Sabtu, 07 Desember 2019

KHALIFAH DAN METODE KEBANGKITAN UMMAT ISLAM

Bagi mereka yang mengaku menjadikan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagai tata cara hidupnya, maka yang mengaku sebagai pemilik Aqidah Ahli Sunnah itu Mestilah Segera Memisahkan diri (Berlepasdiri) Dari Segala Hukum hukum buatan manusia, Serta para pengembannya...!!!🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏



Bismillahirohmanirohim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Aku Berharap Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama’ah Al Khilafah.
Aku  Sampaikan Kepada Ikwan dan Akhwat Terkait Akibat mengingkari kepemimpinan islam!!!!



Assalamu  Alaikum  wa rohmatullaahi wa barakatuh!



 Segala puji dan ungkapan rasa syukur hanya milik Penguasa jagat raya ini, dialah allah yang menciptakan kamu dari manusia dan jin untuk beribadah, dialah allah yang mempersatukan kamu yang sebelum nya dahulu berpecah belah, dahulu kita saling membenci satu sama lain akibat sekte sekte yang kita yakini namun kini kita di persatukan dengan sistem islam , sistem kehidupan para mereka yang dijanjikan syurga oleh Allah dan rasulullah, sistem persatuan kaum dahulu yang terbukti dan diyakini kekuatannya hingga mereka mampu menguasai sepertiga dunia atas izin Allah Azza Wa Alaa , yaitu sistem kekholifahan Islam, khilafatul muslimin(Khilafah Milik Kaum Muslimin) Sholawat ber_Iringkan Salam Sejahtera atas Nabi percontohan seluruh ummat dalam menjalankan seluruh aspek kehidupan Nabiyullah Muhammad Shallallaahu Alaihi Wa salam ,sholawat dan salam pula atas seluruh keluarga,sahabat serta mereka yang mengikuti para tabi’in mudaKesedihanan kita semua mendapatkan sholawat itu jua. Amien Ya Robbal ‘Alamin. Dari dahulu hingga kini perbedaan pemahaman antar ummat sudah terjadi, namun dahulu mereka mampu mengendalikan perbedaan perbedaan tersebut, karna mereka selalu mengembalikan permasalahan perbadaan pendapat itu dangan merujuk kepada Al Qur’an dan As-Sunnah Yang Shohih,lain halnya sekarang ini! Mereka mempertahankan perbedaan mereka dengan dalih mereka hanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka atau pendahulu mereka, padahal belumlah tentu pendahulu mereka itu mendapat petunjuk.Kalau demikian adanya tentulah kita termasuk Orang yang Hanya mengikuti hawa nafsu jika kita tetap meneruskan kebiasaan pendahulu kita dahulu. Firman Allah dalam surat (Al-Baqarah):170 ” Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.

و إذا قبل لهم اتَّبِعوْا ما انزل الله

 ( “Dan apabila dikatan kepada mereka,” ikutilah Apa yang telah diturunkan Allah”) Ayat ini sungguh sangat jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada seluruh manusia, agar mengikuti apa yang telah diturunkan oleh-Nya Yaitu Al Qur’an. Akan tetapi mereka cenderung lebih menyukai mengikuti hawa nafsu dan angan – angan mereka lalu kemudian mereka mengatakan:”Tidak” serta menolak apapun yang telah Allah Perintahkan baik berasal dari Al -Qur’an maupun dari As-Sunnah bahkan mereka membuat hukum-hukum baru yang sesuai dengan keinginannya semata

. هُوَ الَّذِي جَعَلـكُـمْ خَـلائِفَ فِى الأرْضِ وـمَنْ كـَفَرَ فَعلَيْهِ كُفرُهُ وَلَا يَزِيدُ الْكٰفرينَ كُـفـرهُم عِندَ ربِّـهم إلَّا مَقتًا ولا يَزِيدُ الْكٰفرينَ كُفرُهُم عِندَرَبِّهِم إلّا خـَسَارًا (سورة.٣٥:٣٩ )

 “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” ( Qs.35 :39 ) Ayat ini mengisyaratkan serta melegalisasikan kan kepada manusia khususnya kaum muslimin, bahwa Dialah Allah yang menjadikan kamu sebagai Kholifah – kholifah dimuka bumi, Yang Kemudian Allah lanjutkan dengan Ancaman bagi siapa saja yang menolak pernyataan tersebut. Dengan kehidupan yang sangat sulit, kepedihan dan kehinaan di sisi-Nya dan ia termasuk orang yang telah kafir. Saudaraku yang budiman! Ayat ini jika kita tinjau dari segi bahasa nya maka amatlah sulit bagi mereka yang mempunyai akal , fikiran,kepandaian, kecerdasan, otak dan nurani untuk menolak ayat ini.

 هُوَ الَّذِي جَعَلـكُـمْ خَـلائِفَ فِى الأرْضِ وـمَنْ كـَفَرَ فَعلَيْهِ كُفرُهُ وَلَا يَزِيدُ الْكٰفرينَ كُـفـرهُم عِندَ ربِّـهم إلَّا مَقتًا ولا يَزِيدُ الْكٰفرينَ كُفرُهُم عِندَرَبِّهِم إلّا خـَسَارًا (سورة.٣٥: ٣٩ )

Ayat ini mengandung unshur balaghoh dengan rangkaian kalimat yang biasa disebut isnad khobari yaitu musnad ilaih bi isim dhomir( isnad khobari yang dirangkai dengan ism dhomir pada awal kalimatnya ).Guna menganggap Agung, Yakni

هو الذي جعلكم خلائف فى الارض.

 Isim dhomir(Huwa) yang artinya :"Dia", Sedang yang dimaksud disini Adalah “ALLAH”. Namun kami tidak bermaksud untuk menjelaskan isnad khobari jenis ini .

Selanjutnya Allah Ta’ala Mengilhami Rasulullah Sallallaahu alaihi wa sallam dengan melanjutkan kalamnya dengan kalimat Syarth

ومن كفر

 yang artinya dan bagi siapa saja yang ingkar ( yang ditujukan kepada yg berakal ) guna menganggap urgen, guna apa yang disampaikan dapat di realisasikan kedalam kehidupan bagi yang mendengarkan kalam tersebut. “Dan bagi siapa saja yang mengingkari /kufur diantara kalian manusia.

Dalam kajian ilmu bahasa Arab atau ilmu balaghah atau dalam ilmu Ushul, apabila ada kalimat syarth  MAKA HARUS ADA JAWAB SYARTH.
Dengan itu perhatikanlah firman Allah selanjutnya Yang Berbunyi

 ” فعليهِ كــفْرُه"

"ُMaka kekufurannya itu Akan menimpa dirinya sendiri"

ini merupakan jawabusy syarth dari kalimat sebelumnya.

 Setelah ini Allah melanjutkan kalam-Nya dengan Kalimat

ولا يزيد الكفرين كفرهم عند ربّهم

( wala yaziidul kaafiriina kufruhum ‘inda robbihim ) yang Allah subhanahu wata’aala tekankan dengan mengulang kalimat itu dengan dua kali pengulangan yang pada akhir kalam Nya di akhirkan dengan dua kata yang berbeda namun tetap semakna yaitu kata (Maqtaa=Kemurkaan,kemarahan,kesempitan,kesengsaraan,serta kesempitan hidup) dan kata KHOSAAROO= yang memiliki arti ” Kesedihan , kehidupan yang sempit. Berhubungan dengan Keingkaran terhadap satu surat atau satu ayat ibnu qudamah rahimahullaah berkata: ” tidak ada perbedaan atau khilaf diantara kaum muslimin bahwa barang siapa yang mengingkari satu surah atau satu ayat atau satu kalimat maupun satu huruf dari Al Qur’an yang sudah disepakati, maka ia adalah kafir. Hal ini merupakan hujjah yang Qoth’i (Kuat) bahwa Al-Qur’an ,Huruf dan maknanya adalah dari Allah Azza Wa Jalla.” ( Lihat Syarh Lum’ atil I’tiqooth Oleh Asy- Syekh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,Hal:82). Kaum muslimin kini tengah berpecah belah ,bersekte -sekte! Namun tatkala mereka diseru untuk segera mewujudkan persatuan dibawah satu kepemimpinan mereka justeru menolak dengan berbagai macam argumentasi dan alasan yang berbeda. Hal ini berlangsung dengan cukup lama, lantas apakah kita berbeda atau tidak ada perbedaan hukum kafirnya seseorang yang menolak atau tidak melaksanakan ayat – ayat Allah? Berkenaan dengan surat 35 ayat 39 diatas kami sampai kan kepada kalian semua! Wahai kaum muslimin kita adalah kholifah dimuka bumi, yang allah pilih sebagai makhluq yang akan memakmurkan kerajaan dunia. Wahai kaum muslimin mari kita wujudkan titah Allah Ini dengan melaksanakan sistem ke-Kholifahan islam jangan sampai kekufuran,kelalaian , kemalasan, serta ketidak pedulian terus menyarang dihati kita . Jangan sampai persatuan kaum muslimin, hanya sampai sebatas angan -angan, jangan sampai persatuan kaum muslimin hanya pd saat islam dihinakan kaum kafirin sementara kaum muslimin sendiri saling membenci hanya akibat berbeda pemahaman dalam tatacara beribadah semata! Dan dengan ini pula kami serukan kepada kalian bahwa tentang kewajiban untuk bersatu bagi kaum muslimin ini adalah merupakan ibadah wajib yang harus terus dilaksanakan , bukan hanya sewaktu waktu saja, dan bahwa kewajiban bersatu dalam satu kepemimpinan adalah merupakan perkara tauhid yang musti tertancap dalam setiap hati manusia yang mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Maka barang siapa yang kufur maka kekufuran nya itu sendiri yang akan menimpa dirinya sendiri.

 Demi Allah kita kaum muslimin tidak akan memperoleh kebebasan dalam melaksanakan hukum Allah dimuka bumi ini jika kita tetap dalam tafarruq, tidak mewujudkan kepemimpinan islam yaitu KHILAFAH Islamiyah , Khilafatul muslimin, KHILAFAH Ala minhajinnbuwwah. Allahu Akbar waliilaahi Hamdu!

Dan merupakan akibat dari pada penolakan dan pelanggaran yang kita lakukan adalah berbagai fitnah, penistaan agama, penghancuran di berbagai negri dimana kaum muslimin bermukim, serta hukum Allah tidak dapat dilaksanakan. Namun apakah penolakan dan pelanggaran yang kita lakukan yang mengakibatkan hal itu semua??? Jawabannya ialah karena kaum muslimin masih setuju dengan demokrasi sekuler, masih rela berada dalam perpecahan, kita masih senang berpihak dalam fanatik ashobiyyah dengan mengesampingkan persaudaraan, persahabatan yang dibangun dengan keimanan yg memang telah Allah gariskan Didalam Al-Qur’an. Na’udzubillahi min Dzaalik .


Dan Mari kita  memohon ampun kepada Allah untuk diriku, serta atas seluruh kaum muslimin yang masih terlena akan hal demikian, serta kita memohon supaya Engkau ya Allah, segera mempersatukan kaum muslimin dalam satu Kholifah (pemimpin kaum muslimin setelah nabi) Satu sistem kepemimpinan yaitu KHILAFAH(Sistem Hidup kaum Muslimin Setelah sistem kenabian “An-Nubuwwah”). Amiiin Demikianlah artikel ini Kami tulis, semoga dengan ini dapat menimbulkan kesadaran dalam mewujudkan persatuan Islam diseluruh dunia
 Amin Yaa Robbal ‘Aalamin.

Selanjutnya..... Inilah

METODE DAN SYARAT KEBANGKITAN ISLAM

Al-Hamdulillah,segala puji hanya milik Allah robbul izzati, rabb yang memiliki kesempurnaan tiada kekurangan pada diri dan Zat-Nya, Pemelihara alam semesta yang maha Agung ,robb yang menguasai timur dan barat, lautan dan daratan, yang menguasai hari, yang mana pada hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu hari pembalasan, hari dimana mulut terkunci, dibukakan hijab bagi seluruh anggota tubuh manusia dan jin guna menjadi saksi atas perbuatan masing-masing , anggota badan bersaksi atas perbuatan baik dan buruk manusia sedang mulut terkunci tanpa dapat berkata tidak ataupun Iya.

Sholawat dan salam semoga Allah limpah curahkan kepada nabi junjungan kita nabi muhammad, Shollaloohu Alaihi Wasallam, beserta keluarga,sahabat, tabi’ut tabi’in dan kepada kita semua yang terus beristiqomah dalam memperjuangkan ajaran islam hingga hari pembalasan nanti. Amiin yaa robbal Alamin.

 Telah kita saksikan , atau kita lihat, atau bahkan kita alami. Bahwa telah terbentuk berbagai parpol, ormas -ormas islam,bukan hanya di belahan bumi indonesia ini saja! Namun sampai ke negri – negri yang terpercaya dengan kekentalan dalam ber – agama sekalipun. Wahai muslimin belumkah kita sadari bahwa jalan oramas, dan parpol itu tidak dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan kaum muslimin di dunia ini??? Kalau belum akan kami peringatkan kepada kalian bahwa dengan ber ormas kalian hanya meng-kotak Kotak jajaran kekuatan kaum muslimin saja karna kalian belum memiliki pemimpin Tunggal dan tertinggi diantara kalian, Yaitu Seorang Kholifah!!! Yang jika seorang kholifah itu melenceng,maka kita wajib meluruskannya, dan ini baru benar dan sesuai dengan fakta sejarah. Bukan kepemimpinan yang memimpin dengan hukum abu Jahal yang kalian Ishlah, Yang seharusnya Kita Seluruh kaum Muslimin perangi namun Alquran sangat jelas tertulis ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA MEMERINTAHKAN UNTUK MENJAUHI THAGHUTH ITU!!

 Kalian ishlah pemimpin seperti itu? Sangat jelas ini salah kaprah! Ini tidak sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah, Bahkan Sangat Tidak sesuai dengan Praktek Ke-Kholifahan Khulaafaurrasyidin beserta para pendukung mereka.

Kita harus merujuk kepada kepemimpinan Mereka, karna Rasulullah sudah mewasiat kan kepada muslimin seluruh dunia bukan untuk negri arab saja!!! Pertanyaannya mengapa disekian banyaknya ulama kaum muslimin di berbagai belahan dunia sekarang ini,baik timur maupun barat,utara dan selatan, dari sabang sampai merauke, tidak satu Orang pun yang Menyeru bersatu dalam satu rumah islam yaitu KHILAFAH ISLAAMIYYAH atau Khilafatul Muslimin (Khilafah Milik Kaum Muslimin ) kecuali Ustadz Abdul Qodir Hasan Baroja’ Yang sementara Bersedia diproklamasikan Sebagai Kholifah, kami katakan hal ini bukan Ustadz ini sombong atau angkuh, melainkan ustadz in takut kepada Allah Jika Suatu Kewajiban Kaum muslimin terabaikan hingga ada yang bersedia menggantikan beliau sebagai KHOLIFAH,AMIRUL MU’MININ. SAMPAI SAAT INI BELIAU MASIH MENUNGGU Pengganti Beliau SIAPAPUN YANG BERSEDIA ITU!!!

 telah beberapa tahun berlalu beliau menjalani kehidupannya sebagai kholifah, acap kali ia menerima cacian, hinaan,serta tuduhan sesat dari para mereka yang merasa sudah lebih Faham,baik tua maupun muda.

 Namun beliau menghadapi semua itu penuh dengan ketenangan, dan kesabaran serta penuh pertimbangan yang matang dalam menjawab anggapan serta pernyataan miring tentang Khilafatul muslimin. Beliau hanya menjawab : ” Hinaan, Cacian Terhadap dakwah islam adalah merupakan Sunnatullaah, Dakwah itu ada yang menerima dan ada yang menolak”. Khususnya di indonesia ini , tidak mudah menyeru mereka ummat muslim kepada KHILAFAH islamiyyah , karna sudah sangat jauh sekali jenjang waktu yang kosong dari sistem Islam Sistem Ke Khilafahan sistem hidup kaum muslimin di bawah pemanduan seorang Kholifah, ditambah lagi ummat islam indonesia berasal dari keturunan kaum hindu, serta kurang nya mereka dalam memahami Al-Qur’an menurut bahasa mereka sendiri. Mungkin karna hal demikianlah ummat islam di indonesia ini sulit menerima KHILAFAH Islamiyyah Khilafatul Muslimin?.

DAN mungkin sekiranya pula , bahwa terjadi nya kesulitan itu karna sistem islam (KHILAFAH), Dalam pandangan , pemahaman , serta asumsi pemikiran yang ada di dalam kehidupan mereka cendikiawan muslim yang menolak Di seluruh dunia ini khususnya ulama di indonesia bahwa ”KHILAFAH ADALAH SEBUAH NEGARA”. Kami nyatakan kepada kalian yang MENGATAKAN bahwa KHILAFAH adalah "NEGARA Islam "
SAYA TEGASKAN , KHILAFAH BUKAN NEGARA...
sebab sangat bertentangan sekali dengan manhaj Nubuwwah
di Alquran sangat jelas bahwa tidak ada perintah Allah subhanahu wa ta'ala untuk menegakkan negara tertentu namun yang ada adalah :  "seluruh kaum muslimin di perintah untuk Berpegang teguh pada tali Dinullah, Dan janganlah Kalian Berpecah belah"

Setelah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam Wafat, Sungguh dahulu kaum muslimin TETAP BERSATU DALAM AL JAMA'AH AL KHILAFAH SETELAH AL JAMA'AH AN-NUBUWWAH BERSAMA PEMANDUNYA BERAKHIR

Dan Sesungguhnya saat ini pun  Al Jama'ah Al Khilafah YANG Seharusnya KITA SELURUH KAUM MUSLIMIN BERSATU PADU DI DALAM NYA.

DAN KETAHUILAH BAHWA SESUNGGUHNYA KAUM MUSLIMIN ITU IBARAT SATU TUBUH DAN jika tubuh itu rusak atau runtuh maka yang tejadi adalah fitnah DAN perpecahan.

KHILAFAH adalah sebuah ajaran islam, KHILAFAH sama kedudukannya dengan ibadah lain nilainya, mengapa demikian??? Karna segala sesuatu yang wajib(PENEGAKAN HUKUM HAD) tidak dapat terlaksana kecuali dengan perkara lainnya maka hukum perkara yang lainnya itu menjadi wajib pula(KE-KHOLIFAH-AN BERSAMA AL JAMA'AH AL KHILAFAH).

Jika berjamaah itu mendatangkan rahmat,kasih sayang Allah maka hendaklah kita segera berjamaah, dan jika bergolong-golongan , berpecah belah mendatangkan Azab tentu bagi muslim ataupun kafir yang pandai menggunakan akalnya sudah meninggalkan firqoh2 itu. Wahai muslimin dan muslimat, kami peringatkan pula kepada kalian bahwa kami bukan orang pandai, bukan pula orang orang yang paling sholih, bukan pula , manusia yang paling sempurna akal nya ,bukan pula orang orang yang paling pandai dalam ilmu tafsir. Kami sampai kan ini semua cuma berasal dari rasa kasih sayang kami terhadap kalian kaum muslimin serta rasa peduli kami terhadap sesama saudara seiman DAN SEAQIDAH  yg ALLAH GARISKAN DI DALAM AL-QUR’AN NTUK KITA AMALKAN DALAM KEHIDUPAN KITA. AKAN TETAPI GARISAN GARISAN INI TIDAK DAPAT TERWUJUD SELAMA KALIAN TETAP DALAM PAYUNG PAYUNG HUKUM YANG BUKAN BERASAL DARI HUKUM YANG MENCIPTAKAN MANUSIA. Maka dengan ini kami kaum muslimin yang sudah bersatu didalam tubuh islam ,atau KHILAFAH Islamiyyah Mengajak kalian untuk segera membai’at seorang Kholifah, dan bersatu bersama nya, dengan tulus ikhlash semata mata mencari keridho Allah Azza Wa Jalla wa ilaihil Mashiir.

Wahai kaum muslimin ! Wihdatul Qiyadah atau satu kepemimpinan dalam islam adalah ketentuan ALLAH YANG MUSTI TERLAKSANA. Karna ini adalah syarat utama dan paling utama dalam mewujudkan Kebangkitan Islam.Kebangkitan islam tidak akan dapat terwujudkan jika ummat muslim ini berada dibawah pimpinan pimpinan jamaah yang tersekat dengan batasan batasan negara semata. Sekat -sekat inilah yang membuat kaum muslimin terlihat lemah, sekat – sekat inilah yang menjadikan ummat muslim terlihat bagaikan buih dilautan. Wahai muslimin wal mulslimat wihdatul qiyadah adalah metode kebangkitan Ummat yang paling utama dan diutamakan saat ini maupun dahulu dalam islam setelah iman kepada Allah, Rosul,Malaikat, Kitab Allah, serta Qodo’ dan Qodar-Nya yang baik maupun yang buruk, serta iman Kepada hari kemudian. Dengan Satu kepemimpinan ummat islam dapat bangkit dari keterpurukan firqoh, dengan satu pemimpin ummat islam diseluruh dunia ini tidak perlu merasa bingung dalam menentukan kapan ia harus berperang melawan zionis yahudi dan Israel, tidak perlu bimbang dalam menentukan suatu keputusan kapan ia harus melaksanakan Sholat Ied.

SELANJUTNYA MARILAH KITA BERDOA KEPADA ALLAH:" Ya Allah Akhirilah Segera Perpecahan Ummat Islam, Satukanlah Kami Dalam satu kepemimpinan, Satu Wadah Yang Engkau Ridhoi Yaitu KHILAFAH ISLAMIYAH, KHILAFATUL MUSLIMIN, SEBAGAI MANA DAHULU YG PERNAH DI AMALKAN OLEH PARA SAHABAT NABI MU,

Ya Allah hilangkanlah sifat2 Ghiil dari dalam hati kami, jauhkan lah prasangka 2 buruk di dalam pikiran kami terhadap saudara kami. Ya Allah Kabulkan dan Terimalah Hajat kami ini Aamiiin Ya Robbal Aalamiiin!!!! Demikianlah Artikel ini kami tulis semoga bermanfaat!!! Billahi Taufiq wal Hidayah Al ‘Afwu mungkin wal ‘Afwa WASSALAMU ALAIKUM WAROHMATULLAAGI WABAROKAATUH

(Rusydi Ibnu Muhsinin)

Jumat, 06 Desember 2019

وجوب لزوم الجماعة وذم الفرقة

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah


وجوب لزوم الجماعة، وذمُّ الفرقة


الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على مَنْ لا نبيَّ بعده.
وردت في القرآن العظيم، آيات تأمر المؤمنين، وتحثهم على لزوم الجماعة والائتلاف، وتُبين لهم أن الأمة الإسلامية أمة واحدة، وهي حقيقة جاء تأكيدها في أكثر من موضع في القرآن الكريم، ومن ذلك:
1- قوله تعالى: ﴿ وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا، وَلاَ تَفَرَّقُواْ ﴾ [آل عمران: 103].
2- وقال الله تعالى: ﴿ وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ ﴾ [آل عمران:105].
3- وقال الله تعالى: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ﴾ [الأنعام: 153].
4- وقال الله تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ﴾ [الأنعام:159].

فهذه الآيات وغيرها - مما جاء في معناها - واضحة الدلالة، وكلها تهدف إلى منع التفرق في الآراء والمعتقدات.

وقد ذكر ابن جرير - رحمه الله - بأسانيده - عن عبد الله بن مسعود - رضي الله عنه - أنه قال - في قوله تعالى: ﴿ وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا ﴾. قال: الجماعة.

وذكر - بأسانيده - أقوالاً أخرى عن السلف، في تفسير معنى (حبل الله) منها: القرآن، والإخلاص لله وحده، والإسلام.

وهذه الأقوال مؤداها واحد، ونتيجتها واحدة، فإنَّ الاعتصام بالقرآن، والإخلاص لله وحده، والتمسك بالإسلام الصحيح الذي جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم، كلها مما ينتج عنه تآلف المسلمين واجتماعهم، وترابطهم، وتماسك مجتمعهم.

وقال ابن جرير- رحمه الله - في تفسير هذه الآية: (يريد بذلك تعالى ذِكره: وتمسكوا بدين الله الذي أمركم به، وعهده الذي عهده إليكم في كتابه؛ من الألفة، والاجتماع على كلمة الحق، والتسليم لأمر الله).

وقال ابن كثير - رحمه الله -: (وقوله ﴿ وَلاَ تَفَرَّقُواْ ﴾ أمَرَهم بالجماعة، ونهاهم عن التفرقة... وقد ضُمِنَتْ لهم العصمةُ - من الخطأ - عند اتفاقهم، كما وردت بذلك الأحاديث المتعددة أيضاً. وخِيفَ عليهم الافتراق والاختلاف، فقد وقع ذلك في هذه الأمة؛ فافترقوا على ثلاث وسبعين فِرقة، منها فِرقةٌ ناجية إلى الجنة، ومُسَلَّمَة من عذاب النار، وهم الذين على ما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه).

وقال الشوكاني - رحمه الله -: (﴿ وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا ﴾. الحبلُ: لفظٌ مشترك، وأصله في اللغة: السبب الذي يُتوصَّل به إلى البُغية، وهو إمَّا تمثيل، أو استعارة. أمرهم سبحانه بأنْ يجتمعوا على التمسك بدين الإسلام، أو بالقرآن، ونهاهم عن التفرق، الناشئ عن الاختلاف في الدين).

إخوتي الكرام.. تَبيَّن لنا من قول هؤلاء العلماء الأجلاء: المنهج الصحيح الذي يؤدي إلى اجتماع كلمة المسلمين وتآلفهم. فإننا نلحظ العبارةَ الدقيقة التي استعملها الطبري - رحمه الله -، حيث قال: (والاجتماع على كلمة الحق). فإنه بدون هذا الضابط لا يكون الاجتماع صحيحاً.

فلابد من أن يكون أساس الاجتماع هو الحق، وكلمة الحق، وهذه الكلمة غالباً ما تُطلق على كلمة التوحيد (لا إله إلا الله) ولازِمَتُها (محمد رسول الله)، وذلك على فهم السلف الصالح لها؛ بمراعاة شروطها، ولوازمها، وحقيقتها، ومعناها الصحيح مع معرفة نواقضها؛ للاحتراز منها.

ثم نلحظ: أنَّ ابن كثير - رحمه الله - بعد ذِكره للاختلاف والفُرقة التي حصلت في هذه الأمة، جعل مناطَ النجاةِ والفوزِ أن يكون المسلم متمسكاً بما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم، وصحابته رضوان الله عليهم، فيكون بذلك من الفِرقة الناجية؛ وذلك لما ورد في حديث الافتراق.

ويقول الشوكاني - رحمه الله -: (أمرهم سبحانه بأنْ يجتمعوا على التمسك بدين الإسلام، أو بالقرآن). إذن فهي العودة الصحيحة إلى الينابيع التي قام عليها هذا الدِّين، وهي: الكتاب والسنة، وما كان عليه سلفنا الصالح.

أمَّا - حقيقة الاعتصام بكتاب الله - فيوجزها ابن القيم - رحمه الله - بقوله: (وهو تحكيمه دون آراء الرجال ومقاييسهم، ومعقولاتهم، وأذواقهم وكشوفاتهم، ومواجيدهم. فمَنْ لم يكن كذلك؛ فهو مُنْسَلٌ من هذا الاعتصام. فالدين كلُّه في الاعتصام به وبحبله، علماً وعملاً، وإخلاصاً واستعانة، ومتابعة، واستمراراً على ذلك إلى يوم القيامة).

وأمَّا قوله تعالى - في آخر الآية: ﴿ وَلاَ تَفَرَّقُواْ ﴾ ولا تتفرقوا عن دين الله، وعهده الذي عهد إليكم في كتابه؛ من الائتلاف، والاجتماع على طاعته، وطاعة رسوله صلى الله عليه وسلم، والانتهاء إلى أمره.

وقال القرطبي - رحمه الله - في شأن ما يستنبط من الآية من الأحكام: (قوله تعالى: ﴿ وَلاَ تَفَرَّقُواْ ﴾ يعني: في دينكم كما افترقت اليهود والنصارى في أديانهم).

الخطبة الثانية

الحمد لله... عباد الله، وكما تعددت الأدلة من كتاب الله تعالى في الأمر بلزوم الجماعة والتحذير من الفرقة؛ كذلك تعددت الأدلة من السنة النبوية، ومنها:
1- عن أبي هريرة - رضي الله عنه - عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا - وذَكَرَ منها: أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا...» رواه مسلم.

2- وفي حديث حذيفة - رضي الله عنه - في الفتن، والشاهد فيه: قوله صلى الله عليه وسلم: «دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا». قُلْتُ [أي: حُذيفةُ]: يَا رَسُولَ اللَّهِ، صِفْهُمْ لَنَا. قَالَ: «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا». قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ». قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ، وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ» رواه البخاري ومسلم.

وبوَّب النووي - رحمه الله - لهذا الحديث وغيره: (باب: وجوب ملازمة جماعة المسلمين عند ظهور الفتن، وفي كل حال، وتحريم الخروج من الطاعة ومفارقة الجماعة).

ويقول ابن بطال - رحمه الله - عن هذا الحديث: (فيه حُجَّةٌ لجماعة الفقهاء، في وجوب لزوم جماعة المسلمين، وترك الخروج على أئمة الجور).

3- وعن أبي هريرة - رضي الله عنه - عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ، وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ، فَمَاتَ؛ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً» رواه مسلم.

4- وعن عَرْفَجَةَ - رضي الله عنه - قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «إِنَّهُ سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ - وَهْيَ جَمِيعٌ - فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ، كَائِنًا مَنْ كَانَ» رواه مسلم.

5- وعن عبد الله بن مسعود - رضي الله عنه - قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ - يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ - إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالْمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ الْجَمَاعَةَ» رواه البخاري.

فهذه الأحاديث تؤكد على وجوب لزوم الجماعة، والتحذير من التفرق، ولو تمسك بها المسلمون، وحققوها؛ لكانوا على الخير الذي مضى عليه السلف الكرام؛ من الصحابة، ومَنْ تبعهم بإحسان، ولَعَاد - للمسلمين - سؤددهم، وكرامتهم التي فُقدت في عصرنا الحاضر؛ بسبب التفرق، وعدم الإذعان لتعاليم الشريعة السمحاء، ومع ذلك: لا يزال الخير في أمة محمد صلى الله عليه وسلم، إلى أن تقوم الساعة، ما داموا متمسكين بالحق؛ قولاً وعملاً.

6- ومن النصوص التي تحث على الجماعة، وترغب بلزومها، وتُبَيِّن أجر من لزم ولم يفارق، وتؤكد: أن العصمة في وقت الفتن والمحن؛ هو في التمسك بجماعة المسلمين: قوله صلى الله عليه وسلم: «عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ» صحيح - رواه الترمذي. فانظر - أخي الكريم - عظم الأجر على لزوم الجماعة.

7- والخير كل الخير في لزوم الجماعة؛ كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ » صحيح - رواه الترمذي.

فيد الله مع الجماعة، ويد الله على الجماعة، ينصرهم، ويؤيدهم، ويسددهم، وهو معهم معية خاصة: معية النصر والتأييد؛ متى ما كانوا مجتمعين على الحق، مجتمعين على طاعة الله، وطاعة رسوله صلى الله عليه وسلم.

فتبين لك - أيها المسلم - أهمية لزوم الجماعة ومدى الحاجة إليها فهي من قواعد الدين، والخطر والشر في الفرقة



الجماعة في القرآن الكريم

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah


مفهوم الجماعة
 Abu Zahra
5 سنوات ago
مفهوم الجماعة
الجماعة لغةً: مأخوذةٌ من الاجتماع، وهو ضدُّ التفرق، يقال: “جمع الشيء عن تفرُّقه فاجتمع، وجمعت الشيء إذا جئت به من هاهنا وهاهنا”.
وهذا الاجتماع قد يكون حسيًّا كاجتماع الناس في مكانٍ ما -أي رابطة مكانية تاريخية كالرابطة القومية-، وقد يكون معنويًّا كاجتماع الأمَّة على الإيمان بالله ورسوله في رابطة إيمانية تتجاوز المكان، بل قد تتجاوز الزمان بالتواصل مع الأمة عبر التاريخ، وتقدير منزلة هذا التاريخ في إطار المرجعية، وهذا نراه أيضاً في أمم وعقائد مختلفة، بل وفي أيدلوجيات وضعية تجمع الناس، وتكون كتبها المؤسسة ونماذجها التطبيقية مرجعية معتبرة.
 مفهوم الجماعة في النصوص الشرعيَّة
لم يرد لفظ الجماعة في القرآن الكريم، وإن كان معنى “الجماعة” قد ورد عدَّة مرَّاتٍ مرتبطاً بالترغيب في الالتزام بها، والنهي عن التفرُّق والتنازع والفشل.
ولكنَّ لفظ “الجماعة” قد كثر وروده في السنَّة المطهَّرة، والمتتبِّع لمواضع ورود هذه الكلمة في السنَّة يجد أنَّها تأتي دائماً في مقابلة التفرُّق المذموم، وذلك في مثل:
قوله (صلى الله عليه وسلم): “عليكم بالجماعة، وإيَّاكم والفرقة”رواه أحمد الترمذيّ، وقال: حديثٌ حسنٌ غريب.
– وورد في حديث أبي الدرداء -رضي الله عنه-: “… فعليك بالجماعة، فإنَّما يأكل الذئب من الغنم القاصية”، رواه أبو داود والنَّسائي والحاكم، وقال: هذا حديثٌ صدوقٌ رواتُه.
– وكما في حديث حذيفة بن اليمان الشهير في الصحيحين، ومطلعه: “كان الناس يسألون رسول الله -صلى الله عليه وسلم- عن الخير، وكنت أسأله عن الشرِّ مخافة أن يدركني”، وفيه قوله -صلى الله عليه وسلم-: “تلزم جماعة المسلمين وإمامهم”، وقد عَنْوَن الإمام مسلم باب الحديث بـ: “باب: وجوب ملازمة الإمام عند ظهور الفتن، وفي كلِّ حال، وتحريم الخروج على الطاعة ومفارقة الجماعة”.
وانصبَّ مفهوم الجماعة في نصوص السنَّة المطهَّرة على مفهومين:
الأوَّل: مفهومٍ اعتقاديّ، ويشير إلى الدعوة أو المنهج الذي تحمله هذه الجماعة.
والثاني: مفهوم سياسيّ، ويشير إلى الدولة أو النظام السياسيِّ الذي ينشأ لحماية هذا المنهج والتمكين له في واقع الحياة، فإذا جُمِع بينهما تحقَّق المدلول المتكامل والنهائيُّ لمعنى الجماعة، وتفصيل ذلك التالي:
أوَّلا: المفهوم الاعتقاديّ:
تعددت النصوص الواردة في أنَّ مفهوم الجماعة هو من الاجتماع على الأصول الثابتة بالكتاب والسنَّة والإجماع، واتِّباع ما كان عليه السلف الصالح من لزوم الحقِّ واتباع السنَّة، ومنها:
1- ما رواه أبو داود وابن ماجهْ عن معاوية (رضي الله عنه) عن النبيِّ (صلى الله عليه وسلم) أنه قال: “ألا إنَّ مَن قبلكم مِن أهل الكتاب افترقوا على ثنتين وسبعين ملَّة، وإنَّ هذه الأمَّة ستفترق على ثلاثٍ وسبعين: ثنتان وسبعون في النار، وواحدةٌ في الجنَّة، وهي الجماعة” وروى الترمذيُّ نحوه، وقال: حديثٌ حسنٌ غريب.
2- ما رواه البخاريُّ ومسلمٌ عن ابن مسعود (رضي الله عنه) عن النبيِّ (صلى الله عليه وسلم) أنه قال: “لا يحلُّ دم امرئٍ مسلمٍ يشهد أن لا إله إلا الله وأنِّي رسول الله إلا بإحدى ثلاث: الثيِّب الزاني، والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة”.
والجماعة بهذا المعنى لا يُشترط لها كثرةٌ ولا قلَّة، بل هي حيث الحقُّ.
ثانيا: المفهوم السياسيّ:
ومن النصوص الواردة في أنَّ مفهوم الجماعة هو من الاجتماع بالأمَّة المستقيمة على الشرع، وطاعة “أولي الأمر” “منكم” ، وعدم الخروج على الجماعة والنظام العامِّ لها:
1- ما رواه البخاريُّ ومسلمٌ عن ابن عباس (رضي الله عنهما) عن النبيِّ (صلى الله عليه وسلم) أنَّه قال: “من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر، فإنَّه ليس أحدٌ يفارق الجماعة شبراً فيموت، إلا مات مِيتةً جاهليَّة” (لاحظ هنا دقَّة النصّ وتسلسله: رؤية الخطأ من الأمير، والخروج على الجماعة وليس على الإمام، وهذا يؤيِّد فكرة أنَّ المراد هو الأمَّة وليس الإمام، والإمام لا يأخذ طاعته إلا من خلال الصلاحيَّات التي تعطيها الأمَّة له، ويكون ملزَماً بالشورى).
2- ما رواه مسلم عن أبي هريرة أنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم: “من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات، مات مِيتةً جاهليَّة”.
والجماعة بهذا المعنى تقع في مقابلة البغي والتفرُّق.
 مفهوم الجماعة عند أهل العلم
انقسم أهل العلم في مفهوم الجماعة إلى قسمين:
الأوَّل: أنَّ الجماعة هي جميع العلماء من أهل السنَّة؛ أي الاجتماع على الحقِّ الذي تمثِّله القرون الثلاثة الفاضلة، ويحمل لواءه في كلِّ عصرٍ الثقاتُ العدولُ من أئمَّة أهل السنَّة، وهم يمثِّلون السواد العامَّ من المسلمين؛ لأنَّ العامَّة بالفطرة تبعٌ لهم.
الثاني: أنَّ الجماعة هي الأمَّة في اجتماعها على الإمام ما دام -في الجملة- مقيماً لأحكام الإسلام، أو هي السواد الأعظم من أهل الإسلام.
والملاحظ أنَّ أصحاب الرأي الأوَّل قد خلطوا بين “جماعة المسلمين” و”أهل الشورى -أو الحلِّ والعقد-“؛ حيث اعتبروا من تعتبرهم الأمَّة ممثِّليها هم “الجماعة”، بينما هم مجرَّد ممثِّلين للجماعة لا أكثر، بل هم لم يأخذوا هذه الشرعيَّة في التمثيل إلا من خلال الأمَّة؛ فكيف تصبح الأمَّة بعد ذلك هي التابع، ويصبح الممثِّلون هم المتبوع؟؟
وعلى ذلك فالرأي الراجح في هذا –والله أعلم- هو أنَّ الجماعة هي “السواد الأعظم من أمَّة الإسلام” حسب اصطلاح الفقهاء.
وهكذا تتَّفق دلالات النصوص، ومآلات أقوال أهل العلم في بيان المقصود بمعنى الجماعة، وأنَّها تتضمَّن كلا المعنيين السابقين “الاعتقاديّ والسياسيّ”.
ويتحقَّق الانتساب إلى الجماعة في إطارها الاعتقاديِّ بالالتزام المجمل بالإسلام؛ وذلك بالبقاء على الولاء للإسلام والرضا بشريعته وموالاة دعاته، سواء وُجدت الجماعة ككيانٍ سياسيٍّ أم لم توجد.
كما يتحقَّق الانتساب إلى الجماعة في إطارها السياسيِّ بالانتظام في النظام السياسيِّ العامِّ الذي ارتضته الجماعة، أيًّا كان شكل هذا النظام أو نوعه أو من يقوم عليه، وما يقتضي ذلك الانتظام من الولاء والتزام الطاعة، وإن تعددت الأنظمة بتعدد الديار وجب أن تجمعها مظلة من الاحتكام للشرع والتناصر، كما في الأشكال المختلفة من التنسيق والاندماج الدولي على كافة الأصعدة والهياكل التي يعرفها زماننا.
 معنى لزوم الجماعة
لا معنى إذن للزوم الجماعة إلا التزام ما هم عليه من التحليل والتحريم والطاعة فيهما؛ أي القبول بمرجعية الإسلام، وإن اختلفت المذاهب والمدارس والرؤى، جاء في “الرسالة” للإمام الشافعيِّ قال: “فما معنى أمر النبيِّ –صلى الله عليه وسلم- بلزوم جماعتهم؟ قلت: لا معنى له إلا واحد، قال: فكيف لا يحتمل إلا واحدا؟ قلت: إذا كانت جماعتهم متفرِّقةً في البلدان فلا يقدر أحد أن يَلزَم جماعةَ أبدانِ قومٍ متفرِّقين، وإن وجدت الأبدان تكون مجتمعةً من المسلمين والكافرين والأتقياء والفجَّار، فلم يكن في لزوم الأبدان معنى؛ لأنَّه لا يمكن، ولأنَّ اجتماع الأبدان لا يصنع شيئا، فلم يكن للزوم جماعتهم معنى إلا ما عليه جماعتهم من التحليل والتحريم والطاعة فيهما، ومن قال بما تقول به جماعةُ المسلمين فقد لزم جماعتهم، ومن خالف ما تقول به جماعةُ المسلمين فقد خالف جماعتهم التي أُمِرَ بلزومها”.
أي أنه لم يعتبر الاشتراك في المكان دليلاً على الانتماء للجماعة؛ بل يجب إظهار الموالاة لله ورسوله والرضى بمرجعية الشرع في الأمور على درجاتها وعلى درجات الأحكام.
وتطبيق هذا الأمر على مفهوم الجماعة يعني:
الأول: المفهوم الاعتقاديّ، ويعني ضرورة اتِّباع أهل السنَّة والجماعة فيما كانوا عليه من الاعتقاد والتحليل والتحريم ونحو ذلك، في اختلافهم سعة ما داموا على المنهج.
الثاني: الجانب السياسيّ، ويعني اتِّباعهم فيما اتَّفقوا عليه من شكل النظام الذي حدَّدته الجماعة، والطاعة لهذا النظام والالتزام بقواعده في غير معصية، وعدم الخروج عليه إلا بالكفر البواح؛ حفظاً لبقاء الجماعة.
وعليه فكلُّ مسلم:
ليس له أن يخرج عن منهج أهل السنَّة والجماعة (في المنهج الاستدلالي وحجية الأدلة) في اعتقاده وتحليله وتحريمه.
ليس له أن يخرج عن طاعة نظام الجماعة في غير معصية، سواء أكان المسلمون ذوي شوكةٍ وسلطانٍ أم لم يكونوا، كما في أوقات الفتن، أي احترام “النظام العام” في كلياته، ولو كان المسلمون أقلية؛ فعلى المسلم اتباع الشرع في أموره مع احترام النظام العام للدولة التي يعيش فيها والحفاظ على الرابطة الإيمانية بالأمة عبر الاحتكام للشرع على المستوى الفردي والاجتماعي حتى وإن عاش في ظل نظام قانوني له مرجعية وضعية.
 مراتب الخروج على الجماعة
الخروج على الجماعة بأيٍّ من مفهومَيْها الاعتقاديِّ والسياسيِّ يحتمل أشكالاً ثلاثة:
1- الخروج تأويلاً للنصوص:
فمن كان له في خروجه وجه تعلُّقٍ بالنصوص ونوع تأويل لها، مع الإيمان بها في الظاهر والباطن، والالتزام بها جملة، فإنَّ مخالفة تأويله للإجماع أو الجمهور لا يُخرجه من الملَّة بل يبقى في دائرتها، وفي هذه الحالة يكون الحوار والنقاش هو الطريق لمحاولة إرجاعه إلى الحقِّ طالما لم يتحوَّل خروجه هذا إلى خروج السلاح والقتال، وأبرز مثالٍ على ذلك ما حدث مع الخوارج؛ حيث حاول الإمام عليٌّ –رضي الله عنه- حوارهم بالنصِّ والعقل والمنطق، ومجادلات ابن عبَّاسٍ –رضي الله عنهما- معهم خير دليل، ولم يقاتلهم الإمام عليٌّ إلا عندما بدؤوا هم بالقتال؛ أي تجاوزوا الخلاف في الرأي بل والعصيان المدني للثورة المسلحة ضد النظام العام.
2- الخروج طلباً للملك أو قطعاً للسبيل، وهو نوعان:
أن يخرجوا طلباً للسلطة وتنازعاً على السيادة، وهؤلاء هم البغاة، وقد أشار القرآن الكريم إلى كيفيَّة التصدِّي لفتنتهم في قوله تعالى: {وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} (الحجرات: 9).
أن يخرجوا لقطع السبيل وأخذ المال والإفساد في الأرض، وهؤلاء هم المحاربون، وقد أشار القرآن الكريم إلى جزائهم في قوله تعالى:{ إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ} (المائدة: 33).
3- الكفر، وهو أيضاً نوعان:
– الخروج ردًّا للنصوص بغير تأويل، أو تأويلاً يترتَّب عليه إنكارٌ لما عُلِم من الدين بالضرورة، أو استجازةً لما أجمع على تحريمه المسلمون، أو تحريماً لما أجمعوا على حلِّه؛ فلا شكَّ أنَّ إعلان ذلك رِدَّة، والمجاهرة به سعي لقلب نظام المرجعية الإسلامية ذاته، وهؤلاء يخرجون بذلك من الدين، ويفارقون بهذا جماعة المسلمين، وإلى أمثالهم يشير الحديث السابق: “التارك لدينه المفارق للجماعة”، والخلاف يثور في العصر الراهن على فك الارتباط بين الترْك للدين الذي قد يكون بين العبد وربه وأن يترتب على ذلك مناهضة علنية للنظام الإسلامي توجب دفاع هذا النظام عن مرتكزاته –شأن أي نظام-؛ لأنَّ المفارق يكون قد فارقها فيما أجمعت عليه من الدين، ورفض مع هذا أيضاً مرجعية الشرع في إدارة شئون الناس وأنظمتهم الحياتية؛ فصار بذلك عضواً مفصولاً عن جماعة المسلمين مناهضاً لعقيدتهم وشريعتهم العامة.
– الخروج كفراً بالإسلام ومعاداةً له وموالاةً لأعدائه، وحرباً عليه، وهؤلاء هم المرتدُّون الذين خلعوا بذلك رِبقة الإسلام من أعناقهم، وانضموا لأعدائه، وذلك كما كان من المرتدِّين في أيَّام أبي بكرٍ الصديق -رضي الله عنه- من مفارقةٍ للدين، ومظاهرةٍ على حرب المسلمين، وكالذين قتلوا القرَّاء الذين أرسلهم معهم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- ليعلمُّوهم القرآن والدين فيما عُرِف بحادثة “الرجيع”.
 مفهوم الجماعة اليوم
استمرَّ مفهوم الجماعة يحمل نفس معناه الاعتقاديِّ دون لبسٍ أو خلاف، أمَّا المعنى السياسيُّ فقد مرَّ بمراحل عديدةٍ حفلت بالوضوح حينا، وبالالتباس أحياناً كثيرة، ووصل المفهوم اليوم في أذهان العديد من الناس إلى مسلكَين خاطئَين:
1-إفراط:
فمنهم من نازع في شرعيَّة الانضواء في تجمُّعٍ من هذه التجمُّعات ابتداء؛ ذهاباً منه إلى أنَّ المقصود بالجماعة هو جماعة المسلمين كلهم، وهذه التجمُّعات ليست من الجماعة في شيء، وهم على صنفين: صنفٍ يعتقد ألا جماعة ولا بيعة إلا بعد التمكين ونصب الإمام، وصنفٍ آخر يرى أنَّ الجماعة موجودةٌ بالفعل ممثلة في الأمة، وبالتالي فلا حاجة لوجود مثل هذه التجمُّعات.
2-تفريط:
ومنهم من غلا، فقصر جماعة المسلمين على تجمُّعه الخاصّ، ولم يرَ لغيره شرعيَّة الانتساب إلى الإسلام أو الجماعة، فجعل لزوم جماعته جزءاً من أصل الدين لا تثبت صفة الإسلام ابتداءً إلا باستيفائه، واعتبر من لم يكن في جماعته كافرا، ومن كان في جماعته فخرج منها فقد خرج من رِبقة الإسلام، ورفض التقارب أو التعاون مع غيره من التجمُّعات والجماعات الأخرى، ولم يفهم أن الجماعة التي أشار إليها الحديث هي مجمل الأمة المستقيمة على الشرع مع قبول التعدد داخلها والاختلاف بين الرؤى والاتجاهات على أرضية المرجعية الإسلامية الجامعة.
ولا يسع المجال هنا للردِّ التفصيليِّ على هؤلاء ولا أولئك، فقط نلاحظ التالي:
ا- أنَّ الاستدلال على عدم شرعيَّة التجمُّعات القائمة في واقع العمل الإسلاميِّ المعاصر موضع نظر؛ وذلك لأنَّ الفِرَق التي جاء الأمر في الحديث باعتزالها هي ذلك الشرُّ الذي أشار إليه النبيُّ –عليه الصلاة والسلام- في الحديث قبل ذلك بقوله: “دعاةٌ على أبواب جهنَّم، من أجابهم إليها قذفوه فيها” (متَّفقٌ عليه)، والذي أمر النبيُّ –صلى الله عليه وسلم- عنده بلزوم جماعة المسلمين وإمامهم، ولم يأذن بغير ذلك ولو كان البديل هو الاعتزال حتى الموت.
قال الإمام النوويُّ رحمه الله: “قال العلماء: هؤلاء من كان من الأمراء يدعو إلى بدعةٍ أو ضلال، كالخوارج والقرامطة وأصحاب المحنة”.
وقال الإمام الشاطبيُّ (رحمه الله): “إنَّ هذه الفِرَق إنَّما تصير فِرَقًا بخلافها للفرقة الناجية في معنى كلِّيٍّ في الدين وقاعدةٍ من قواعد الشريعة، لا في جزئيٍّ من الجزئيَّات؛ إذ الجزئيُّ والفرع الشاذُّ لا ينشأ عنه مخالفةٌ يقع بسببها التفرُّق شِيَعا، وإنَّما ينشأ التفرُّق عند وقوع المخالفة في الأمور الكلِّيَّة”.
وليست الجماعات الإسلاميَّة المعاصرة من هذا القبيل لاتِّفاقها في الجملة على الالتزام المجمل بأصول أهل السنَّة والجماعة، ولسعيها جميعاً إلى غايةٍ واحدةٍ تتمثَّل في إقامة الدين والتمكين لشريعة الله في الأرض؛ فهي في مجموعها هي الجماعة، أمَّا ما يقع بينها من اختلافٍ فهو اختلاف خططٍ ووسائل، وليس اختلاف غاياتٍ أو عقائد.
وكذلك قصر مفهوم “جماعة المسلمين” على تجمُّعٍ بعينه، هو خطأٌ وزعمٌ لا دليل عليه؛ فجماعة المسلمين –كما ذكرت آنفا- هي السواد الأعظم من أمَّة الإسلام، وهذه التجمُّعات أيًّا كان شكلها ليست الأمَّة ولا هي سوادها الأعظم، بل اتحادات لنصرة الدين بوسيلة محددة أو أدوات معينة؛ فمن أين أتى الزعم بأنهم هم الجماعة، وغيرهم ضال؟!
وتبرز خطورة هذا الفهم القاصر حين تكرَّس الخصومة بين فصائل العمل الإسلاميّ، ويصبح التكفير قُرْبةً إلى الله تعالى، فكلٌّ منهم يتقرَّب إلى الله بإخراج الآخر من الملَّة، ويتعبَّد لله بقطع ما بينه وبين أخيه، وتزداد الفتنة عندما تنتقل هذه الخصومة إلى دائرة المنابر العامَّة، ويندلع لهيبها في أوساط الأمَّة، وأدنى ما يمكن أن يترتَّب على ذلك هو الزهد في العمل الإسلاميِّ كلِّه الذي يفقد احترامه بسبب هذه المهاترات، ويبدو في صورة الفِرَق المتناحرة والشِّيع المتلاعنة، وبدلاً من أن توجَّه هذه الجهود وهذه الطاقات إلى دعوة العالَمين إلى الله تعالى، تُحوَّل إلى التكفير والتفسيق بل والضرب والقتل في أحايين كثيرة!.
هذه الجماعات أو التجمُّعات ليست أيٌّ منها هي جماعة المسلمين؛ ولهذا فإنَّها ليست نهاية المطاف، ولا يمثِّل أحدها على انفرادٍ جماعة المسلمين، ولا كلُّها مجتمعة، وبالتالي فليس هناك من زعمٍ في اعتبار هذه أو تلك هي الأصل وغيرها ليس كذلك، وليست هناك من مشكلة في وجود جماعةٍ واثنتين وثلاث تتعاون على البر والتقوى، طالما لم يتعدَّ الأمر كونها مجرَّد وسائل للنهوض بجماعة المسلمين، لا أكثر من ذلك ولا أقلّ.
علماً بأنَّ هذه التجمُّعات الموجودة قد نشأت لمواجهة تحدِّياتٍ معيَّنةٍ واجهت الأمَّة في القرن العشرين، وإطلالةٌ سريعةٌ على أسباب تكوين هذه التجمُّعات تُنبئ بذلك، وإذا كان الأمر كذلك، فإنَّ هذه التجمُّعات تصبح تكامليَّة لا تصادميَّة؛ بمعنى أنَّها كلَّها في صفٍّ واحد، وكلَّ واحدةٍ تقف في مواجهة تحدٍّ مختلفٍ عمَّا تواجهه الأخرى؛ فيكون الجمع هو الصحيح لا المواجهة، والأولويَّات قد تتغيَّر وتتبدَّل حسب الاحتياجات والتحدِّيات.
إذا كان الأمر كذلك؛ يصبح تحديد الانتماء لهيئة مرتبطاً بقدرة الفرد على تقديم أقصى جهدٍ في هذا السياق، بعيداً عن الأسماء والمسمَّيات والأشخاص والهيئات؛ فمن كان أداؤه الأَوفى والأعلى حين يعمل منفرداً فليعمل، ومن كان يعطي كلَّ طاقته حين ينتمي لجماعات إسلاميَّةٍ فلينتمِ، ومن كان يجد نفسه وطاقته من خلال جمعيَّات المجتمع ومؤسَّساته فليسارع إلى الاشتراك فيها دون إنكارٍ من أحدٍ على أحد، ولا لوم أحدٍ لأحد.
فعلامَ الخلاف والنزاع واللوم والتلاوم؟؟!
وما المانع أن يكون المسلم عضواً في جمعيَّةٍ وجماعةٍ في آنٍ واحد؟ بل ما المانع من أن يلتزم في جماعتين طالما يحقِّق ذلك الخير للفرد وللأمَّة؟ فإن حدث تعارضٌ ما يُترَك تقدير الأمر للفرد حسب ما يرى من خدمة دينه وأمَّته، مع التأكيد على ضرورة الالتزام بنظم وقواعد التجمُّع الذي انتمى إليه طالما رضيه وارتضى الانتماء إليه، إذ الالتزام هنا ليس التزاماً شرعيًّا باعتباره جماعة المسلمين، ولكنَّه التزامٌ إداريٌّ تنظيميٌّ لتسيير العمل وانتظامه.
ونرى أنَّ المسلم أمام أمرين:
الأوَّل: الالتزام باتِّجاهٍ من الاتِّجاهات القائمة باعتبار ذلك خطوةً مرحليَّةً في الطريق إلى جماعة المسلمين، والسعي من خلاله إلى نهوض الجماعة بمفهومها العامِّ والشامل.
وفي هذا ينبغي التنويه إلى أنَّ المقصود بالالتزام هنا الالتزام بتجمُّعٍ ما بمفهومه العامِّ الذي يشمل: الجماعات الإسلاميَّة الخيريَّة؛ جمعيَّات ومؤسَّسات المجتمع… إلخ.
على أن لا يعتبر انتسابه لهذه الجماعة هو نهاية المطاف؛ فهذه التجمُّعات وسائل لغايةٍ واحدةٍ تتمثَّل في جمع الكلمة وتنسيق الجهود في سبيل خدمة الأمَّة؛ فهي خطوةٌ مرحليَّةٌ على الطريق.
وهذه الجماعات والتجمُّعات لا يمثِّل أحدها على انفرادٍ جماعة المسلمين، وإنَّما هي خطواتٌ مرحليَّةٌ في الطريق إليها، وأنَّ التزام المسلم بـ”جماعة المسلمين” بمفهومها العامِّ والشامل أسبق من التزامه بهذه التجمُّعات الجزئيَّة؛ لأنَّ الأوَّل واجبٌ بأصل الشرع؛ فهو الذي دلَّت عليه النصوص، وانعقد عليه الإجماع. أمَّا الثاني فمستَنَد وجوبه هو المصلحة الراجحة، وكونه ذريعةً لإقامة بعض الواجبات الشرعيَّة التي قد لا يتسنَّى أداؤها إلا من خلال هذه الأطر.
ويوم أن تصبح هذه التجمُّعات مفرِّقةً للكلمة، أو مشوِّشةً على الولاء العامِّ للإسلام والجماعة، فإنَّ شرعيتَّها من الأساس تكون موضع نظر؛ لما تقرَّر من أنَّ الذرائع تأخذ حكم المقاصد حلاًّ وحرمة.
يقول الإمام ابن القيم -رحمه الله-: “لمَّا كانت المقاصد لا يُتوصَّل إليها إلا بأسباب وطرق تُفضي إليها، كانت طرقها وأسبابها تابعةً لها معتبرةً بها؛ فوسائل المحرَّمات والمعاصي في كراهتها، والمنع منها بحسب إفضائها إلى غاياتها وارتباطاتها بها، ووسائل الطاعات والقربات في محبَّتها، والإذن فيها بحسب إفضائها إلى غاياتها؛ فوسيلة المقصود تابعةٌ للمقصود، وكلاهما مقصود، لكنَّه مقصودٌ قصد الغايات، وهي مقصودةٌ قصد الوسائل، فإذا حرَّم الربُّ -تعالى- شيئاً وله طرقٌ ووسائل تفضي إليه، فإنَّه يحرِّمها ويمنع منها؛ تحقيقاً لتحريمها، وتثبيتاً له، ومنعاً أن يقرب حماه، ولو أباح الوسائل والذرائع المفضية إليه لكان ذلك نقضاً للتحريم، وإغراءً للنفوس به، وحكمته تعالى وعلمه يأبى ذلك كلَّ الإباء”.
وإذا كان مفهوم “جماعة المسلمين” لا ينطبق على التجمُّعات الموجودة؛ ففي هذا الإطار ماذا تكون “البيعة” التي يعطيها المسلم لبعض هذه التجمُّعات حين التزامه بها؟ وما إلزاميَّتها؟
أمَّا البيعة التي تُعطَى لأيِّ تجمُّعٍ فهي ابتداءً بيعةٌ على عملٍ صالحٍ يتَّفق مع مقرَّرات الشرع؛ كفعل الخير، والأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر، والتعاون على البرِّ والتقوى، والمقصد منها الالتزام بالعمل الذي تمَّ الاتفاق عليه بين الطرفين، بصرف النظر عن الأوصاف والمسمَّيات.
وأمَّا إلزاميَّتها فهي لا تأخذ حكم التعاقد الملزم بين أطراف العلاقة التعاقديَّة، ولا يترتَّب عليها التزامٌ بين المتعاقديْن إلا بقدر ما تسبِّبه من ضرر، فالبيعة التي تُعطَى لهذه التجمُّعات لا تخوِّل لأمرائها الحقَّ في السمع والطاعة المطلقة، وإنَّما هي بمثابة العهد أو العقد، وقد جاء في فتاوى المذهب الحنفيِّ ما نصُّه: “رجلٌ أعطى العهد لشيخ، ثمَّ أعطاه لآخر، أيُّ العهدين يلزمه؟ قالوا: لا هذا ولا ذاك!”.
فإن فارق الشخص تجمُّعه، وقد التزم معه بعمل؛ فلا شيء عليه، بشرط ألا يُخلَّ فراقه بالتزامٍ تَعهَّد به وترتَّب عليه ضررٌ على الطرف الآخر، شأنه تماماً كشأن المتعاقد الذي أخلَّ بتعاقده؛ فوقع الضرر بسبب ذلك على الطرف الآخر، فلا يمكن بحالٍ إكراهه على الاستمرار في التجمُّع، أو اعتبار تحلُّله من عهده وانتمائه “خروجا” على “جماعة المسلمين”.
الثاني: الالتزام بالطاعة لـ”جماعة المسلمين” بمفهومها العامِّ والشامل، دون الالتزام بتجمُّعٍ بعينه، مع الالتزام بالعمل للإسلام حتى ولو كان وحيدا، والاكتفاء في هذه المرحلة بإقامة صلاتٍ متوازنةٍ مع كافَّةٍ التجمُّعات الإسلاميَّة وبذل النصيحة الواجبة لأصحابها، والتعاون معهم جميعاً على ما عندهم من خير، دون الالتزام العضويِّ بأحدها إلى أن يأذن الله بتجاوز هذه الفرقة، وتقام جماعة المسلمين.
مع التذكير بأنَّ في ديننا ما اقتضت الضرورة الشرعيَّة الاجتماع لأجله؛ فالعديد من فروض الدين لا تقوم إلا بالاجتماع، كالاجتماع لأداء الفرائض كالجمع والجماعات، وكالانتصار للدين، ومجاهدة المنافقين والكافرين ونحوه، وما لا يتمُّ الواجب إلا به فهو واجب.
وعموماً فتحديد أيِّ اختيارٍ من هذيْن الاختياريْن مردُّه إلى المسلم نفسه؛ فحيث يرى نفسه أنفع فليذهب إلى ذلك دون تردُّد، فالانفراد وسيلة، والانتماء وسيلة، والغاية هي المراد، وما يحقِّق الغاية أقصى تحقيقٍ يصبح مراداً أيضا.
 الخلاصة
– جماعة المسلمين هي الأمَّة، أو السواد الأعظم من الأمَّة حسب اصطلاح الفقهاء.
– الجماعات الموجودة لا تستند في تأسيسها إلى نصوص السنَّة المطهَّرة الواردة في لزوم الجماعة ووجوب البيعة إلا على سبيل الاستئناس، وإنَّما استنادها إلى النصوص العامَّة التي تحضُّ على التعاون على البرِّ والتقوى، وتنهى عن الفشل والتنازع، وفي هذا السياق عليها أن تسعى بكلِّ طاقتها للتعاون والتكامل والتعاضد، والابتعاد كلَّ الابتعاد عن التقاتل والتنازع والتخاصم.
– البيعة المعقودة لهذه التجمُّعات بمثابة العقد، والطاعة لها تكون في حدود ما اتُّفِق عليه في هذا العقد، ويكون التحلُّل منها عند الاقتضاء بإنهاء هذا التعاقد.
– مفهوم الجماعة أو التجمُّع أشمل من مجرَّد ما شاع من وصف “الجماعات الإسلاميَّة” فهو يشمل كلَّ هيئةٍ أو مؤسَّسةٍ أو جمعيَّةٍ من هيئات ومؤسَّسات وجمعيَّات المجتمع يمكن خدمة الإسلام من خلالها؛ إذ خدمة الإسلام هي الغاية، والكيانات هي الوسيلة، فبأيِّ شكلٍ كانت تبقى وسيلة، مجرَّد وسيلة.
– إذا لم تكن هذه التجمُّعات هي جماعة المسلمين، فلا مانع من عمل المسلم في جماعةٍ أو في أكثر من تجمُّعٍ منها، والتزامه بها طالما حقَّق ذلك مصلحةً للأمَّة، وانتفى التعارض بينها أو أمكن الجمع بينها.
– اقتضت الضرورة الشرعيَّة الاجتماع لأداء بعض الفرائض التي لا يمكن أداؤها إلا بالاجتماع، وما لا يتمُّ الواجب إلا به فهو واجب.
– إذا كان الأصل هو السعي من خلال تجمُّعٍ من هذه التجمُّعات القائمة إلى إيجاد جماعة المسلمين بالمعنى السياسيّ، فإنَّ بعض الناس لا يتسنَّى له أداء الدور إلا خارج هذه الأطر، أو تكون مصلحة العمل الإسلاميِّ في مكانه خارجها أغلب من المصلحة في لزومه لها، فهؤلاء يترجَّح في حقِّهم ما يحقِّق أكمل المصلحتين، وإذا عُرِف مقصود الشارع سُلِك في حصوله أوصل الطرق إليه.
وختاماً فقد قال شيخ الإسلام ابن تيمية: “من لم يوازن ما في الفعل والترك من المصلحة الشرعيَّة والمفسدة الشرعيَّة فقد يدع واجباتٍ ويفعل محرَّمات، ويرى ذلك من الورع، كمن يدع الجهاد مع الأمراء الظلمة ويرى ذلك ورعا، ويدع الجمعة خلف الذين فيهم بدعةٌ أو فجور، ويرى ذلك من الورع”.


Al Jama'ah Was Sawaadul A'zham

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah Bersama Khalifah Nya.

Tatkala bingung menghadapi perbedaan ideologi dan ajaran Islam yang berkembang di masyarakat, sebagian kita berpegangan pada prinsip ‘ikut saja dengan kebanyakan orang‘. Akibat fatalnya, ajaran agama yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah serta pemahaman yang benar, dianggap salah semata-mata karena tidak diamalkan oleh kebanyakan orang.
Diantara alasan mereka yang berpendapat demikian adalah hadits-hadits tentang golongan yang selamat diistilahkan dengan Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Dan memang sekilas nampak bahwa Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham berarti sekumpulan orang yang jumlahnya sangat banyak. Namun benarkah demikian maksudnya? Apakah yang ada pada kebanyakan orang itu pasti lebih benar?

Kebenaran Tidak Memandang Jumlah

Sebelum membahas makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham, perlu diketahui bahwa terlalu banyak dalil dari Qur’an dan Sunnah yang memberikan faedah kepada kita bahwa kebenaran tidak memandang jumlah. Kebenaran adalah kebenaran walaupun bersendirian. Kesalahan adalah kesalahan walaupun didukung banyak orang. Bahkan Allah menyatakan bahwa keadaan umum manusia adalah berada dalam kesesatan, kejahilan dan jauh dari iman yang benar:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Al An’am: 116)
Allah Ta’ala berfirman:
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Yusuf: 40)
Allah Ta’ala berfirman:
المر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ وَالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
“ Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” (QS. Ar Ra’du: 1)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103)
Bahkan ada Nabi Allah yang tidak memiliki pengikut, ada yang hanya satu orang, ada pula yang hanya sekelompok orang. Andai yang sedikit itu pasti sesat, apakah mereka tidak memiliki pengikut atau menjadi minoritas karena mengajarkan kesesatan? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “عرضت عليّ الأمم، فرأيت النبي ومعه الرهط، والنبي ومعه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه أحد
Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda bahwa Islam itu awalnya asing, dan akan kembali menjadi asing kelak. Dan beliau memuji orang-orang yang masih mengamalkan ajaran Islam ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا. فطوبى للغرباء
Islam pada awalnya asing dan akan kembali asing kelak sebagaimana awalnya. Maka pohon tuba di surga bagi orang-orang yang asing” (HR. Muslim no.145)
Nah, apakah Islam itu asing ketika mayoritas manusia mengamalkan ajaran Islam? Bahkan yang minoritas ketika itu adalah yang dipuji oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) berkata:
لا تستوحِشْ طُرُقَ الهدى لقلة أهلها، ولا تغترَّ بكثرةِ الهالكين
“Janganlah engkau mengangap buruk jalan-jalan kebenaran karena sedikit orang yang menjalaninya. Dan jangan pula terpedaya oleh banyaknya orang-orang yang binasa” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)
Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata:
ولا يغتر الإنسانُ بكثرةِ الفاعلين لهذا الذي نُهينا عنه ممَّن لا يراعي هذه الآدابَ
“Seorang manusia hendaknya tidak terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukan hal-hal terlarang, yaitu orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)

Hadits-Hadits Tentang Al Jama’ah

Untuk memahami makna Al Jama’ah, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن
Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ستكون بعدي هنات وهنات، فمن رأيتموه فارق الجماعة، أو يريد أن يفرق أمر أمة محمد كائنا من كان فاقتلوه ؛ فإن يد الله مع الجماعة، و إن الشيطان مع من فارق الجماعة يركض
Sepeninggalku akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah belah Al Jama’ah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah belah Al Jama’ah” (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir 4672, dishahihkan Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shahih 3621)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات ، إلا مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sejengkal saja lalu mati, ia mati sebagai bangkai Jahiliah” (HR. Bukhari no.7054,7143, Muslim no.1848, 1849)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
والذي لا إله غيره ! لا يحل دم رجل مسلم يشهد أن لا إله إلا الله ، وأني رسول الله ، إلا ثلاثة نفر : التارك الإسلام ، المفارق للجماعة أو الجماعة ( شك فيه أحمد ) . والثيب الزاني.والنفس بالنفس
Demi Allah, darah seorang yang bersyahadat tidak lah halal kecuali karena tiga sebab: keluar dari Islam atau keluar dari Al Jama’ah, orang tua yang berzina dan membunuh” (HR. Muslim no.1676)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من مات مفارقا للجماعة فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
Barangsiapa yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari Al Jama’ah, maka ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya” (HR Bukhari dalam Tarikh Al Kabir 1/325. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6410)

Makna Al Jama’ah

Secara bahasa, makna Al Jama’ah adalah:
الجماعة هي الاجتماع ، وضدها الفرقة ، وإن كان لفظ الجماعة قد صار اسما لنفس القوم المجتمعين
“Al Jama’ah artinya perkumpulan, lawan dari kekelompokan. Walau terkadang Al Jama’ah juga artinya sebuah kaum dimana orang-orang berkumpul” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 3/157)
Namun dalam terminologi syar’i, para ulama menjabarkan banyak definisi sesuai dengan banyaknya hadits yang memuat istilah tersebut.
Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, menafsirkan istilah Al Jama’ah:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri
Dalam riwayat lain:
وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى
Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)
Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852H) menukil penjelasan Imam Ath Thabari (wafat 310H) menjabarkan makna-makna dari Al Jama’ah:
قَالَ الطَّبَرِيُّ اخْتُلِفَ فِي هَذَا الْأَمْرِ وَفِي الْجَمَاعَةِ فَقَالَ قَوْمٌ هُوَ لِلْوُجُوبِ وَالْجَمَاعَةُ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ ثُمَّ سَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَصَّى مَنْ سَأَلَهُ لَمَّا قُتِلَ عُثْمَانُ عَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَجْمَعَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ عَلَى ضَلَالَةٍ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِالْجَمَاعَةِ الصَّحَابَةُ دُونَ مَنْ بَعْدَهُمْ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِهِمْ أَهْلُ الْعِلْمِ لِأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلَى الْخَلْقِ وَالنَّاسُ تَبَعٌ لَهُمْ فِي أَمْرِ الدِّينِ قَالَ الطَّبَرِيُّ وَالصَّوَابُ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْخَبَرِ لُزُومُ الْجَمَاعَةِ الَّذِينَ فِي طَاعَةِ مَنِ اجْتَمَعُوا عَلَى تَأْمِيرِهِ فَمَنْ نَكَثَ بَيْعَتَهُ خَرَجَ عَنِ الْجَمَاعَةِ
“Ath Thabari berkata, permasalahan ini (wajibnya berpegang pada Al Jama’ah) dan makna Al Jama’ah, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat hukumnya wajib. Dan makna Al Jama’ah adalah:
  1. as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: “hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan“.
  2. sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para sahabat, tidak termasuk orang setelah mereka.
  3. sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para ulama. Karena Allah telah menjadikan mereka hujjah bagi para hamba. Para hamba meneladani mereka dalam perkara agama.
Ath Thabari lalu berkata, yang benar, makna Al Jama’ah dalam hadits-hadits perintah berpegang pada Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada dalam ketaatan, mereka berkumpul dalam kepemimpinan. Barangsiapa yang mengingkari baiat terhadap pemimpinnya (baca: merasa tidak berkewajiban untuk mentaati pemimpin sah kaum muslimin, ed), maka ia telah keluar dari Al Jama’ah” (Fathul Baari, 13/37)
Imam Asy Syathibi (wafat 790H) juga merinci makna-makna dari Al Jama’ah:
اختلف الناس في معنى الجماعة المرادة في هذه الأحاديث على خمسة أقوال :
أحدها : أنها السواد الأعظم من أهل الإسلام … فعلى هذا القول يدخل في الجماعة مجتهدو الأمة وعلماؤها ، وأهل الشريعة العاملون بها ، ومن سواهم داخل في حكمهم ؛ لأنهم تابعون لهم مقتدون بهم .
الثاني : أنها جماعة أئمة العلماء المجتهدين ، فعلى هذا القول لا مدخل لمن ليس بعالم مجتهد ؛ لأنه داخل في أهل التقليد فمن عمل منهم بما يخالفهم فهو صاحب الميتة الجاهلية ، ولا يدخل أيضا أحد من المبتدعين .
الثالث : أن الجماعة هي الصحابة على الخصوص . فعلى هذا القول فلفظ (الجماعة) مطابق للرواية الأخرى في قوله صلى الله عليه وسلم : “ما أنا عليه وأصحابي” .
الرابع : أن الجماعة هي أهل الإسلام إذا أجمعوا على أمر ، فواجب على غيرهم من أهل الملل اتباعهم ثم تعقب الشاطبي هذا القول بقوله : ” وهذا القول يرجع إلى الثاني ، وهو يقتضي أيضا ما يقتضيه ، أو يرجع إلى القول الأول ، وهو الأظهر ، وفيه من المعنى ما في الأول من أنه لا بد من كون المجتهدين منهم ، وعند ذلك لا يكون مع اجتماعهم بدعة أصلا فهم إذن الفرقة الناجية ” .
الخامس : ما اختاره الطبري الإمام من أن الجماعة جماعة المسلمين إذا اجتمعوا على أمير ، فأمر عليه الصلاة والسلام بلزومه ونهى عن فراق الأمة فيما اجتمعوا عليه من تقديمه عليهم .
.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai makna Al Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat:
  1. As sawadul a’zham dari umat Islam. Termasuk dalam makna ini para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah yang mengamalkan ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini karena diasumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”
  2. Para imam mujtahid. Dalam makna ini, tidak termasuk orang-orang yang bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya adalah ahli taqlid. Maka barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat para imam mujtahid, lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam makna ini tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma, ed).
  3. Para sahabat nabi saja. Makna ini sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu:
    ما أنا عليه وأصحابي
    Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku
  4. Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah perkara (baca: ijma’). Maka wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk mengikuti mereka. Asy Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya kembali pada makna kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti konsekuensi dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang lebih nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa terwujud umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah golongan yang selamat”
  5. Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari, yaitu bahwa Al Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan ummat untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang memecah belah apa yang telah dipersatukan oleh umat sebelumnya.
Imam Asy Syathibi kemudian menyimpulkan:
قال الشاطبي : ” وحاصله أن الجماعة راجعة إلى الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة ، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة ؛
“Kesimpulannya, Al Jama’ah adalah bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Dan jelas bahwa persatuan yang tidak sesuai sunnah tidak disebut Al Jama’ah yang disebut dalam hadits-hadits” (Al I’tisham 2/260-265, dinukil dari Fatwa Lajnah Ad Daimah 76/276)
Al Munawi (wafat 1031H) menukil perkataan Syihabuddin Abu Syaamah (wafat 665H) dan Al Baihaqi (wafat 458H) mengenai makna Al Jama’ah:
قال أبو شامة: حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق وإتباعه وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف كثيرا أي الحق هو ما كان عليه الصحابة الأول من الصحب ولا نظر لكثرة أهل الباطل بعدهم قال البيهقي: إذا فسدت الجماعة فعليك بما كانوا عليه من قبل وإن كنت وحدك فإنك أنت الجماعة حينئذ
“Abu Syamah berkata, ketika dalam hadits terdapat perintah berpegang pada Al Jama’ah, yang dimaksud dengan berpegang pada Al Jama’ah adalah berpegang pada kebenaran dan menjadi pengikut kebenaran walaupun ketika itu hanya sedikit jumlahnya dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran banyak jumlahnya. Maksud Abu Syaamah adalah bahwa kebenaran itu adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi, bukan melihat banyak jumlah, ini pada orang-orang yang datang setelah mereka. Al Baihaqi berkata, ketika Al Jama’ah (baca: kaum muslimin saat ini) telah bobrok maka hendaknya engkau berpegang pada pemahaman orang terdahulu (para Salaf) walaupun engkau sendirian, maka ketika itu engkaulah Al Jama’ah” (Faidul Qadhir, 4/99)
Jika kita telah memahami penjelasan para ulama mengenai makna Al Jama’ah, walaupun definisi mereka berbeda, namun pokok maknanya sama. Bahwa yang dimaksud dengan Al Jama’ah adalah umat Islam yang berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi dan mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya.

Hadits-Hadits Tentang As Sawadul A’zham

Untuk memahami makna as sawaadul a’zham, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya:
إن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم فإنه من شذ شذ إلى النار
Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Barangsiapa yang menyelisihinya akan terasing di neraka
Dalam riwayat lain:
إن أمتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الاختلاف فعليكم بالسواد الأعظم يعني الحق وأهله
Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatanMaka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul haq” (HR. Ibnu Majah 3950, hadits hasan dengan banyaknya jalan kecuali tambahan من شذ شذ إلى النار sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1331)
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ
Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

Makna As Sawadul A’zham

As sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zham artinya besar, agung, banyak. Sehingga as sawaadul a’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’i, kita telah dapati bahwa as sawaadul a’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari di atas: “…Dan makna Al Jama’ah adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)
Maka makna as sawaadul a’zham mencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna as sawaadul a’zham berikut ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata
عليكم بالسواد الأعظم قال فقال رجل ما السواد الأعظم فنادى أبو أمامة هذه الآية التي في سورة النور فإن تولوا فإنما عليه ما حمل وعليكم ما حملتم
Berpeganglah kepada as sawadul a’zham. Lalu ada yang bertanya, siapa as sawadul a’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220)
Ayat tersebut berbunyi:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)
Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna as sawadul a’zham adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata lain, pengikut kebenaran.
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H) berkata:
عليكم باتباع السواد الأعظم قالوا له من السواد الأعظم، قال: هو الرجل العالم أو الرجلان المتمسكان بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وطريقته، وليس المراد به مطلق المسلمين، فمن كان مع هذين الرجلين أو الرجل وتبعه فهو الجماعة، ومن خالفه فقد خالف أهل الجماعة
“Berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Orang-orang bertanya, siapa as sawaadul a’zham itu? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang atau dua orang yang berilmu, yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti jalannya. Bukanlah as sawaadul a’zham itu mayoritas kaum muslimin secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54)
Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama sezamannya, Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai as sawaadul a’zham:
قَالَ رَجُلٌ: يَا أَبَا يَعْقُوْبَ مَنِ السَّوَادُ الأَعْظَمُ? قَالَ: مُحَمَّدُ بنُ أَسْلَمَ، وَأَصْحَابُهُ، وَمَنْ تَبِعَهُ. ثُمَّ قَالَ إِسْحَاقُ: لَمْ أَسْمَعْ عَالِماً مُنْذُ خَمْسِيْنَ سنَةً كَانَ أَشَدَّ تَمَسُّكاً بِأَثَرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنْ مُحَمَّدِ بنِ أَسْلَمَ
“Ada seorang yang bertanya, wahai Abu Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa as sawadul a’zham itu? Beliau menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para pengikutinya. Kemudian beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang alim sejak 500 tahun yang lebih berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selain Muhammad bin Aslam” (Siyar A’lamin Nubala, 9/540)
Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H) ditanya as sawaadul a’zham:
سَأَلَ رَجُلٌ ابْنَ الْمُبَارَكِ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالَ: أَبُو حَمْزَةَ السَّكُونِيُّ
“Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul Mubarak, wahai Abu Abdirrahman siapa as sawadul a’zham itu? Beliau menjawab, Abu Hamzah As Sakuni” (Hilyatul Aulia, 9/238)
Dari sini kita tahu bahwa as sawaadul a’zham dalam istilah syar’i itu tidak harus berjumlah banyak. Dan jelaslah juga bagi kita ternyata as sawaadul a’zham adalah Al Jama’ah dan bukanlah ‘kebanyakan orang’ secara mutlak. As sawaadul a’zham adalah orang-orang yang taat kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman para sahabat Nabi, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit. Bahkan Ishaq bin Rahawaih, guru dari Imam Al Bukhari ini, mengatakan bahwa hanya orang bodoh yang mengira bahwa as sawaadul a’zham adalah mayoritas orang secara mutlak:
لَوْ سَأَلْتَ الْجُهَّالَ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالُوا: جَمَاعَةُ النَّاسِ وَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ الْجَمَاعَةَ عَالِمٌ مُتَمَسِّكٌ بِأَثَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَرِيقِهِ، فَمَنْ كَانَ مَعَهُ وَتَبِعَهُ فَهُوَ الْجَمَاعَةُ، وَمَنْ خَالَفَهُ فِيهِ تَرَكَ الْجَمَاعَةُ
Jika engkau tanyakan kepada orang-orang bodoh siapa itu as sawadul a’zham, niscaya mereka akan menjawab: mayoritas manusia. Mereka tidak tahu bahwa Al Jama’ah itu adalah orang alim yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan jalannya. Barangsiapa yang bersama orang alim tersebut dan mengikutinya, ialah Al Jama’ah, Dan yang menyelisihinya, ia meninggalkan Al Jama’ah” (Hilyatul Aulia, 9/238)

Kesimpulan

Al Jama’ah semakna dengan as sawaadul a’zham, yaitu orang-orang yang berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi, mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit.
Oleh karena itu ‘kebanyakan orang’ secara mutlak bukanlah as sawaadul a’zham, sehingga tidak benarlah orang-orang yang hanya ikut ‘kebanyakan orang’ dalam beragama. Bagaimana halnya jika prinsip demikian diterapkan di masyarakat yang bobrok, mayoritasnya meninggalkan shalat misalnya. Apakah meninggalkan shalat menjadi hal yang biasa dan dibenarkan? Jika masyarakatnya gemar berzina, bagaimana mungkin ahluz zina itu disebut as sawadul a’zham yang merupakan ahlul haq? Jika masyarakatnya mayoritas gemar berbuat bid’ah, maka bagaimana mungkin as sawaadul a’zham adalah ahlul bid’ah?
Dengan penjelasan para ulama di atas, maka mayoritas penduduk sebuah negeri secara mutlak pun bukan as sawadul ‘azham. Apalagi sekedar organisasi massa, partai, jama’ah dakwah, thariqah, mengklaim diri mereka sebagai as sawadul a’zham atau Al Jama’ah. Demi Allah, bukan demikian.
Hendaknya setiap muslim bersatu dalam kebenaran, berkumpul dalam petunjuk para ulama yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat Nabi Radhiallahu’anhum tanpa dibatasi oleh sikap fanatik golongan, tidak terbatas oleh keanggotaan ormas, partai atau jama’ah dakwah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Bersatulah dengan tali Allah dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)
Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan as sawadul a’zham atau menjadikan kita orang-orang yang berpegang teguh kepadanya.
Penulis: Yulian Purnama
Editor: Ust. Aris Munandar, SS.,MA.
Artikel Muslim.Or.Id

BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH

BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN

<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >>  اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...