷺ menjawab: “Orang yang panjang umurnya namun jelek amalnya” (HR. Tirmidzi no. 2330 dan Ad Darimi no. 2742, Shahih Lighoirihi)
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat dan bisa diamalkan oleh kaum Muslimin sekalian.
Referensi:
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi, jilid II, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, jilid IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Kamis, 13 Desember 2018
Ummu Shibyan ( Pengganggu Bayi Dan Ibu Hamil )
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
Hantu Ummu Shibyan Itu Tidak Ada,,,
Perihal Bathil, Tidak Ada Dasar, Perkaranya tidak ada sandaran , di Dalam Al Qur'an Maupun dalam Banyak Riwayat Hadits-hadits shohih maupun Dhaif,,,,
Akan Tetapi ,,, Pada Setiap Diri Manusia !!!
Itu Di Dampingi Malaikat Dan Syaiton (Jin Qorin )
Termasuk Rasulullah Sendiri , Namun Allah Melindungi _nya Darinya, Dan Menyelamatkan Beliau Shalallahu alaihi wasallam....
Perihal Seorang Bayi Laki laki Ataupun Perempuan yang mengalami gangguan , seperti jin dan setan Seorang Ulama Yg Di Tanya Perihal Gangguan Seperti Ini, Beliau Mengisyaratkan Kepada Ayah Atau Ibu Si Bayi Untuk Membacakan Surat-surat Atau Ayat ayat Ruqyah:::
1. Satu Surah Alfatihah.
2. Ayat Kursi.
3. Qul Huwallaahu Ahad.
4. 2 Surat Perlindungan (Surat Al Mu'awwizatain)
5. Ayat ayat Ruqyah Lainnya.
6. Do'a Do'a Perlindungan Lainnya.
Berdoa dengan nya dengan penuh ketenangan, hal ini amat baik di baca oleh orang sakit maupun orang yg sehat.
مدى صحة وجود ما يسمى بأم الصبيان
السؤال: أولى رسائل هذه الحلقة رسالة المستمعة (ع. م) من المرز - ليبيا - أختنا عرضنا بعض أسئلتها في حلقة مضت وفي هذه الحلقة تسأل سؤالاً طويلاً جداً عن الحجاب وعن أم الصبيان - لعلها تقصد الحجاب من أم الصبيان - وتقول: إنها قرأت كلاماً طويلاً عن أم الصبيان مروي عن سليمان وترجو من سماحة الشيخ التوجيه وهل لهذه المسميات تأثير على الإنسان جزاكم الله خيراً؟
الجواب: باسم الله الحمد لله، وصلى الله وسلم على رسول الله، وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه.
أما بعد: فهذه الأشياء التي يقولها الناس عن أم الصبيان كلها لا أصل لها ولا تعتبر وإنما هي من خرافات العامة، ويزعمون أنها جنية مع الصبيان، وهذا كله لا أصل له، وهكذا ما ينسبونه إلى سليمان كله لا أساس له ولا يعتمد عليه، وكل إنسان معه ملك وشيطان كما أخبر به النبي ﷺ، كل إنسان معه قرين ليس خاصاً بزيد ولا بعمرو، فمن أطاع الله واستقام على أمره كفاه الله شر شيطانه كما قال النبي ﷺ: «لما قيل له: وأنت يا رسول الله معك شيطان؟ قال: نعم، إلا أن الله أعانني عليه فأسلم، أما أم الصبيان فلا أساس لها ولا صحة لهذا الخبر ولهذا القول، ولا يجوز اتخاذ الحجاب من أجلها، يعني كأن يضع الإنسان على ولده أو على بنته كتاباً يكتب فيه كذا وكذا تعوذاً بالله من أم الصبيان أو طلاسم أو أسماء شياطين أو ملوك الشياطين، أو غير ذلك لا يجوز اتخاذ ذلك، ولا تعليقها على الصبية ولا على الصبي، كل هذا منكر، لأن «الرسول ﷺ نهى عن التمائم» وهي الحجب، وقال: من تعلق تميمة فلا أتم الله له، ومن تعلق ودعة فلا ودع الله له، وقال: إن الرقى والتمائم والتولة من الشرك.
فالتمائم هي ما يعلق على الأولاد ذكورهم وإناثهم أو على المرضى لدفع المرض أو لدفع الجن تسمى تميمة وتسمى حجاب، قد يكون من طلاسم وقد يكون من أسماء شياطين، قد يكون من حروف مقطعة لا يعرف معناها، قد يكون من آيات معها غيرها، فلا يجوز اتخاذ هذه الحجب لا مع الصبي ولا مع الصبية ولا مع المريض، ولكن يقرأ عليه الرقى جائزة، والرقى الممنوعة هي التي برقى مجهولة أو برقى فيها منكر.
أما الرقى بالقرآن العظيم وبالدعوات الطيبة فهي مشروعة كان النبي ﷺ يرقي أمته، وقد رقاه جبرائيل عليه الصلاة والسلام، وقال: لا بأس بالرقى ما لم تكن شركاً، كون الصبي يقرأ عليه إذا أصابه مرض أو الصبية يقرأ عليه أبوه أو أمه أو غيرهما بالفاتحة بآية الكرسي، قل هو الله أحد المعوذتين بغير ذلك ويدعون له بالعافية أو على المرضى يقرأ عليهم ويدعى لهم بالعافية أو على اللديغ كما قرأ الصحابة على اللديغ فعافاه الله كل هذا لا بأس به، وهذا مشروع.
أما أن يقرأ عليه برقى شيطانية لا يعرف معناها، أو بأسماء شياطين أو بدعوات مجهولة هذا لا يجوز، وكذلك الحجب التي يسمونها الحروز، وتسمى الجوامع ولها أسماء، هذه لا يجوز تعليقها، وقال النبي ﷺ نهى عن تعليق التمائم وقال: من تعلق تميمة فلا أتم الله له، ومن تعلق ودعة فلا أودع الله له، ويروى عن حذيفة أنه رأى رجلاً بيده خيط من الحمى فقطعه، يعني: خيط علقه في يده لدفع الحمى، فقطعه وتلا قوله تعالى: وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ[يوسف:106].
وثبت عن عمران بن حصين أن النبي ﷺ: «وجد في يد إنسان حلقة من صفر، فقال: ما هذا؟ قال: من الواهنة، فقال له النبي ﷺ: انزعها فإنها لا تزيدك إلا وهنا - لا تزيدك إلا وهنا إلا ضعفا - فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبداً، وهذا وعيد فيه التحذير من تعليق الحجب والحلقات وأشباه ذلك مما يعلقه الجهلة أو الخيوط تعلق على المريض أو على غيره، كل ذلك ممنوع، ولا يجوز تعليقه من أجل ما يدعونه أنه أم الصبيان ولا غير ذلك، ولكن الإنسان يتحرز بما شرع الله، الله شرع لنا تعوذات، فإذا أصبح الإنسان وقرأ آية الكرسي بعد فريضة الفجر، وقرأ قل هو الله أحد والمعوذتين ثلاث مرات؛ هذا من التعوذات الشرعية، وهكذا إذا قال: أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق - ثلاث مرات - صباحاً ومساء، فهذا من التعوذات الشرعية، هكذا: باسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم - ثلاث مرات - لم يضره شيء، كما قاله النبي ﷺ يقولها صباحاً ومساء، هكذا: أعوذ بكلمات الله التامة من كل شيطان و هامة ومن كل عين لامة يقولها، كان النبي ﷺ يعوذ بها الحسن والحسين، فإذا استعملها الإنسان هذه تعوذات شرعية، وهكذا لو قال: أعيذ نفسي وذريتي وأهل بيتي بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة، باسم الله أعوذ بكلمات الله التامات من غضبه وعقابه ومن شر عباده، ومن همزات الشياطين وأن يحضرون، هذا أيضاً جاء هكذا: أعوذ بكلمات الله التامات التي لا يجاوزهن بر ولا فاجر من شر ما خلق وذرأ وبرأ، ومن شر ما ينزل من السماء ومن شر ما يعرج فيها، ومن شر ما ذرأ في الأرض ومن شر ما يخرج منها، ومن شر فتن الليل والنهار، ومن شر كل طارق إلا طارقاً يطرق بخير يا رحمن، هذا أيضاً جاء عن النبي ﷺ أنه تعوذ به عندما هجم عليه بعض الشياطين، فأعاذه الله من شرهم، فهذه تعوذات شرعية ينبغي للمؤمن أن يفعلها في صباحه ومسائه وعند نومه، وهكذا قراءة: قل هو الله أحد والمعوذتين بعد كل صلاة هي من التعوذات الشرعية مع آية الكرسي، ولكنها تكرر بعد الفجر والمغرب ثلاث مرات، قل هو الله أحد والمعوذتين تكرر ثلاث مرات بعد الفجر وبعد المغرب، وتقال عند النوم ثلاث مرات كل هذا جاءت به السنة، وهذه حروز شرعية ليس فيها تعليق بشيء، ولكنه يقولها المؤمن والله جل وعلا ينفعه بها ويحفظه بها من الشر الكثير، من شر الدنيا والآخرة. نعم.
المقدم: جزاكم الله خيراً.
Sabtu, 08 Desember 2018
Nilai Dunia Yang Begitu Rendah Dibandingkan Dengan Nikmat Akherat
Nilai Dunia Dibanding dengan Akherat
Allah Subhanahu Wata’ala dan rasul Nya telah menjelaskan dengan gamblang dan sejelas-jelasnya tentang nilai dunia dibanding akherat sebagaimana yang disebutkan berikut:
Nilai dunia yang sebenarnya telah dijelaskannya oleh Allah Subhanahu Wata’ala dengan firman Nya:
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akherat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut: 64).
Nilai dunia yang bersifat sementara, dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam firman Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآَخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akherat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. Al-Taubah: 38).
Nilai dunia diukur dengan timbangan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskannya dalam hadist beliau:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شُرْبَةَ مَاءٍ
“Kalaulah dunia sama nilainya dengan sayap nyamuk di sisi Allah, maka orang kafir tidak akan dikasih minum walau satu teguk air”. (HR. Turmudzi).
Nilai dunia diukur dengan takaran:
وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ بِالسَّباَّبَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
“Tidaklah dunia ini dibanding dengan akherat keculai seperti salah seorang di antara kalian mencelupkan jarinya ini -dan beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk- pada sebuah sungai yang besar, maka hendaklah dia mengamati bagian yang menetes”. (HR. Muslim).
Nilai dunia diukur dengan luasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskannya:
مَوْضِعُ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الُّدُنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Tempat cemeti di dalam syurga, itu lebih baik dari dunia beserta isinya”. (HR. Bukhari).
Nilai dunia diukur dengan uang dirham.
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati bangkai seekor anak kambing yang tuli (cacat), maka beliau menghampirinya dan mengangkat telinga bangkai kambing tersebut, kemudian Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوْقِ دَاخِلاً مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَيْهِ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هذَا لَهُ بِدَرْهَمٍ فَقَالُوْا مَا نُحِبّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ قَالُوْا وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عيَبْاً فِيْهِ ِلأَّنهُ أَسَكَّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلىَ اللهِ مِنْ هذَا عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lewat pada sebuah pasar, masuk dari sisi pintunya, sementara para shahabat berada pada kedua sisi beliau dan melewati seekor kambing cacat yang telah mati. Lalu beliau mengambilanya dan memegang telinganya kemudian bersabda: “Siapakah yang mau membeli barang ini dengan satu dirham?”, para shahabat berkata: “Kami tidak suka memilikinya walaupun sedikit dan apakah yang bisa kami perbuat dengannya?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah kalian senang jika memilikinya?. Para shahabat menjawab: “Demi Allah, seandainya dia hidup maka dia hidup dalam keadaan cacat sebab telinganya kecil, tuli dan apalagi kalau dia telah menjadi bangkai (kami tidak mau memilikinya), lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wasallam Bersabda::Demi Allah, dunia ini lebih hina kepada Allah dari (bangaki) ini di hadapan kalian”.
Senin, 03 Desember 2018
فإنَّ الخِلافةَ الإسلاميَّة وجمْعَ الأمَّة تحت سُلطان واحد يَحكمُهم بشِرعة الله على منهاج النبوّة
واقعيَّةٌ
عَلَوي بن عبدالقادر السَّقَّاف
المشرف العام على مؤسَّسة الدُّرر السَّنية
18 شوال 1435هـ
الحمدُ لله ربِّ العالَمين، والصَّلاة والسَّلام على رسولِ الله، وعلى آله وصحْبه ومَن والاه.
أمَّا بعدُ:
فإنَّ الخِلافةَ الإسلاميَّة وجمْعَ الأمَّة تحت سُلطان واحد يَحكمُهم بشِرعة الله على منهاج النُّبوَّة، مطلبٌ عزيزٌ يرنو إليه كلُّ مسلِمٍ في هذه الحياة، وهو من أعظمِ مقاصدِ الإسلام، وأسْمى صُورِ الوحدةِ والاعتصام التي أمَر الله ورسوله بهما؛ قال الله تعالى: {وَإِنَّ هَـٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وٰحِدَةً وَأَنَاْ رَبُّكُمْ فَٱتَّقُونِ} [المؤمنون:51]، وقال: {وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا} [آل عمران:103]، وقال صلَّى الله عليه وسلَّم: ((إنَّ اللهَ يرضَى لكم ثلاثًا ويكرهُ لكُم ثلاثًا، فيرضَى لكُم أن تعبدوهُ ولا تشركوا به شيئًا، وأن تعتصِموا بحبلِ اللهِ جميعًا ولا تفرَّقوا...)) رواه مسلم (1715)، وقد أجمع العلماءُ على وجوب تنصيب إمامٍ واحد للمسلمين، نقل الإجماع على ذلك: الماورديُّ في (الأحكام السلطانية ص 15)، وأبو المعالي الجويني في (غياثِ الأمم ص15)، والقاضي عياض في [إكمال المعلم 6/220]، والنوويُ في [شرح صحيح مسلم 12/205]، وغيرهم كثير، ونصوصُ الإجماع كثيرة مبثوثة في مظانِّها لا حاجة لإطالة المقال بذِكرها، كما أجمعت الأمَّة على أنَّ المقصد الأسمى من الإمامة أو الخلافة هو ما توارد ذِكرُه على ألسنة العلماء وفي كتُبهم، ولخَّصه الماورديُّ رحمه الله؛ إذْ قال: (الإمامةُ موضوعةٌ لخِلافة النبوَّة في حراسة الدِّين وسياسة الدنيا، وعَقْدُها لِمَن يقوم بها في الأمَّة واجبٌ بالإجماع).
فعلى هذا يكون مقصدُ الخلافة والإمامة إقامةَ المصالحِ الدِّينية والدُّنيويَّة، وتحقيقُ هذا المقصد يُمكن أن يُقيمه حاكمٌ مسلِم في قُطر من أقطار المسلمين وليس ثمَّةَ خلافة، وله السَّمع والطاعة حينئذ على مَن كان تحت إمرته، أو داخلًا تحت حُكم ولايته، وإنْ لم تكن إمامته إمامةً عُظمى؛ يقول العلَّامة الشوكانيُّ في [السيل الجرار] (4/512): (وأمَّا بعدَ انتشار الإسلام، واتِّساع رُقعته، وتباعُد أطرافه، فمعلومٌ أنَّه قد صار في كلِّ قطر أو أقطار الولاية إلى إمامٍ أو سلطان، وفي القُطر الآخَر أو الأقطار كذلك، ولا ينفُذ لبعضهم أمرٌ ولا نهيٌ في قُطر الآخَر وأقطاره التي رجعتْ إلى ولايته؛ فلا بأس بتعدُّد الأئمَّة والسَّلاطين، ويجب الطاعةُ لكلِّ واحد منهم بعدَ البَيعة له على أهل القُطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه، وكذلك صاحب القُطر الآخَر)، ونقل هذا الكلامَ وأيَّده العلَّامةُ صِدِّيق حسن خان في كتابه [إكليل الكرامة في تبيان مقاصد الإمامة] (ص 125)؛ وجلُّ أهل العلم من شتَّى المذاهب قد أجازوا تعدُّدَ الأئمَّة إذا تعذَّر على إمامٍ واحدٍ حُكمُ كلِّ بلاد المسلمين لتباعُدها.
ومهما يكُن من خلاف في هذه المسألة، فهو غير مؤثِّر في مسألتنا، وإنَّما أجازوا هذه الحالة؛ لأنَّها حالة اضطرارٍ وعجْزٍ، و(العجز مسقطٌ للأمر والنهي وإنْ كان واجبًا في الأصل) [مجموع الفتاوى] (20/61). فهناك فرْقٌ بين حالَي الاختيار والاضطرار, ومَن لم يفرِّق بينهما، فقد جهِلَ المعقولَ والمنقول، وهذا ما حصَل لكثيرٍ من الناس، فظنَّ أنَّ الدِّين لن تقوم له قائمةٌ ما لم تقُمِ الخِلافة، ولم يفرِّق بين السَّعي إلى إقامة الخِلافة الحقيقيَّة، التي أمَر الشارع بها، وبين إعلان خِلافة وهميَّة تُرضي العواطف، ولا تحقِّق مقاصد الخِلافة في الواقِع، وهذه الظنون تُشبِه ظنَّ بعض الجهلة أنَّه لن يَنشُر العدلَ ويَرفع الظلم إلَّا المهديُّ، فأوقع الطرفين في التعلُّقِ بهذين الأمرين.
والحديث عن الخلافة الإسلاميَّة، أو (الإمامة العظمى) يطول، وقد كَتَب فيه كثيرون قديمًا وحديثًا، ولا تفِي بحقِّه مقالةٌ أو بحثٌ وجيز؛ لذلك سيكون الكلام هنا مقتصرًا على إعلان الخلافة بالطريقة التي تمَّت في حاضرنا اليوم في العراق، وذلك من ناحية الواقع التاريخي والشَّرعي.
أولًا: الواقِع التاريخي
باستعراض التاريخ الإسلاميِّ يَظهر جليًّا كثيرٌ من إعلانات الخلافة الوهميَّة، سواءً عن طريق الدَّعوات المزعومة بالمهديَّة، أو عن طريق فِرَق الخوارج الضالَّة؛ وهم أكثرُ النَّاس تلهفًا للخلافة، لكنْ بغير هُدًى ولا كتابٍ منيرٍ، ويبدو - والعِلم عند الله - أنَّ هذه سِمةٌ لهم، أمَّا أهلُ السُّنَّة والجماعة فلا يُثبتون اسم الخِلافة، أو الإمامة العظمى إلَّا لِمَن ثبتَتْ له الولاية على جُمهورهم؛ بالاختيار أو التغلُّب، في شتَّى بِقاع المسلمين، وأمَّا مَن بُويع من أهل قُطْرٍ واحد، أو تغلَّب عليه، فقد ثبتَتْ ولايتُه عليهم، دون ولايتِه على مَن لم يبايعْه أو يتغلَّب عليه، وهكذا نشأتْ مسألة تعدُّد الأئمَّة التي سبَق ذكرُها آنفًا، وليستْ هذه المقالة مسوقةً لمناقشتها جوازًا، ومنعًا.
قال وهبُ بن منبِّه رحمه الله: (ما اجتمعتِ الأمَّة على رجلٍ قطُّ من الخوارج، ولو أمكن اللهُ الخوارجَ من رأيهم، فسَدتِ الأرض... وإذًا لقام أكثرُ من عَشرة أو عشرين رجلًا ليس منهم رجلٌ إلَّا وهو يدْعو إلى نفْسه بالخِلافة) [مختصر تاريخ دمشق] (26/390).
فمِن فَعائل الخوارج:
1- أنَّ شبيبًا الخارجيَّ ادَّعى الخلافة في عهد عبد الملك، ولم ينلْها، [وفيات الأعيان] (2 / 455).
2- وفي سَنة 140 للهجرة، دُعي بالخلافة لرأس الإباضيَّة عبد الأعلى بن السَّمح المعافري، واستمرَّ أربع سنوات، ثم قتله المنصور عام 144هـ [تاريخ ابن خلدون] (4 / 241).
3- وفي طَنْجة دُعي للخِلافة لأمير الخوارج، وخاطبوه بأمير المؤمنين، ثم قتله خالدُ بن حبيب الفهريُّ. [تاريخ ابن خلدون] (6 / 145).
4- ومِن هؤلاء الملك المعز إسماعيل؛ وهو مِن أصلٍ كُردي، ادَّعى أنَّه قُرشي من بني أُميَّة، وخطَب لنفسه بالخلافة، وتلقَّب بالهادي، ثم هلَك سنة 598هـ. [مختصر تاريخ دمشق] (26/390).
5- بل ربَّما دَعا أكثرُ من واحدٍ لنفْسه بالخِلافة في وقتٍ واحد! وهذا ما حصَل في الأندلس، حتى إنَّه (كان في المائة الخامسة بالأندلس وحدها سِتَّةُ أنفُس كلُّهم يتسمَّى بالخلافة). [الوافي بالوفيات] (18/5).
أمَّا دعوات المهديَّة، فهي أكثرُ من أن تُحصى، ويَكفي أنْ أُشير هنا إلى نموذجٍ معاصرٍ لها:
فقد مرَّت الأمَّة في هذه البِلاد (بلاد الحرمين الشَّريفينِ المملكة العربية السُّعودية) بشَيءٍ من ذلك عندما ظهرتْ في أواخِر القرن الرابع عشرَ (1385-1399) مجموعةٌ من طلَّاب العلم الذين تلقَّوُا العِلمَ على أيدي علماء كِبار، كالشَّيخ ابن باز والألباني رحمهما الله، وكان سَمْتُهم السُّنة، ويَظهر عليهم التقشُّفُ والتبذُّل، يَحتقِر الإنسانُ عبادتَه مع عبادتهم، وكان فيهم شيءٌ من الغلوِّ مع صِدق وإخلاص، كان زعيمُهم جُهيمان العتيبي لا يَفتأ يُسافر إلى دول الخليج، يدْعو إلى التوحيد وإلى مِلَّة إبراهيمَ عليه السلام، حتى اجتمَع حولَه كثيرٌ من الشَّباب بعيدًا عن نظر العلماء، ثم جاءت الفتنةُ العَظيمة - التي أُشبهها بفِتنة إعلان الخِلافة اليوم - ألَا وهي إعلان المهديَّة لمحمَّد بن عبد الله القَحطانيِّ صِهر جُهيمان، وكنتُ قد التقيتُ القحطانيَّ عام 1399هـ، وجالستُه، وصليتُ خلْفَه صلاةً جهريَّةً تحتقر صلاتَك معها؛ كان الإعلان عن هذه المهديَّة في غُرَّة محرَّم من عام 1400هـ، حيث دخل جُهيمان وجماعتُه المسجد الحرام لأداء صلاة الفجر، وما إنِ انقضتْ صلاة الفجر، حتى قام جهيمان وصِهرُه أمامَ المصلِّين في المسجد الحرام؛ ليعلنَ للناس - عبْر مكبِّر صوت إمام المسجد الحرام، وكانت الصَّلاة تُنقل عبْرَ المِذياع - نبأَ ظُهورِ المهديِّ المنتظَر، واعتصامه بالمسجد الحرام! قدَّم جهيمان صهرَه بأنَّه المهديُّ المنتظَر، ومجدِّد هذا الدِّين، ثم قام جُهيمان وأتباعُه بمبايعة "المهدي المنتظَر" أمامَ جموع المصلِّين، وطلب منهم مبايعتَه، فقام عددٌ منهم وبايع، وتناقَل الناسُ الخبر، وافتتن به كثيرٌ من الشَّباب -كفتنةِ بعضهم اليوم بإعلانِ الخلافة-؛ فمنهم مَن سافر ليبايعَه، ومنهم مَن بايع وهو في مكانه، ومنهم من تردَّد واحتار، وكنَّا نقول لهم: هذه فتنةٌ دهماء، يُرجَع فيها إلى العلماء الرَّبانيِّين الصادقين؛ فإنَّ الله تعالى لا يَجمع قولهم على ضلالة، فتضل بهم أمَّةُ محمَّد صلَّى الله عليه وسلَّم، فلمَّا رأى كثيرٌ من الشَّباب آنذاك أنَّ علماء المسلمين، وكبار طلَّاب العِلم والدُّعاة الصادقين في كلِّ أنحاء العالم، أنكروا هذه المهديَّةَ؛ لأنَّ الأحاديثَ الصَّحيحة والحسنةَ في المهديِّ لا تنطبِق على صِهر جهيمان، رجَع كثيرٌ منهم، وبقِي بعضُهم على رأيه، حتى تمَّ القضاء على هذه الفِتنة، وقُتل مهديُّهم، وقُتل جُهيمان ورِفاقُه، فاستيقظوا من نومِهم، وتَبدَّد حُلْمُهم، فما أشبهَ اليومَ بالأمس!
ثانيًا: الجانب الشَّرعي
مِن المقرَّر لدَى العلماء أنَّ من أهمِّ الشروط التي يجب أن تتحقَّق في الخلافة الإسلاميَّة على منهاج النبوَّة -مع اشتراطِ الإسلامِ، والبلوغِ، والعقلِ، والحريَّةِ، والذُّكوريَّةِ، والعدالةِ، والقرشيَّةِ: شَرْطَي المشورة والتمكين.
أمَّا المشورة:
فهي مشورةُ أهل الحَلِّ والعَقْد والشوكة من العلماء والوجهاء، والقادة وأهل الرأي والمشورة، القادِرين على عَقْد الأمور وحَلِّها، الذين يكون الناسُ - من أهل الدِّين والدنيا - تبعًا لهم، وليس أهلُ الحَل والعَقد مجموعةً من الناس تختارهم جماعةٌ من جماعات المسلمين، جهاديَّة كانت أو غير جهاديَّة، ثم يُطلقون عليهم مسمَّى (أهل الحَل والعَقد)، ثم يُقال لهم: هل تُبايعون فلانًا خليفةً على المسلمين؟ فيقولون: نعم! فليس كلُّ من أُطلق عليهم مسمَّى أهل الحَلِّ والعَقد يكونون فِعلًا أهلَ حَلٍّ وعَقد؛ فالأسماء لا تُغيِّر من حقيقة المسمَّيات شيئًا؛ جاء في صحيح البخاريِّ عن عُمرَ رضي الله عنه أنَّه قال: ((مَن بايع رجلًا عن غير مشورةٍ من المسلمين، فلا يُبايَع هو ولا الذي بايَعَه؛ تغِرَّةَ أن يُقتلَا))، أيْ: حذرًا أن يُقتلَا.
قال الحافظ ابنُ حجر رحمه الله في [الفتح] (12/150): ( فيه إشارةٌ إلى التحذير من المسارعة إلى مِثل ذلك، حيث لا يكون هناك مثلُ أبي بكر؛ لِمَا اجتمع فيه من الصِّفات المحمودة، من قِيامه في أمْر الله، ولِينِ جانبه للمسلمين، وحُسنِ خُلُقه، ومعرفتِه بالسِّياسة، وورعِه التامِّ، ممَّن لا يوجد فيه مثلُ صِفاته، لا يُؤمَنُ مِن مبايعته عن غيرِ مشورةٍ الاختلافُ الذي يَنشأ عنه الشَّرُّ).
والإمامة إنْ كانتْ إمامةً صغرى على بلد، فلكلِّ بلدٍ أهلُ حَلٍّ وعَقد وشوكة من عُلمائه ورؤسائه، وهذا - كما سبَق - يكون في حالات العجز والاضطرار، ولَأَنْ يَحكُم كلَّ قُطر حاكِمٌ مسلمٌ خيرٌ من أن يُترَك الناسُ فوضى لا سُراةَ لهم، أمَّا إنْ كانت إمامة عُظمى، وخِلافة إسلاميَّة، فلا تنعقد إلَّا بمشورة جمهور أهل الحَلِّ والعقد في جميع أقطار المعمورة؛ قال الإمام أبو يعلى في [الأحكام السلطانية] (1/23): (لا تنعقد إلَّا بجمهور أهل الحَلِّ والعَقْد)، وقرَّر ذلك شيخُ الإسلام ابن تيميَّة في [منهاج السُّنة] (1/526) - وهو يردُّ على بعضِ أهل الكلام الذين يرَوْن انعقاد الإمامة بالأربعة والثلاثة ودون ذلك -؛ إذ قال: (ليس هذا قولَ أئمَّة أهل السُّنة، وإنْ كان بعض أهل الكلام يقولون: إنَّ الإمامة تنعقِد ببيعةِ أربعة، كما قال بعضُهم: تنعقد ببيعة اثنين، وقال بعضهم: تنعقد ببيعة واحد، فليستْ هذه أقوالَ أئمَّة السُّنة، بل الإمامة عندهم تثبُت بموافقة أهل الشَّوكة عليها، ولا يَصير الرجلُ إمامًا حتى يوافقَه أهلُ الشوكة عليها، الذين يحصُل بطاعتهم له مقصودُ الإمامة؛ فإنَّ المقصودَ من الإمامة إنَّما يحصُل بالقُدرة والسُّلطان، فإذا بُويع بيعةً حصلَتْ بها القدرةُ والسُّلطان، صار إمامًا)، بل إنَّ الإمام أحمد رحمه الله نُقل عنه - في إحدى رِوايتيه - أنَّها تنعقد بالإجماع، فقال: (مَن وَلِي الخلافة، فأجمع عليه الناسُ ورَضُوا به، ومَن غلبهم بالسَّيف حتى صارَ خليفةً، وسُمِّي أميرَ المؤمنين، فَدَفْعُ الصَّدقاتِ إليه جائزٌ، بَرًّا كان أو فاجرًا)، وقال في رواية إسحاق بن منصور ، وقد سُئِل عن حديث النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم: ((مَن مات وليس له إمامٌ، مات مِيتةً جاهليَّة)) ما معناه؟ فقال: تَدْري ما الإمام؟ الإمامُ الذي يُجمع عليه المسلمون، كلُّهم يقول: هذا إمام؛ فهذا معناه) انظر: [منهاج السُّنة النبويَّة] (1/530).
وها هنا لفتةٌ مهمَّة، وهي التفريق بين بَيعة فِئام من الناس لرجُل منهم، وبين انعقاد الإمامة له، وجعْله خليفةً على المسلمين أجمْع، واستحقاقه للإمامة؛ قال شيخُ الإسلام ابن تيميَّة في [منهاج السنة النبوية] (1/531): ( لو قُدِّر أنَّ عُمرَ وطائفةً معه بايعوه - يعني: أبا بكر - وامتنع سائرُ الصَّحابة عن البيعة، لم يَصِرْ إمامًا بذلك، وإنما صار إمامًا بمبايعة جمهور الصَّحابة، الذين هم أهلُ القُدرة والشوكة؛ ولهذا لم يَضُرَّ تخلُّفُ سعدِ بن عُبادة؛ لأنَّ ذلك لا يَقدَح في مقصودِ الولاية؛ فإنَّ المقصود حصولُ القُدرة والسُّلطان اللَّذين بهما تحصُل مصالحُ الإمامة، وذلك قد حصَل بموافقة الجمهور على ذلك.
فمَن قال: إنَّه يصير إمامًا بموافقة واحد أو اثنين أو أربعة، وليسوا هم ذَوي القُدرة والشوكة، فقد غلِط؛ كما أنَّ مَن ظنَّ أنَّ تخلُّفَ الواحد أو الاثنين والعَشرة يضرُّه، فقد غلِط).
وأمَّا التمكين:
فلا يصحُّ لأيِّ جِهة أن تُعلن خِلافتَها على كافَّة المسلمين، وتُنصِّب إمامًا من عندها، ثم تطلُب من جميع المسلمين في كلِّ أنحاء الأرض أن تُبايعَه خليفةً للمسلمين، وهي لم تتمكَّن بعدُ، ولا تستطيع أن تَحميَ القريب منها، فضلًا عن البعيد عنها، فهذا عبثٌ وحماقة؛ فإقامة الخلافة لا تكون بمجرَّد الادِّعاءِ والإعلان؛ فأيُّ قِيمة لإعلان ليس له حقيقةٌ في الوجود؟!
فمن تغلَّب على أحدِ أقطار المسلمين، ثم سمَّى نفسه خليفةً للمسلمين، فكأنَّما زعم أنَّه تغلَّب على جميع أقطار المسلمين، وهذا أمرٌ مخالفٌ للحسِّ والواقع، ومِن ثَمَّ مخالفٌ للشرع، بل إنَّه يدلُّ على خللٍ كبيرٍ في تصوُّرِ أحكام الإمامة، وما يلحق بها.
روَى البخاريُّ ومسلم في صحيحيهما من حديث أبي الزِّناد، عن الأعرج، عن أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه، أنَّه سمِع رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يقول: ((إنَّما الإمامُ جُنَّة، يُقاتَل مِن ورائه، ويُتقَّى به)) .
قال الحافظ النوويُّ رحمه الله: (قوله صلَّى الله عليه وسلم: ((الإمامُ جُنَّة))، أي: كالسِّتر لأنَّه يَمنع العدوَّ من أذى المسلمين، ويَمنع الناسَ بعضَهم من بعض، ويَحمي بيضةَ الإسلام، ويتَّقيه الناسُ، ويَخافون سطوتَه. ومعنى ((يُقاتَل من ورائه))، أي: يُقاتَل معه الكفَّارُ والبُغاة والخوارج، وسائرُ أهل الفساد والظلم مطلقًا)، وبمثله قال ابنُ حجرٍ في الفتح، وبقيَّة شُرَّاح الحديث.
فكيف يُبايَع رجلٌ من المسلمين إمامًا عليهم وهو لا يستطيع أن يحميهم؟! فللإمامة حقوق وواجبات؛ فمَن كان عاجزًا عن أداء ما أوجبه الله عليه تُجاه رَعيَّته، فلا يُطالبهم بأداء حقِّه عليهم.
فلا يُعدُّ الرَّجُل خليفةً على المسلمين إلَّا إذا تحقَّق له بالفعل مناطُ هذه الخلافة، من حيث القدرةُ والسُّلطان على جمهور المسلمين؛ فمَن لم يكن كذلك، فإمامتُه ليستْ عُظمى، وأحسن أحوالها أنَّها إمارة على البُقعة التي يُسيطر عليها؛ فالعِبرة بالحقائق والمعاني، لا بالأسماء والمباني .
تحرُّج دولٍ إسلاميَّةٍ من إعلان الخِلافة
إنَّ النَّاظر إلى الخِلافة الإسلاميَّة من عهد الخلفاء الراشدين، حتى سقوط الخلافة العثمانيَّة، يرى أنَّ كلَّ خليفة منهم كان سلطانه ونفوذه على جمهور عريض من المسلمين في زمانه، أمَّا الخُلفاء الراشدون، والدَّولتان: الأمويَّة، والعباسيَّة، فالأمر فيها ظاهرٌ، وقد تقلَّدها الخلفاء واحدًا بعدَ آخر، وفيما يلي استعراضٌ لواقعٍ تاريخيٍّ قريب:
أ - الدَّولة العُثمانيَّة
لَمَّا ضعُفت الدولة العباسيَّة، وتَشرذَم خلفاؤها، وتقطَّعت الدولة، وأصبحتْ ممالكَ وإماراتٍ متفرِّقةً، وأصبح الخليفةُ مجرَّدَ صورة ليس له سلطان، ظهرتْ بوادر الدولة العثمانيَّة؛ ففي عام 618هـ تولَّى أرطغرل زعامةَ التركمان المسلمين، وحَكَم بقعةً كبيرة من الأراضي التركية، ولم يُعلِنْها خلافةً، ثم تُوفِّي في عام 687هـ، وخَلَفه ابنُه عثمانُ أكبر أولاده، ويُعدُّ أوَّلَ مؤسِّس للدولة العُثمانيَّة، وبدأ يتوسَّع بإمارته، حتى تمكَّن عام 688هـ من ضمِّ القلعة السَّوداء، ثم بدأ بالتوسُّع، فاتَّخذ من مدينة يني شهر - أي: المدينة الجديدة - قاعدة له، ولَقَّب نفسه باديشاه آل عثمان، واتَّخذ لدولته رايةً (وهي نفس عَلَم تركيا اليوم)، ولم يُعلِنْها خلافة، واستمرَّ الأمر حتى عهْد سليم الأول (918- 926هـ (، الذي سعى إلى توحيد الأمصار الإسلاميَّة الأخرى، التي لم تكُن تحتَ سيطرته، ولم يعلن حتى ذلك الوقت الخلافة الإسلاميَّة, فبدأ بالصَّفويِّين الذين تحالفوا مع البرتغاليِّين ضدَّ المسلمين، فهزَمهم في معركة جالديران عام 920هـ، وبعدها بأيَّام دخَل السُّلطان - وليس الخليفة - سليم الأوَّل مدينة تبريز، واستولى عليها، وما إنِ انتهى من الصَّفويِّين حتى قاتل عام 922هـ المماليك، وانتصر عليهم في موقعة مرج دابق، بعدَ أن انضمَّ إليه ولاةُ الشام، وبهذه المعركة أصبحتِ الشام كلها في قبضته، وغدت الأناضول بأكملها تحت سلطانه، ولم يُعلِنْها خلافةً, وفي عام 923هـ، وقعتْ معركة الريدانيَّة، وهي آخِر المعارك مع المماليك، وانتصَر عليهم السُّلطان سليم الأوَّل، ولم يُعلِنْها خلافةً، وبانتهاء دولة المماليك، انتهتْ خِلافة آخِر خليفة عبَّاسي، الذي كان كمَن سبقه من الخُلفاء في دولة المماليك، ليس له أيُّ سيطرة أو سلطة، ثم دخلت الحجاز في تبعيَّة الدولة العثمانيَّة, وعندها - وقيل: قبلها - أُطلق على السُّلطان سليم الأوَّل لَقَبُ خليفة المسلمين، وانتقل الحُكم العُثماني من دولة إلى خِلافة، وذلك عام 926هـ، أي: بعد أكثر من 300 عام على بَدْء حُكم آل عثمان؛ أفلا يَعتبر العَجِلون؟!
ب - الدولة السُّعوديَّة الأولى
تحالَف الإمام المجدِّد محمَّد بن عبد الوهَّاب مع الإمام محمَّد بن سعود عام 1157هـ، وبدأت الدولةُ السُّعودية الأولى بالتوسُّع والانتشار، حتى ضمَّت إليها كثيرًا من بلاد نجد، وفي عام 1165هـ خضَعت حريملاء، ثم القويعيَّة عام 1169هـ، ثم تُوفِّي الإمام محمد بن سعود عام 1179هـ، وتولَّى بعده ابنه عبد العزيز، وأكمل المسيرة مع الإمام محمَّد بن عبد الوهاب، حتى تُوفِّي الإمام عام 1206هـ بَعد أن بَسَطت الدولة السعودية الأولى في عهده سلطانَها على كثيرٍ من بلاد نجد، ولم يُعلِنْها خلافةً، مع أنَّه قاتَل مع الإمامين محمَّد وعبد العزيز قُرابةَ خمسين عامًا، وقد امتدَّ نفوذُ الدولة السعوديَّة الأولى بعدَ وفاة الإمام إلى معظم أنحاء الجزيرة العربيَّة في عهد الإمام عبد الله بن سعود، الذي انتهى حُكمه عام 1234هـ، وبه انتهتِ الدولة السعوديَّة الأولى، ولم يُعلِن أحدٌ منهم الخِلافةَ لنفسه رغمَ استمرار دولتهم قُرابةَ ثمانين عامًا.
وهنا ترِدُ أسئلةٌ عند كثيرٍ من الشَّباب:
بعضُهم يقول: نحن نُشاهِد ونَسمع ونقرأ لهؤلاء وهؤلاء، وكلٌّ يُدلي بدلْوه؛ ليثبتَ أنَّ ما عليه هو الحقُّ والصَّواب، وكلٌّ يستشهد بآياتٍ وأحاديثَ، وكلٌّ ينقُل من أقوال العلماء المتقدِّمين ما يُؤيِّد ما ذهب إليه، ثمَّ إنَّ مَن يُؤيِّد هذه الخلافةَ نجده على الثُّغور مجاهدًا مقاتلًا، ضحَّى بنفْسه من أجل هذا الدِّين، يَنكأ في العدوِّ نكأً يُفرِح به صدور المؤمنين، يكتُب تحت حَرِّ الشَّمس، وقَرِّ البَرْد، وفي المقابل نجِد مَن يُنكِرها ويردُّ على أصحابها يكتُب وهو قاعدٌ في بيته بعيدًا عن ساحات ًّالقتال، آمِن في سِربه، يكتُب وهو جالس على مقاعد وثيرة، ومِن خلْف شاشات الكمبيوتر، وتحت نعيم المكيِّفات؛ فكيف تُريدوننا نترُك كلامَ الأوَّل، ونأخذ بكلام الثاني؟!
وآخَرون يقولون: سئِمنا من كلامكم؛ ولم نرَ أنَّكم تفعلون شيئًا إلَّا الكلام؛ أمَّا هؤلاء الأبطال فقد حقَّقوا حُلمَنا الكبير، وطبَّقوا الخلافة فعلًا على الواقع بدِمائهم وسلاحهم؛ فهل نترك الواقعَ المشاهَد، الذي تحدَّثتْ عنه جميعُ وسائل الإعلام، وأرَعَب دولَ الكُفر، ونأخذ بكلام المثبِّطين أمثالكم؟!
فهذه أسئلة تَنضوي تحتَها شُبهاتٌ ثلاث:
1- مؤيِّدو الخِلافة طبَّقوها واقعًا، ومخالفوهم ليس لديهم إلَّا الكلام.
2- مؤيِّدو الخِلافة من أهل الثُّغور، ومُخالفوهم من أهل الدُّثور.
3- الجميع يستشهد بآياتٍ وأحاديثَ وأقوالٍ لأهل العلم المتقدِّمين.
وهاكم تفنيدَها:
أمَّا: أنَّ مؤيِّدي الخلافة طبَّقوها واقعًا؛ فهذا سبَق الردُّ عليه، بل المقالة كلها في ردِّ هذا الأمر، وقلنا: إنَّ العِبرة بالحقائق والمعاني، لا بالأسماء والمباني؛ فإعلانُ الشَّيءِ ليس معناه فِعلَه وتطبيقَه، وفعلُه الظاهر للعِيان ليس معناه صحَّتَه؛ ((صلِّ؛ فإنَّك لم تصلٍّ))، مع أنَّه سجَد وركَع، وخفَض ورَفَع.
وأمَّا: أنَّ مؤيِّديها من أهل الثغور، ومخالفيهم من أهل الدُّثور؛ فالردُّ على ذلك من وجهين:
الأول: سبَق الكلام عنه في مقالة سابقة بعنوان ( إشكالية الغلو في الجهاد المعاصر) عند الوقفة السَّابعة في الردِّ على مقولة: (إذا اختلف الناسُ، فاسألوا أهلَ الثَّغر)، يُمكن الرجوع إليها؛ فليس لأهل الثغور مزيَّةٌ على بقيَّة أهل الحَلِّ والعَقد من العلماء وغيرهم في اختيار خليفة المسلمين.
الثاني: أنَّ الواقع خلافُ ذلك؛ فجُلُّ أهل الثُّغور من المجاهدين، وكُبرى الجماعات والجَبَهات والتحالُفات والكتائب الجهاديَّة لم تُؤيِّد إعلانَ الخِلافة، ولم تُبايعْ خليفتَهم؛ فانقلَبَ الدليل عليهم.
وأمَّا: أنَّ الجميع يستشهد بآياتٍ وأحاديثَ وأقوالٍ لأهل العلم المتقدِّمين لتأييد ما ذهب إليه.
فأقول: ليست العبرةُ بمجرَّد الاستشهاد والنقول، بل العبرة بم يُستشهَدُ؟ وما هي المنزلةُ العِلميَّة لهذا الذي يَستشهد بالآيات والأحاديث وأقوال العلماء؟ ولو نظَرْنا لمسألتنا هذه، فإنَّنا لا نجِد من العلماء الرَّبانيِّين الراسخين في العلم، المعروفين بصَلاحهم وتقواهم وبُعْدهم عن مواطن الشُّبهات - لا نجِد منهم مَن أيَّد هذه الخلافة، بل إنَّ أشهر المنظِّرين للحركات الجهاديَّة المعاصرة ومرجعياتهم العلميَّة أعْلَنوا اعتراضَهم عليها، في حين نرَى حُدثاءَ الأسنان والمجاهيل - إلَّا القليل منهم - مَن أيَّد هذه الخلافة؛ فلو استعرضتَ العالم الإسلاميَّ من شَرْقه إلى غَرْبه، ومِن شَماله إلى جَنوبه، لرأيتَ أنَّ كافَّة علمائِه وطلَّاب العلم ودُعاته، بما يُشبه الإجماعَ منهم، يُنكرون هذه الخلافةَ، ولا يرتضونها، ولا يرَون أنَّ شروط الخلافة تحقَّقت فيها؛ أفلا يكفي هذا دليلًا على بُطلانها؟!
فالعلماء الربانيُّون الراسخون في العلم هُم المعيار الدَّقيق إذا ادلهَمَّت الخطوب، وكثرت الفتن، واضطربت الأمور، واحتار الناس، وإنَّ الله تعالى لا يَجمعهم على ضلالة.
وخلاصةُ الأمر: أنَّه إنْ بايع عمومُ المسلمين في شتَّى الأقطار واحدًا منهم، فهو خليفتُهم، وتلك الولاية خِلافة، وإلَّا فهي مجرَّد إمارة من الإمارات، ووليُّ أمْر تلك البُقعة ما هو إلَّا حاكمٌ، أو أميرٌ عليهم.
ولهذا؛ فإنَّ الولايةَ التي لا تجتمع الأمةُ عليها، ليستْ ولايةً عامَّة، ولا يجوز أن تُسمَّى خلافة وإنْ أعلنها مَن أعلنها، نسأل الله أن يردَّ ضالَّ المسلمين إلى الحقِّ، وأن يَهدينا سُبُلَ السَّلام.
والله أعلمُ، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّد، وعلى آله وصَحْبه وسلَّمَ،،
Langganan:
Postingan (Atom)
BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH
BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN
<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >> اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...

-
Data Biografi Drs. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid Saya Dapatkan Ini dari akun Facebook Beliau insya Allah Saya Terjemahkan Kedalam bahasa...
-
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah INDONESIA TITIK AWAL KEBANGKITAN ISLAM DUNIA Us...
-
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah BAI'AT ADALAH TERMASUK SALAH SATU SYARI...