Sabtu, 13 Mei 2017

مصعب بن عبد الله الزبيريBiografi Mush'ab Bin Abdullah Az-zubair,Bhs Arab i ​

مصعب بن عبد الله الزبيري

مصعب بن عبد الله الزبيري
معلومات شخصية
الحياة العملية
المهنةشاعر  تعديل قيمة خاصية المهنة (P106) في ويكي بيانات
الزبيري (156 هـ - 236 هـ) الموافق لـ (773م - 851م)
هو مصعب بن عبد الله بن مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير، أبو عبد الله، عالم بالنسب والحديث وأيام العرب، علامة بالأنساب، غزير المعرفةبالتاريخ، ثقة في الحديث، وله شعر حسن. وأمُّه هيّ أمةُ الجبَّار بنت إبراهيم بن جعفر بن مصعب بنالزبير بن العوام.

حياته وصفاتهعدل

ولد بالمدينة عام 156 هـ الموافق لسنة 773م، وسكنبغداد، وتوفي بها عام 236 هـ الموافق لسنة 851م.[1]
كان أوجه قريش مروءة وعلما وشرفا.
وكان ثقة في الحديث، شاعرا.

كتبهعدل

المراجععدل

وصلات خارجيةعدل

Biografi Ulama Hadits Imam Ibnu Majah

Biografi Imam Ibnu Majah

PenyusunKitab Sunan Ibnu Majah

sampul kitab sunan Ibnu Majah
Sampul kitab 
Sunan Ibnu Majah
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’ bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Majah, dengan Kuniyah Abu ‘Abdullâh, adalah seorang ulama ahli hadis yang telah mengumpulkan hadits, karyanya yang paling dikenal adalah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini termasuk dalam kelompok kutubus sittah.

Ibnu Majah  lahir pada tahun 207 H / 209 H di daerah Qazwin (salah satu kota yang terkenal di kawasan ‘Iraq). Sebutan Majah dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih shahih. Kata “Majah” adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.


Menimba ilmu

Imam Ibnu Majah mulai menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa Imam Ibnu Majah berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam, seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah.

Dalam bidang sejarah Imam Ibnu Majah menulis buku “At-Târîkh” yang mengulas sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku “Al-Qur’ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau menulis buku “Sunan Ibnu Majah”. Disayangkan sekali karena buku “At-Târîkh” dan “Al-Qur’ân Al-Karîm” tidak sampai pada generasi selanjutnya karena dianggap kurang monumental.


Rihlah beliau

Ibnu Majah meniti jalan ahli ilmu pada zaman tersebut, yaitu mengadakan rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Maka beliau pun keluar meninggalkan negrinya untuk mendengar hadits dan menghafal ilmu. Berkeliling mengitari negri-negri islam yang menyimpan mutiara hadits. Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negri guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis.

Puluhan negri telah ia kunjungi, antara lain: Khurasan; Naisabur dan yang lainnya. Ar Ray
Iraq; Baghdad, Kufah, Wasith dan Bashrah. Hijaz; Makkah dan Madinah. Syam; damasqus dan Himsh. Mesir


Guru-guru beliau

Ibnu Majah sama dengan ulama-ulama pengumpul hadits lainnya, beliau mempunyai guru yang sangat banyak sekali. Diantara guru beliau adalah; ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî, Jabbarah bin AL Mughallas, Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair, Suwaid bin Sa’îd, Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî, Muhammad bin Ramh, Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Hisyam bin ‘Ammar, Abu Sa’id Al Asyaj.


Murid-murid beliau

Keluasan ‘ilmu Ibnu Majah membuat para penuntut ilmu yang haus akan ilmu berkeliling dalam majlis yang beliau dirikan. Maka sangat banyak sekali murid yang mengambil ilmu darinya, diantara mereka adalah: Muhammad bin ‘Isa al Abharî, Abu Thayyib Ahmad al Baghdadî, Sulaiman bin Yazid al Fami, ‘Ali bin Ibrahim al Qaththan, Ishaq bin Muhammad, Muhammad bin ‘Isa ash Shiffar, ‘Ali bin Sa’îd al ‘Askari, Ibnu Sibuyah, Wajdî Ahmad bin Ibrahîm.


Sanjungan para ulama terhadap beliau
  • Al HafizhAl Khalili menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang yang tsiqah kabir, muttafaq ‘alaih, dapat di jadikan sebagai hujjah, memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadits, dan hafalan.”
  • Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh yang agung, hujjah dan ahli tafsir.”
  • Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.”
  • Ibnu Katsîr menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah dalam hal perkara-perakra dasar maupun cabang

Karya-karya Imam Ibnu Majah
  • Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
  • Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
  • Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.

Metodologi Imam Ibnu Majah

Dalam menulis buku Sunan ini, Imam Ibnu Majah memulainya terlebih dahulu dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan metodologi para muhadditsîn yang lain. Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.

Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam hal ini Imam Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits.

Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau.

Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga merupakan periwayat dari “Sunan Ibnu Majah”. Persepsi ini juga sejalan pada “Musnad Imam Ahmad”, karena banyak orang yang menyangka bahwa seluruh hadits di dalamnya diriwayatkan seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian darinya ada juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian kecil oleh Al-Qathî’î, namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding dengan Al-Qathî’î. Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara banyak seputar “Musnad Imam Ahmad”, karena biografi dan metodologi beliau telah diulas pada diskusi sebelumnya.

Ketika Al-Hasan Al-Qatthâny mendapatkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Sya’bah dengan perantara perawi lainnya, dan pada hadits yang sama juga beliau mendapatkan perawi selain gurunya Ibnu Majah, maka hadits ini telah sampai pada kategori hadits Uluwwu Al-Isnâd meskipun beliau hanya sebatas murid dari sang imam Ibnu Majah, namun derajatnya sama dengan gurunya dalam subtansi Uluwwu Al-Hadîts tersebut, ada juga berhasil disusun oleh sang imam dengan uraian sebanyak 32 kitab menurut Zahaby, dan 1500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthâny serta 4000 hadits.


Sekilas Tentang Kitab “Sunan Ibnu Majah”

Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam Ibnu Majah “Sunan Ibnu Majah” sebagai kitab keenam dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi dan Sunan an-Nasa`i.

Ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita lebih terkesan dan tertarik lagi untuk menginfestasikan diri kita pada bidang hadits.

Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama “Sunan Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam, sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.

Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab ‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini. Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.

Buku “Sunan Ibnu Majah” terdiri dari 32 (tiga puluh dua) kitab menurut Al-Zahabî, dan 1500 (seribu lima ratus) bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari 4000 (empat ribu) hadits menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan melihat buku yang di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa buku ini berjumlah 37 (tiga puluh tujuh) kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau ditambah dengan muqaddimah maka jumlahnya 38 (tiga puluh delapan) kitab. Sedangkan jumlah babnya terdiri dari 1515 (seribu lima ratus lima belas) bab dan 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nasakh.

Kitab hadits yang terdiri dari 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits ini ternyata 3002 (tiga ribu dua) hadits diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam Bukhari, MuslimAbu DaudTirmidziNasai dan yang lainnya. Dan 1239 (seribu dua ratus tiga puluh sembilan) hadits lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.

Klasifikasi hadits tersebut adalah :
  • Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih.
  • Seratus sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah hasan
  • Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îf
  • Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbah

Wafatnya Imam Ibnu Majah

Imam Ibnu Majah wafat pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq.

Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid. Walaupun beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati.

Sumber:
http://bukuensiklopediahadits.blogspot.com/2013/04/biografi-imam-ibnu-majah.html
http://www.lidwa.com/2011/biografi-imam-ibnu-majah/

Tafsir Basmallah From Syekh Muhammad Bin Shalihah Al-Utsaimin Rahimahullah

Tafsir Basmalah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Rahimahullah

Tafsir..
 
Firman Allah:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

Jar majrur (bi ismi) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang:
Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.
Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.
Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:
وَمَنْ كَانَ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ- عَلَى اسْمِ اللَّهِ-
“Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah“  Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” 
Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.

Lafzhul Jalalah (اللهِ).
Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).

Ar-Rahmaan  (الرَّحْمنِ)
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.

Ar-Rahiim (الرَّحِيمِ)
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata: “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi:
Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq سبحانه و تعالى adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah سبحانه و تعالى. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah سبحانه و تعالى.
Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”

MASALAH
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan ?

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.
Inilah pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini.
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه  bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda : Allah سبحانه و تعالى  berfirman:
قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca: “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca: “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca: “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab: “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca: “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta”  
Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik رضي الله عنه, ia berkata : 
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ {الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا
“Aku pernah shalat di belakang Nabi صلی الله عليه وسلم, Abu Bakar, Umar dan Utsman رضي الله عنهم. Mereka semua membuka shalat dengan membaca: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca: ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya.  
Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.   
Saya Dapatkan Artikel Ini Di Http/:ibnu-majah.blogspot.com

BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH

BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN

<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >>  اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...