Selengkapnya: https://www.dusturuna.com/quran/48-10/ | dusturuna.com
Wallahi, Demi Allah!
Saya berbai’at kepada Allah dihadapan Ulil Amri yang bertanggung jawab, dengan tulus ikhlas bahwasanya :
- Saya tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun jua.
- Saya tidak akan mencuri, berzina, berdusta dan mendustakan larangan-larangan Allah.
- Saya siap sedia mendengar dan taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah dan kepada Ulil Amri saya kapanpun dan dimanapun.
- Saya siap sedia berkorban apa saja sesuai dengan kemampuan saya demi tegaknya ajaran Allah dan Rasul-Nya.
- Apabila ternyata dikemudian hari, saya dengan sengaja melanggar dan atau mengkhianati bai’at yang saya nyatakan ini, maka saya bersedia dan rela dituntut sepanjang keadilan hukum Islam.
Semoga Allah menerima pernyataan bai’at saya ini dan memandaikan saya dalam melaksanakan tugas suci untuk meninggikan (li i’lai) kalimatillah serta mengampuni dan meridhai saya. Aamiin. Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !
- Saya tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun jua.
Syirik, Dosa Besar Yang Paling Besar
SYIRIK, DOSA BESAR YANG PALING BESAR
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Tauhid adalah perintah Allâh yang paling besar, sebaliknya syirik (kemusyrikan) adalah larangan Allâh yang paling besar. Barangsiapa mengenal keagungan tauhid dan mengetahui bahaya kemusyrikan dengan sebenarnya, maka dia akan berusaha mewujudkan tauhid pada dirinya dan menjauhi kemusyrikan sejauh-jauhnya. Bahkan dia juga khawatir dan takut terhadap kemusyrikan, jangan sampai terjerumus ke dalamnya, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Karena banyak orang mengetahui syirik itu dilarang agama, bahkan merupakan dosa yang paling besar, namun karena tidak memahaminya, maka dia terjerumus di dalamnya dengan tanpa menyadari. Oleh karena itu sangat penting kita mengetahuinya untuk meninggalkannya.
BAHAYA SYIRIK
Karena bahaya syirik yang sangat besar sehingga dalam berbagai kesempatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengingatkan kepada para sahabat. Antara lain dalam hadits sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
Dari Abdurrahmân bin Abi Bakrah, dari bapaknya Radhiyallahu anhu , ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perhatikanlah (wahai para sahabat), maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Kemudian para sahabat mengatakan: “Tentu, wahai Rasûlullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua,” sebelumnya beliau bersandar, lalu beliau duduk dan bersabda, “Perhatikanlah! Dan perkataan palsu (perkataan dusta),” beliau selalu mengulanginya sampai kami berkata, “Seandainya beliau berhenti”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
Allâh Ta’ala memberitakan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik, hal ini jika pelakunya tidak bertaubat. Dia berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4:48].
Allâh Ta’ala juga memberitakan bahwa amal orang-orang musyrik sia-sia, tidak ada nilainya di sisi Allâh Ta’ala. Dia berfirman:
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِم بِالْكُفْرِ أُوْلاَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allâh, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia amal mereka, dan mereka itu kekal di dalam neraka. [at-Taubah/9:17].
Demikian juga orang-orang musyrik akan kekal di dalam neraka. Allâh Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِى إِسْرَاءِيلُ اعْبُدُوا اللهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allâh ialah al-Masih putera Maryam,” padahal al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allâh Rabbku dan Rabbmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka pasti Allâh mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun. [al-Ma-idah/5:72].
ARTI SYIRIK
Setelah mengetahui bahaya syirik yang begitu dahsyat, maka kita wajib mengetahui tentang syirik ini agar selamat darinya.
Syirik adalah lawan dari tauhid. Syirik dalam bahasa Arabnya adalah: syirk (شِرْكٌ), artinya sekutu, atau isyrâk (اِشْرَاكٌ), artinya menjadikan sekutu. Adapun secara istilah syara’, ta’rif (pengertian) syirik yang disebutkan ulama bermacam-macam, namun tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Di antara ta’rif yang mencakup dan lengkap adalah yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan. Beliau menjelaskan, syirik memiliki dua makna.
Pertama, makna umum, yaitu:
تَسْوِيَةُ غَيْرِ اللهِ بِاللهِ فِيْمَا هُوَ مِنْ خَصَائِصِهِ سُبْحَانَهُ
(menyamakan selain Allâh dengan Allâh di dalam perkara yang termasuk kekhususan-kekhususan Allâh Yang Maha Suci).
Yang dimaksudkan dengan “menyamakan” di sini adalah semata-mata persekutuan, sama saja apakah Allâh (dianggap) persis menyerupai selain-Nya pada perkara itu atau Allâh lebih dari selain-Nya pada perkara itu. Berdasarkan makna ini, maka syirik ada tiga macam, sebagai berikut:
1. Syirik di dalam rububiyah. Yaitu menyamakan (Allâh dengan selain-Nya) di dalam perkara-perkara yang termasuk kekhususan-kekhususan rububiyah (memiliki dan mengatur alam), atau menisbatkan rububiyah kepada selain Allah, seperti: menciptakan, memberi rizqi, menghidupkan, dan mematikan. Secara ‘urf (kebiasaan/istilah ulama), syirik ini dinamakan tamtsiil (menyerupakan) atau ta’thiil (meniadakan).
2. Syirik di dalam uluhiyah. Yaitu menyamakan (Allâh dengan selain-Nya) di dalam perkara-perkara yang termasuk kekhususan-kekhususan uluhiyah, atau menisbatkan uluhiyah (hak diibadahi) kepada selain Allâh, seperti: (meniatkan) shalat, puasa, menyembelih (berqurban), nadzar, dan semacamnya (untuk selain Allâh). Inilah yang dikenal dengan syirik, jika disebutkan secara umum.
3. Syirik di dalam asma’ wash-shifât. Yaitu menyamakan antara Allâh dengan makhluk di dalam perkara-perkara dari kekhususan-kekhususan nama-nama dan sifat-sifat Allâh. Secara ‘urf (kebiasaan/istilah ulama), syirik ini dinamakan tamtsîl (menyerupakan).
Kedua, makna khusus, yaitu menjadikan selain Allâh sebagai ma’bûd (yang diibadahi), muthâ’ (yang ditaati) bersama Allâh.
Inilah yang segera difahami dari istilah syirik jika disebutkan secara umum di dalam al-Qur’ân, as-Sunnah, dan perkataan Salaf (orang-orang zaman dahulu yang shalih). Sehingga barangsiapa menjadikan ilâh (sesuatu yang diibadahi), dia mengibadahinya atau mentaatainya dari selain Allâh, maka dia adalah orang musyrik -menurut bahasa wahyu dan riwayat. [Lihat Al-Madkhal Lid-Dirâsah al-‘Aqidah al-Islamiyah ‘ala Madzhab Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hlm. 125-126].
Di dalam kitab Muqarrar Tauhid lish-Shaff ats-Tsalits al-‘Ali fil-Ma’ahid al-Islamiyah, juz 3, hlm. 10 disebutkan, syirik (kemusyrikan) adalah menjadikan sekutu atau tandingan bagi Allâh Ta’ala di dalam rububiyah (perbuatan-Nya), uluhiyah (hak-Nya untuk ditaati secara mutlak dengan penuh kecintaan dan pengagungan), dan asma’ wa sifat (nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang sempurna). Dan yang umum, terjadinya kemusyrikan adalah di dalam uluhiyah. Yaitu seseorang berdoa kepada Allâh dan kepada selain-Nya, atau mempersembahkan sesuatu dari jenis-jenis ibadah kepada selain Allâh, seperti: penyembelihan binatang, nadzar, rasa takut, berharap, dan kecintaan.
MACAM-MACAM SYIRIK
Dilihat dari besarnya dosa, syirik terbagi dua, yaitu akbar (besar) dan ash-ghar (kecil).
Syirik akbar menggugurkan seluruh amal dan menyebabkan kekal di dalam neraka. Contoh syirik akbar seperti: Syirik doa, yaitu berdoa kepada orang yang telah mati, patung, pohon, batu, atau lainnya. Contoh lainnya adalah syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allâh di dalam maksiat, yaitu menghalalkan apa yang Allâh haramkan, atau mengharamkan apa yang Allâh halalkan.
Syirik ash-ghar tidak menggugurkan seluruh amal, tetapi juga berbahaya. Di antara contohnya adalah riya`, ucapan “mâsyâ Allâh wa syi’ta” (apa yang Allâh kehendaki dan engkau kehendaki), bersumpah dengan menyebut selain nama (sifat) Allâh, dan lainnya.
• Dilihat dari kaitannya, syirik terbagi tiga, yaitu: syirik dalam hal rububiyah Allâh, uluhiyah Allâh, dan asma’ wa shifât. Penjelasan sebagaimana telah disebutkan di atas.
• Dilihat dari bentuknya, syirik terbagi tiga, yaitu: syirik dalam hal keyakinan, perkataan atau lafazh, dan syirik perbuatan.
• Di lihat dari keadaannya, syirik terbagi dua, yaitu: jali (nyata) atau khafi (samar).
Semua bentuk syirik harus ditinggalkan, karena semua membahayakan bagi pelakunya.
BERTAUBAT DARI SYIRIK
Orang yang telah kedatangan keterangan tentang bahaya syirik, sepantasnya segera bertaubat. Karena sesungguhnya seluruh dosa, termasuk syirik, akan diampuni oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dengan syarat jika hamba yang melakukan dosa tersebut bertaubat kepada-Nya. Allâh Ta’ala berfirman:
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَتَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيم
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [az-Zumar/39:53].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Ayat yang mulia ini merupakan seruan kepada orang-orang yang bermaksiat, baik orang-orang kafir atau lainnya, untuk bertaubat dan kembali (kepada Allâh). Ayat ini juga memberitakan bahwa Allâh Tabaraka wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa semuanya bagi orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa tersebut dan meninggalkannya, walaupun dosa apapun juga, walaupun dosanya sebanyak buih lautan. Dan tidak benar membawa arti pengampunan Allâh (dalam ayat ini) dengan tanpa taubat, karena orang yang tidak bertaubat dari syirik tidak akan diampuni oleh Allâh”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat az-Zumar/39 ayat 53].
Semoga Allâh selalu menjaga kita dari dosa syirik, yang besar maupun yang kecil, yang nyata maupun yang samar, dan yang kita ketahui maupun tidak kita ketahui. Hanya Allâh Yang Memberi hidayah taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Seorang muslim yang baik minimal harus memenuhi dua syarat: menjauhi dosa besar dan melaksanakan perintah yang wajib. Dosa-dosa besar dalam Islam seperti yang tersebut dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad. Syamsuddin Adz-Dzahabi (شمس الدين الذهبن) dalam kitab Al-Kabair (Dosa-dosa Besar) menguraikan secara rinci perbuatan dosa yang masuk dalam kategori dosa besar lengkap dengan dalil-dalil dari Quran dan hadits. Di sini, hanya 5 (lima) dosa besar yang dicantumkan yang kami anggap sangat penting. Kelima dosa besar yang dicantumkan di bawah tidak termasuk syirik. Karena syirik sama dengan kufur yang berarti keluar dari Islam. Ketika seseorang keluar dari Islam, maka tidak ada lagi bahasan dosa.
DAFTAR DOSA BESAR
Syirik,Membunuh,Mencuri,Berzina,Minum Miras (Alkhohol)/Narkoba,Meninggalkan Rukun Islam yang Lima, 70 Dosa Besar Menurut Adz-Dzahabi Termaktub dalam Kitab Al-Kabair (الكبائر)
BERZINA / SELINGKUH
Zina adalah hubungan seksual di luar nikah baik suka sama suka atau tidak. Berzina adalah salah satu dosa besar dalam Islam. Zina awal mula timbul dari percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas. Karena itu, khalwat (berduaan antar lawan jenis dilarang yang bukan mahram dilarang) Dalil-dalil larangan berzina antara lain sebagai berikut:
1. QS Al-Isra' 17:32
وَلاَ تَقْرَبُواْ لزّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.
2. QS An-Nur 24:2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing 100 kali, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah hukuman mereka disaksikan olhe sebagian orang-orang yang beriman.
ALKOHOL / NARKOBA
Minum minuman beralkohol baik banyak atau sedikit adalah haram dan dosa besar. Termasuk juga mengonsumsi narkoba dan segala macam bentuk penyalahgunaan obat-obat terlarang seperti ectassy, dan lain-lain. Dalilnya sebagai berikut:
1. QS Al-Baqarah 2:219:
يَسْأَلونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya."
2. QS Al-Maidah 5:90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.
3. QS Al-Maidah 5:91:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Artinya: Dengan minuman keras dan judi itu setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka tidakkah kamu mau berhenti?
TIDAK MELAKUKAN RUKUN ISLAM YANG LIMA
Islam itu identik dengan 5 (lima) pilarnya. Tidak melaksanakan 5 lima rukun Islam sengaja atau tidak adalah dosa besar. Yaitu, syahadat, shalat lima waktu, membayar zakat, puasa Ramadan, dan haji apabila mampu.
70 DOSA BESAR MENURUT ADZ-DZAHABI (الذهبي) DALAM AL-KABAIR (الكبائر)
Ada 70 macam dosa besar yang disebut dalam kitab Al-Kabair oleh Adz-Dzahabi. Alasan dan dasar hukumnya dapat dilihat sendiri dalam kitab Al-Kabair (الكبائر) karya Adz-Dhahabi.
1. Menyekutukan Allah atau Syirik
2. Membunuh manusia
3. Melakukan sihir
4. Meninggalkan shalat
5. Tidak mengeluarkan zakat
6. Tidak berpuasa ketika bulan Ramadhan tanpa alasan yang kuat
7. Tidak mengerjakan Haji walaupun berkecukupan
8. Durhaka kepada Ibu Bapa
9. Memutuskan silaturahim
10. Berzina
11. Melakukan sodomi atau homoseksual
12. Memakan riba
13. Memakan harta anak yatim
14. Mendustakan Allah S.W.T dan rasul-Nya
15. Lari dari medan perang
16. Pemimpin yang penipu dan kejam
17. Sombong
18. Saksi palsu
19. Meminum minuman beralkohol
20. Berjudi
21. Menuduh orang baik melakukan zina
22. Menipu harta rampasan perang
23. Mencuri
24. Merampok
25. Sumpah palsu
26. Berlaku zalim
27. Pemungut cukai yang zalim
28. Makan dari harta yang haram
29. Bunuh diri
30. Berbohong
31. Hakim yang tidak adil
32. Memberi dan menerima sogok
33. Wanita yang menyerupai lelaki dan sebaliknya juga
34. Membiarkan istri, anaknya atau anggota keluarganya yang lain berbuat mesum dan memfasilitasi anggota keluarganya tersebut untuk berbuat mesum
35. Menikahi wanita yang telah bercerai agar wanita tersebut nantinya bisa kembali menikah dengan suaminya terdahulu
36. Tidak melindungi pakaian dan tubuhnya dari terkena hadas kecil seperti air kencing atau kotoran
37. Riya atau suka pamer
38. Ulama yang memiliki ilmu namun tidak mau mengamalkan ilmunya tersebut untuk orang lain
39. Berkhianat
40. Mengungkit-ungkit pemberian
41. Mangingkari takdir Allah SWT
42. Mencari-cari kesalahan orang lain
43. Menyebarkan fitnah
44. Mengutuk umat Islam
45. Mengingkari janji
46. Percaya kepada sihir dan nujum
47. Durhaka kepada suami
48. Membuat patung
49. Menamparkan pipi dan meratap jika terkena bala
50. Menggangu orang lain
51. Berbuat zalim terhadap yg lemah
52. Menggangu tetangga
53. Menyakiti dan memaki orang Islam
54. Durhaka kepada hamba Allah S.W.T dan menggangap dirinya baik
55. Memakai pakaian labuhkan pakaian
56. Lelaki yang memakai sutera dan emas
57. Seorang hamba (budak) yang lari dari Tuannya
58. Sembelihan untuk selain dari Allah S.W.T
59. Seorang yang mengaku bahwa seseorang itu adalah ayahnya namun dia tahu bahwa itu tidak benar
60. Berdebat dan bermusuhan
61. Enggan memberikan kelebihan air
62. Mengurangi timbangan
63. Merasa aman dari kemurkaan Allah S.W.T
64. Putus asa dari rahmat Allah S.W.T
65. Meninggalkan sholat berjemaah tanpa alasan yang kuat
66. Meninggalkan Sholat Jumaat tanpa alasan yang kuat
67. Merebut hak warisan yang bukan miliknya
68. Menipu
69. Mengintip rahasia dan membuka rahasia orang lain
70. Mencela Nabi dan para sahabat beliau
===================
CATATAN DAN RUJUKAN
[1] Dosa besar adalah:
الكبيرة هي ماترتب على فعلها حد أو عقوبة ذكرت في الكتاب أو السنة
والصغيرة اذا أصر عليها ولم يتب قد تصبح كبيرة
فلاكبيرة مع الاستغفار ’ ولاصغيرة مع الاصرار
Saya siap sedia mendengar dan taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah dan kepada Ulil Amri saya kapanpun dan dimanapun
Ulil Amri yang Wajib Ditaati
KIBLAT.NET – Belakangan ini, tema ulil amri kembali hangat diperbincangkan di sosial media. Meski sudah final dalam kajian para ulama, namun ternyata masih ada sebagian masyarakat kita yang belum mengerti siapa sesungguhnya ulil amri yang harus ditaati itu. Selama ini, banyak di antara mereka yang memahami bahwa ulil amri yang wajib ditaati itu adalah setiap pemimpin yang ada hari ini. Tanpa peduli, apakah pemimpin tersebut menjalankan syariat Allah ataukah tidak.
Di sinilah kemudian kajian tentang ulil amri menjadi tema yang cukup urgen untuk dipahami dengan baik. Pasalnya, ketika definisi ulil amri ini tidak dipelajari dengan utuh dan benar, maka rentetan hukum berikutnya pun—hukum terkait tentang bagaimana memperlakukan pemimpin—berujung pada kesimpulan yang salah.
Jadi, sebelum berbicara lebih jauh tentang persoalan hukum seputar ketaatan kepada penguasa, hal yang penting untuk dikaji terlebih dahulu adalah:
- Apa definisi yang dihadirkan oleh para ulama tentang ulil amri.
- Apa saja kriteria seseorang bisa disebut sebagai ulil amri atau pemimpin umat Islam.
Definisi ulil amri
Secara bahasa, kata ulil amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata uli yang bermakna memiliki dan al-amr yang bermakna memerintah. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata uIi adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, masih menurut Ibnu Mandzur, ia adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan dengan kata yang lain (idhafah).
Sedangkan definisi al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat; Lisanu Arab: 4/31)
Jadi, menurut istilah, kata ulil amri dapat didefinisikan yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat: Al-Mufradat, 25)
Siapakah yang Disebut dengan Ulil Amri?
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Ibnu Abi ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah, berkata, “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) walaupun mereka berbuat dzalim. karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri.” (Lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381)
Namun kemudian muncul salah satu pertanyaan yang cukup mendasar dan perlu dijabarkan secara utuh, yaitu; siapakah yang disebut dengan ulil amri? Apakah setiap pemerintahan yang ada hari ini bisa disebut ulil amri?
Ketika menjelaskan ayat di atas, para ulama tafsir telah menyebutkan beberapa pandangan tentang siapakah yang dimaksud ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.
Imam At-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai siapa ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para penguasa. Sebagian lagi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Dan Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat Tafsir at-Thabari, 7/176-182)
Sementara itu Ibnu Katsir, setelah mengutib beberapa pandangan ulama tentang ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, “Ayat ini merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa. Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya. ‘Dan taatilah Rasul’ maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘Dan ulil amri di antara kalian,’ maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)
Perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya. Namun di antara seluruh pendapat tersebut, mayoritas ulama menguatkan bahwa maksud ulil amri dalam ayat tersebut ialah para penguasa dan ulama yang memiliki otoritas dalam mengurus urusan kaum muslimin, baik urusan dunia maupun agama mereka.
Imam Asy-Syaukani berkata:
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
“Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)
Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222)
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)
Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama dalam memaknai ulil amri, pertama: Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. Kedua: Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. Ketiga: Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati
Kesimpulan ini selaras dengan tujuan (maqashid) kepemimpinan itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat, yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi SAW dalam menjalankan tugas kenabian.
Imam Al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)
Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
Senada dengan itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “imamah (kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Al-Muqaddimah, hal. 195)
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan ulil amri adalah para pemimpin umat Islam yang mengatur pemerintahannya dengan pedoman hukum Allah, yaitu sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan para pemimpin negara yang mengatur kepemerintahannya dengan selain hukum Allah, seperti demokrasi, komunis dan sebagainya, maka tidaklah layak disebut sebagai ulil amri.
Syaikh Ahmad Naqieb, salah satu da’i salafi yang berdomisili di Mesir, ketika ditanya apakah pemimpin demokrasi yang ada saat ini layak disebut ulil amri? Beliau menjawab, “Kita tidak membela kebatilan, jika demokrasi menjadi asas undang-undang sebuah kepemimpinan maka dia tidak disebut dengan waliyu syar’i (baca; ulil amri). Berhukum dengan demokrasi tidak sesuai dengan petunjuk syar’i. Akan tetapi kita menaati peraturan dia hanya demi kemaslahatannya saja.”
Lalu dalam rekaman yang lain, beliau juga menjelaskan bahwa yang disebut dengan waliyus syar’i adalah pemimpin yang menegakkan syariat Islam . Inilah pemimpin yang wajib ditaati meskipun dia melakukan kedzaliman atau melampaui batas. Selama ia menegakkan syariat Islam maka dia disebut dengan waliyus syar’i.
Apakah sepanjang masih salat tetap harus ditaati?
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menyebut kriteria pemimpin yang harus ditaati. Salah satunya adalah selama mereka masih menegakkan shalat. Diriwayatkan dari Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ،
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita menyatakan perang kepada mereka ketika itu?’ beliau menjawab, ‘Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian’.” (HR. Muslim)
Dalam lafadh lain, Rasulullah saw menyebutkan, “Sungguh akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal (kebaikan mereka, -pen.) dan kalian ingkari (kemaksiatan mereka, -pen.). Barang siapa mengingkari kemaksiatannya, dia terlepas dari tanggung jawab. Dan barang siapa membencinya, dia selamat, tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang ridha dan mengikutinya.” Sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh, selama mereka mengerjakan shalat lima waktu bersama kalian.” (HR. Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu barometer ketaatan kepada ulil amri adalah selama pemimpin tersebut masih mengerjakan shalat. Sebaliknya, ketika tidak mau melaksanakan shalat maka tidak ada lagi kewajiban bagi rakyat menaatinya. Sebab, shalat adalah salah satu pemisah antara orang mukmin dan kafir. ketika seseorang tidak mau melaksanakan shalat maka dia sudah melakukan salah satu kekufuran.
Perlu dipahami bahwa pada dasarnya seorang pemimpin harus dilengserkan dari jabatannya ketika ia melakukan kekufuran. Tidak mau mengerjakan shalat hanyalah salah satu penyebab kekufuran. Lebih daripada itu, masih banyak bentuk tindakan lain yang menyebabkan seseorang menjadi kafir. Di antaranya adalah ketika ia menolak syariat Allah atau menggantikan undang-undang negara dengan selain hukum Allah. Pemimpin yang tidak menegakkan syariat maka tidak layak disebut ulil amri, bahkan ia pun harus dilengserkan dari jabatannya.
Sehingga dalam banyak hadis, Nabi saw membatasi kewajiban taat kepada pemimpin adalah selama mereka menegakkan hukum Allah. Nabi saw bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah meskipun kaliau dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan kitabullah.” (HR. Tirmidzi, no. 1706, Nasa’i, 7/154, Ibnu Majah, no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206, ia berkata hadis shahih dan dishahihkan juga oleh Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain dari Ummu Hushain Al-Ahmashiyah r.a ia berkata, “Saya melaksanakan haji bersama Rasulullah Saw di Haji Wada’…Rasulullah SAW menyabdakan banyak hal, lalu saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
“Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya yang berhidung cacat—aku rasa belia mengucapkan, ‘berkulit hitam’—yang akan memimpin kalian dengan kitab Allah, maka dengar dan taatilah ia’.” (HR. Muslim)
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ
“Urusan kepemimpinan ini akan tetap berada di tangan kaum Quraisy, tidak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah seret mukanya ke neraka, asalkan mereka (kaum Quraisy itu) menegakkan agama (hukum syariah).” (HR. Al-Bukhari, no. 3500).
Seluruh hadis di atas jelas menunjukkan bahwa syarat seorang pimimpin yang wajib ditaati adalah ketika ia memimpin dengan berpedoman kepada kitabullah (baca: Syariat Islam). Adapun ketika ia tidak berhukum dengan syariat Islam maka ia tidak wajib didengar dan ditaati. Bahkan kondisi yang demikian menuntut kaum muslimin untuk melengserkannya dari kepemimpinan tersebut.
Sehingga Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ulya, dalam salah satu tulisannya yang di posting dalam situs Islamway.net, dengan tegas menyatakan bahwa syarat keabsahan kepemimpinan yang wajib ditaati adalah ketika mereka berhukum dengan hukum Allah. Karena, Rasulullah saw dalam beberapa riwayat di atas selalu mengaitkan ketaatan kepada pemimpin dengan syarat selama pemimpin tersebut menegakkan hukum Allah.
Bagaimana dengan Pemimpin yang Tidak Menegakkan Hukum Allah ???
PEMIMPIN YANG TIDAK BERORIENTASI PADA PENERAPAN AL QUR'AN DAN AS SUNNAH TIDAK TERMASUK ULIL AMRI, MELAINKAN IA ADALAH ANDAAD (TANDINGAN-TANDINGAN BAGI HUKUM ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA DAN RASUL-NYA) KITA JUSTRU WAJIB MELAKSANAKAN BARRA' TERHADAP KEPEMIMPINAN YG DEMIKIAN...
Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa seorang pemimpin layak disebut ulil amri ketika ia menegakkan hukum Allah. Ketika itu, rakyat dituntut untuk taat meskipun dia berlaku dzalim terhadap mereka. Namun sebaliknya, ketika mereka mengabaikan hukum Allah, maka ia tidak bisa disebut ulil amri dan rakyat tidak wajib taat kepadanya.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kewajiban seorang imam adalah menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan itu maka wajiblah bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya serta bersedia bila diperintahkan sesuatu.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih).
Imam Qadhy ’Iyadh menjelaskan, ”Seandainya seorang penguasa jatuh dalam kekufuran atau mengubah syariat, serta melakukan bid’ah maka tidak perlu ditaati. Dan wajib atas kaum Muslim untuk melengserkannya.” (Syarah Shahih Muslim, 8/35-36)
Abu Abbas Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, (4/39) juga menegaskan, “Kalau pemimpin itu tidak mau menegakkan salah satu pondasi agama seperti penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan hukum hudud, bahkan melarang pelaksanaan itu, atau dia malah membolehkan minum khamer, zina serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus dilengserkan.”
Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid menjelaskan, “Para pemimpin yang mengingkari syariat Allah, tidak mau berhukum dengan hukum Allah serta berhukum dengan selain hukum Allah, maka ketaatan kaum muslimin kepadanya telah lepas. Manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan). Dimana atas dasar tujuan tersebut ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh ditentang.”
Ulil amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.
Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka hak kepemimpinan telah hilang darinya. Umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) wajib mencopotnya dan menggantinya dengan orang yang mampu merealisasikan tujuan kepemimpinan.
Ketika Ahlis Sunnah tidak membolehkan keluar dari para pemimpin yang zalim dan fasik—karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama— maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan salafus shalih tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri) yang tidak menjaga agama.
Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.” (Abdullah bin Abdul Hamid, Al Wajiz Fi Aqidati al–Salaf al–Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 169)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua pemimpin negara saat ini layak disebut ulil amri, karena tugas utama yang paling pokok bagi ulil amri adalah mewujudkan tujuan-tujuan kepemimpinan di dalam Islam , yaitu menegakkan agama dan mengatur rakyatnya dengan syariat Islam . Peran inilah yang kemudian ia disebut sebagai ulil amri yang wajib ditaati dan tidak boleh dilawan. Sedangkan pemimpin sekuler yang tidak menegakkan agama atau bahkan berhukum dengan undang-undang demokrasi, maka jelas tidak pantas untuk disebut ulil amri. Wallahu a’lam bis shawab!
Penulis : Fakhruddin
4. Berkorban Apa Saja Dijalan Dakwah
(Direktur LKI Al Mustaqim, Gresik)
Banyak diantara kita ketika mendengar kata “berkorban” yang terbayang adalah masalah, beban, kesulitan, kesulitan dan berbagai perasaan yang tidak menyenangkan. Hal ini wajar karena berkorban mengharuskan seseorang mengesampingkan kepentingannya sendiri. Hal ini akan terasa berat dan menjadi beban bagi mereka yang tidak perlu esensi berkorban itu.
Disatu sisi berkorban dijalan dakwah merupakan pemulihan yang harus diberikan. Karena dakwah merupakan keharusan bagi setiap mukmin untuk tegaknya agama Allah. Sementara disisi lain adalah manusiawi akan mengambil berat jika dituntut untuk melakukan sesuatu yang dianggap menguntungkan atau tidak menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu perlu dipahami yang utuh tentang berkorban dijalan dakwah itu sendiri. Apakah benar pengorbanan dijak dakwah itu merugikan dan merupakan beban bagi para pengemban dakwah.
Kalau kita coba pahami dengan berkorban bukan hanya untuk kepentingan orang lain. Sebenarnya Manfaatnya akan kembali kepada diri sendiri. Apapun yang merelakan hartanya untuk dijalan Allah yang sebenarnya tengah menabung untuk dia. Karena Allah akan memberikannya kembali dengan tambahan yang lebih besar diakhirat nanti. Dia berfirman: “ Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ditambahkan dengan menyebutkanir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap-setiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas lagi, Maha Mengetahui ”. (QS. AlBaqarah: 261).
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَنْفَقَ نَفَقَةً فِي سَبِيْلِ اللهِ تَضَاعَفَتْ بِسَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. (رواه أحمد)
“Barangsiapa menafkahkan sesuatu yang dijalan Allah maka akan dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat”. (HR. Ahmad)
Begitu juga orang yang mengeluarkan jiwanya dalam rangka menegakkan agama Allah akan mendapat kedudukan yang tinggi disisiNya. Ia akan menggapai syahadah yang akan mengantarkannya ke kebahagiaan abadi.
Agar berkorban menjadi ringan
Agar berkorban dijalan dakwah terasa ringan ada beberapa hal yang mesti kita lakukan; Pertama, berusaha menjadikan dakwah sebagai sesuatu yang paling kita cintai. Mencintai dakwah melebihi cinta kepada anak, istri, harta, bahkan diri sendiri. Inilah yang terjadi pada pribadi para sahabat yang dilihat Rasulullah.; Abubakar, Umar, Utsman, dan yang lainnya. Mereka rela melepaskan diri dan hartanya dijalan Allah. Ketika Abubakar datang ke Rasulullah saw. dengan membawa seluruh hartanya, Dia melihat. bertanya, “Adakah harta yang diminta sisakan? Ia menjawab, "Ada pada Allah dan Rasulnya." Zaid bin Haritsah tidak mengaku takut melesak ketengah barisan musuh diperang Mu'tah. Karena yang ia cari adalah syahid dijalan Allah. Ia telah menjual dirinya kepada Allah dengan surga sebagai harganya. Inilah yang Allah gambarkan dalam firmanNya:
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
berikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) Janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan itu kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 111)
Dengan mencintai dakwah sebagai wujud kecintaan kita kepada Allah kita akan membutuhkan ringan kompilasi harus berkorban dijalannya. Seperti seseorang yang menyukai istri dan lalu memunculkan ia akan rela berkorban untuk mereka. Atau seperti seorang laki-laki yang menerima seorang gadis, ia akan rela melakukan apapun demi mendapatkan cintanya.
Seorang hamba yang mencintai Allah dengan sepenuh hati membantah tentang kebiasaannya yang suka memberikan hartanya dan meminjam jiwanya dijalan Allah tanpa perhitungan, apa gerangan yang dibutuhkan demikian? Ia mengatakan, “Suatu saat aku berbicara tentang manusia yang sedang dimabuk cinta berbisik-bisik ditempat yang sunyi. Sang pemuda berkata kepada gadis disampingnya, "Aku, demi Allah sangat mencintaimu sepenuh hati, tetapi berpikir harus selalu berpaling dariku." Gadis itu menjawab, "Jika memang benar-benar mencintaiku, apa yang dibutuhkan oleh orang itu sebagai bukti cintamu." , "Akankah aku bersembawa seluruh ragaku untukmu." Hamba Allah mengatakan, "Ini adalah kisah cinta yang muncul, bagaimana jika dicintainya Sang Khaliq yang layak untuk dipuja dan disembah?"
Kedua, membiasakan diri dalam berkorban. Para nelayan yang sudah terbiasa bertarung ombak dan badai juga dinginnya angin malam tidak berat dengan semua itu, Mengapa? Karena mereka sudah biasa. Dengan membiasakan diri untuk berkorban kita akan merasa ringan. Oleh karena dari awal sejatinya dakwah harus dikembalikan dengan semangat pengorbanan dan dibiasakan untuk berkorban baik harta, tenaga, waktu bahkan jiwa. Jika perlu diri kita harus meminta agar berkorban agar hal itu menjadi kebiasaan. Dan yang harus memaksanya adalah diri sendiri, bukan orang lain. Para ustadz dan pembimbing mungkin hanya bisa mengarahkan dan membina agar para pengemban dakwah ini mau berkorban. Namun selanjutnya merekalah yang berusaha agar mau dengan suka rela memberikan pengorbannya untuk Dakwah.
Coba simak apa yang dilakukan Abdullah bin Rawahah kompilasi maju ke tengah pertempuraman tetapi merasa ragu (karena takut terhadap kematian) maka ia serukan kepada jiwanya:
“Aku sungguh bersumpah, hai jiwaku, kau mesti menerjuni pertempuran, Mau atau tidak, kau berjuang menghadapinya.
Jika orang-orang itu berhimpun dan mereka berpekik keras-keras, lalu mengapa aku melihatmu membenci surga?
Cukup lama kau merasakan ketenangan
Apakah kau tiada lain adalah air mani di dalam kulit? ”
Ia kemudian menerjang ke tengah musuh dengan dahsyatnya hingga meninggal dalam keadaan syahid. Abdullah telah berhasil meminjamnya untuk diterbitkan jiwanya. Ia cambuk jiwanya mencoba berusaha memalingkan dia dari pengorbanan itu. Tindakan seperti inilah mesti kita lakukan kompilasi jiwa kita lakukan pelit dan malas untuk berkorban dijalan dakwah. Diri kita harus diganti untuk dipakai dan bisa berkorban demi dakwah untuk meninggikan kalimah Allah ( li i'laali kalimatillah ).
Ketiga, berdakwah dengan penuh perasaan dan kesadaran. Selama ini kita membutuhkan berat dalam melakukan kegiatan dan pengorbanan dalam dakwah mungkin karena kita tidak melakukan semuanya dengan sepenuh perasaan dan kesadaran. Sementara perasaan yang menyertai suatu kegiatan akan mampu menghilangkan rasa berat yang mungkin muncul. Sementara kesadaran
penuh kompilasi melakukan suatu kegiatan akan mendatangkan kenikmatan di dalamnya. Ketika dakwah yang kita lakukan hanya merupakan rutinitas atau bahkan hanya sebagai penggabung dosa maka ia akan tetap menjadi beban, dan pengorbanan dijalannya akan terasa memberatkan.
Seperti shalat yang hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari lima menit akan terasa berat untuk orang-orang yang melakukannya tidak menyelesaikan dengan perasaan dan kesadaran. Berbeda dengan Rasulullah saw. dan para sahabat yang berusaha mempertahankan nikmat menjalankan shalat. Menghabiskan waktu lama dalam shalatnya. Malahan orang-orang munafik malah suka walau berat shalatnya hanya seperti burung bangau mematuk cacing. Allah beritakan hal ini dalam Alqur'an:
Dan tidak ada yang membantah mereka karena mereka kafir kepada Allah dan Rasulullah dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, meminta dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, siap pakai dengan rasa enggan. (QS. At-Taubah: 54)
Mengapa bisa terjadi perbedaan perasaan antara Rasulullah saw. dan para sahabat dengan orang munafik melakukan shalat itu. Karena Rasulullah melihat. dan para sahabat melaksanakannya dengan segenap perasaan dan kesadaran ( khusyu '), sementara orang munafik melakukannya karena menyadari ( kaarihuun). Maka tidak heran jika Khalid bin Walid, seorang panglima perang yang gagah-berjuang, menikmati kesenangan luar biasa kompilasi dimedan perang. Padahal peperangan telah melukai setiap jengkalaling. Ia berkata, “Aku lebih suka malam yang sangat dingin dan bersalju, di tengah-tengah pasukan yang akan menyerang musuh pada pagi hari, dari menikmati indahnya malam pengantin bersama wanita yang aku cintai atau aku dikabari dengan melahirkan anak laki-laki.” (HR al-Mubarak dan Abu Nu'aim). Suatu hal yang menyakitkan seperti perang menjadi nikmat yang dilakukan dengan segenap perasaan dan kesadaran.
Khatimah
Saat ini kita semua yang jatuh didunia dakwah sangat diharapkan pengorbanannya demi naiknya kembali hukum Allah dimuka bumi. Pengorbanan yang tulus dari hati sanubari. Pengorbanan yang tidak pernah berhenti. Berkorban dengan segala yang kita miliki. Pengorbanan dengan senang hati muncul dari kesadaran diri.
Semakin banyak orang yang mau berkorban akan semakin mendekati kemenangan. Semakin banyak orang yang mau berkorban maka akan semakin tinggi pula kemenangan yang tiba. Keberhasilan kaum Muslimin menegakkan Daulah Islam di Madinah dalam waktu singkat karena pengorbanan yang luar biasa dari mereka. Mush'ab bin Umair misalnya rela pergi kemewahan pergi demi memenuhi seruan dakwah. Kaum Muhajirin rela berpisah dengan keluarga dan pergi hartanya di Mekah karena panggilan dakwah. Begitu juga kaum muslimin pada masa Khulafaur rasyidin dan para Khalifah setelahnya lebih mementingkan dakwah dan jihad lebih cepat mendapatkan duniawi. Selama islam mampu menyinari dua pertiga wilayah dunia dalam masa kejayaannya selama tiga belas abad.
Tak inginkah kita bisa dibarisan mereka yang telah berbahagia menyandang predikat pejuang islam. Orang-orang yang telah berhasil melewati perjalanan dengan pengorbanan dijalan dakwah. Orang-orang yang telah mengukir sejarah peradaban islam yang gemilang. Jangan sia-siakan peluang untuk berkorban dijalan Allah yang Anda inginkan hari ini sebelum kesempatan yang hilang akan menyisakan penyesalan tiada akhir. Wallahu a'lam bisshawab
5. Apabila ternyata di kemudian hari saya dengan sengaja melanggar dan atau menghianati bai'at yang saya nyatakan ini maka Saya bersedia dan rela dituntut sepanjang keadilan hukum Islam.
PENJELASAN NYA RINGKAS SAJA POIN YG KELIMA INI, YANG INTINYA KITA TIDAK BOLEH BERMAIN MAIN DALAM BERJUANG...