Rabu, 09 Januari 2019
Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
Oleh: Ustadz Abu Ainun
= SEMBAHLAH ALLAH DAN JAUHI THAGUT =
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan dalam surat Adz Dzaariyaat: 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku”
Jadi tujuan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hidup di dunia ini adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan mengabdi kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita sebagai hamba Allah, tentu kita adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kita hanya menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saya ulangi… tujuan kita di dunia ini bukan apa-apa, tapi untuk mengabdi “liya’ buduun” kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Adapun bumi dan isinya beserta semua pernak-perniknya Allah ciptakan untuk bekal kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah [2]: 29)
Jadi, bumi dan segala isinya, baik yang ada di perut bumi ini dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengabdi kepada-Nya… maka amat sangat keliru bila orang sibuk mengorbankan agama, mengorbankan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka mencapai kehidupan dunia yang sesaat, padahal itu adalah bekal dalam hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Banyak sekali manusia mengorbankan tauhidnya, mengorbankan diennya untuk mendapatkan materi, mendapatkan uang, makanan, atau harta benda lainnya dari dunia yang fana ini padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala sangat menghati-hatikannya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (QS. Faathir [35]: 5)
Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu pengabdian kepada Allah dan ia malah menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Saya ulangi, kita diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, untuk beribadah kepada Allah, akan tetapi dikarenakan kita -manusia- ini terbatas kemampuan akalnya, Allah menciptakan manusia ini sebagai makhluq yang bodoh lagi dhalim. Manusia tidak bisa mengabdi sebenar-benarnya kepada Allah dengan sendirinya tanpa ada bimbingan, maka dari itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para Rasul-Nya sebagai pembimbing manusia. Allah juga mengetahui bahwa Rasul-Rasul itu tidak akan hidup abadi di tengah umatnya… Mereka pasti meninggal dunia, maka Allah menurunkan Kitab-Nya sebagai pedoman yang harus dipegang oleh orang-orang yang mengikuti para Rasul tersebut.
Jadi Rasul adalah pembimbing dan kitab adalah pedoman hidup, bila kita ingin mencapai kepada Allah, maka kita harus mengikuti apa yang dituntunkan oleh Rasul dan mengikuti pedoman yang telah Allah turunkan, yang mana pedoman ini adalah tali Allah yang Dia ulurkan ke dunia, barangsiapa memegang tali Allah ini (tali Allah adalah pedoman Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya) maka akan sampai kepada ridha Allah, tapi kalau memegang kitab-kitab yang lainnya yang tidak ada dasar dari Allah yaitu kitab-kitab yang diulurkan oleh syaitan dari neraka, berupa ajaran selain Kitabullah atau selain ajaran Rasul-Nya, maka kitab tersebut akan menghantarkan ke dasar api neraka. Berbeda jika orang memegang Al-Qur’an -tali yang diturunkan Allah ke dunia- maka akan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi disini, Rasul diutus sebagai pembimbing.
Apakah inti dakwah para Rasul? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl [16]: 36).
Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa semua Rasul diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan yang pertama kali mereka ucapkan kepada kaumnya dan ini diucapkan oleh para Rasul terhadap umatnya termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(QS. Al-Anbiyaa [21]:25)
Jadi bagi semua Rasul, yang pertama Allah wahyukan kepada mereka adalah Laa ilaaha illallaah, dan Laa ilaaha illallaah ini yang disampaikan oleh para Rasul dalam ayat ke-36 Surat An-Nahl tadi (“Ibadahlah kalian kepada Allah dan Jauhilah thaghut”) Jika kedua ayat tersebut digabungkan, maka maknanya adalah: ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. Laa ilaaha maknanya: Jauhilah thaghut dan illallaah maknanya ibadah kalian kepada Allah.
Ajaran Tauhid (Laa ilaaha illallaah) ini disepakati oleh semua Rasul, dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir, jadi ajaran para Rasul dalam masalah tauhid adalah sama, perintah untuk hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.
Apakah thaghut itu…? Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut. Apakah kita tahu apa thaghut itu? Bagaimana kita menjauhi thaghut?. Keimanan seseorang kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa menjauhi thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu mempunyai dua rukun:yang pertama: Laa ilaaha yang berarti jauhi thaghut, sedangkan yang kedua illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.
Orang yang menjauhi thaghut tapi tidak beriman kepada Allah, maka tidak bermanfaat, begitu juga orang yang iman kepada Allah tapi tidak menjauhi thaghut maka keimanan kepada Allah tersebut tidak akan bermanfaat, akan tetapi harus digabungkan: “Ibadah kepada Allah dan menjauhi thaghut”.
Jadi semua dakwah para Rasul adalah sama dalam masalah Laa ilaaha illallaah, yaitu ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. AllahTa’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia berpegang (teguh) pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Buhul tali yang sangat kokoh ini adalah Laa ilaaha illallaah, tadi telah saya utarakan…
Itulah tali yang Allah ulurkan ke dunia ini, barangsiapa yang kafir terhadap thaghut atau bahasa lainnya dalam surat An-Nahl 36: “menjauhi thaghut dan beriman kepada Allah (beribadahlah kepada Allah)” maka orang tersebut telah memegang buhul tali yang amat kokoh yaitu Laa ilaaha illallaah yang dijelaskan dalam surat Al-Anbiyaa: 25. Jadi maknanya: Siapa yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka orang tersebut telah memegang Laa ilaaha illallaah, artinya kalau orang tidak kafir terhadap thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia itu belum memegang Laa ilaaha illallaah meskipun ia mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.
Jadi orang yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah disebut orang yang telah memegang Al ‘Urwah Al Wutsqa, Al-‘Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa adalah yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh ini adalah tauhid (Laa ilaha illallaah) karena ikatan tersebut tidak akan putus.
Allah mensyaratkan bagi seseorang agar dapat dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah adalah dengan dua hal: Iman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun islam yang paling pertama adalah Laa ilaaha illallaah. Dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan: “Islam dibangun atas lima hal, yang pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa ana Muhammad Rasulullah...”. Dan kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam adalah apabila berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah.
Kunci masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah sebagaimana kunci masuk surga adalah Laa ilaaha illallaah. Maksudnya adalah bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna kandungannya yaitu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan iman atau ibadah hanya kepada Allah artinya: Apabila orang tidak merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka orang tersebut belum memiliki kunci keislaman yaitu pengamalan akan Laa ilaaha illallaah.
Oleh karena itu para ‘ulama seperti: Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid: “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama”.
Jadi hal itu tidak bermanfaat walaupun mengucapkannya beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap hari, apabila tidak memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan kandungannya, maka itu tidaklah bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja’i, beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah -maksudnya kafir terhadap Thaghut- maka haram darah dan hartanya”. Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus muslim yang haram harta dan darahnya, jika ia mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir terhadap thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak bermanfaat dan orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam, bila tidak kafir kepada thaghut.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan muslim”. Karena ia belum memegang Laa ilaaha illallaah.
Jadi Laa ilaaha illallaah itu memiliki makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di antaranya adalah kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut.
Allah memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut, maka tak mungkin Allah tidak memberikan penjelasan tentang thaghut… itu mustahil, jika shalat saja yang Allah fardhukan 10 tahun setelah kerasulan (Nabi Muhammad shallallhu’alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul,ed) dijelaskan dalam sunnahnya secara terperinci oleh Rasul-Nya, maka apalagi thaghut yang mana Allah perintahkan semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan: “jauhi thaghut…!” tentulah Allah menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an, dan Allah pasti menjabarkan bagaimana tata cara kafir terhadap thaghut…
Kita tanya diri kita, apakah saya sudah tahu apa itu thaghut? atau apakah justru saya mendekati thaghut? atau malah saya iman kepada thaghut? atau malah saya loyal kepada thaghut? Semua jawaban ada pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini mengharuskan kita untuk mengetahuinya.
Apabila kita paham bahwa keislaman seseorang atau dengan kata lain seseorang tidak dikatakan muslim, tidak dikatakan mukmin adalah kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka selanjutnya… sebelum kita mengupas lebih banyak apa maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat bahwa segala amal ibadah; baik itu shalat, zakat, shaum, haji, i’tikaf, shalat tarawih dan yang lainnya tidak akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau orangnya belum muslim, belum mukmin. Maksudnya di sini adalah muslim… mukmin yang sebenarnya -bukan pengakuan saja-, yaitu muslim yang merealisasikan Laa ilaaha illallaah karena para ulama menjelaskan dari uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: “Para ulama sepakat, bahwa orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah, maka dia itu orang musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku muslim dan mengucapkan Laa ilaaha illallaah” (Lihat Ibthal At Tandid).
Allah hanya akan menerima amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut merealisasikan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah), karena orang tidak dikatakan muslim dan tidak dikatakan mukmin kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa ilaaha illallaah.
Mari kita ambil beberapa ayat yang menerangkan bahwa amal shalih tidak akan Allah balas kalau orangnya (pelakunya) tidak kafir terhadap thaghut.
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukimin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizhalimi sedikitpun” (QS. An-Nisa [4]: 124).
Perhatikanlah ayat “dia itu mukmin”, sedangkan orang tidak dikatakan mukmin, kecuali orang tersebut kafir terhadap thaghut, karena -seperti yang sudah dijelaskan- pintu masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan surga dan tidak sedikitpun mengurangi amal shalih yang dilakukan seseorang baik itu laki-laki ataupun perempuan dengan syarat dia mukmin, sedangkan orang yang melakukan shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya namun dia ternyata tawalliy kepada thaghut atau masih melakukan kemusyrikan atau yang lainnya yang melanggar Laa ilaaha illallaah, maka balasan tadi tidak akan diberikan karena Allah mengatakan “sedang dia itu mukmin”sebagai syaratnya.
2. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl [16]: 97)
Amal shalih yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan ada balasannya dari Allah, akan tetapi ada syaratnya yaitu: “sedang dia itu mukmin”. Orang mukmin yaitu yang merealisasikan keimanan yang intinya ada dalam makna kandungan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah)
Dua ayat di atas sama, semuanya tentang amal shalih, ada balasan di ujungnya, sedang di tengahnya ada syarat: “sedang dia itu mukmin”.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا يَخَافُ ظُلْمًا وَلا هَضْمًا
“Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin, maka dia tidak khawatir akan perlakuan zhalim terhadapnya dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya”. (QS. Thaha [20]: 112)
Orang yang melakukan amal shalih tidak akan dizhalimi oleh Allah, dan tidak akan dikurangi pahalanya tapi ada syaratnya: “sedang dia itu mukmin” orangnya mukmin, orangnya (pelakunya) itu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya jika orang melakukan amal shalih, tapi tidak menjauhi thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin, maka usahanya tidak akan diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat untuknya” (QS. Al-Anbiyaa [21]: 94)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan tidak akan diingkari-Nya dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”.Berarti kalau seseorang melakukan amal shalih akan tetapi belum merealisasikan ”kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah” (Laa ilaha illallaah) maka tidak akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
5. Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Barangsiappa mengerjakan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin maka mereka akan masuk surga, merea diberi rizqi di dalamnya tanpa batas”. (QS Al Mu’min [40]: 40)
Ada balasan surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang dilakukan oleh setiap individu insan dengan syarat: “Sedang ia itu mukmin”
6. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia itu mukmin, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS. Al Isra [17]: 19)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”
7. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
“Barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi” (QS. Thaahaa [20]: 75)
Allah janjikan surga atas amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat dia itu mukmin. Dia iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut.
Semua ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa sekedar orang shalat, zakat, haji dan yang lainnya belum tentu dia itu muslim kalau dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah.
Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan yang paling nikmat adalah bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah.
Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mendakwahkan Laa ilaaha illallaah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang sihir lagi pendusta” (QS. Shaad: 4), berubah menjadi: “Penya’ir Gila” (QS. Ash Shaaffat: 36), dan dalam ayat yang lain dikatakan “sesat”. Semua perubahan ini terjadi karena mengamalkan Laa ilaaha illallaah.
Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah langsung dikatakan: gila, pendusta, penya’ir gila… melainkan ketika mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallaah.
Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan karena mendapat intimidasi yang dahsyat, maka para shahabat yang lainnya diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena apa…? Karena mempertahankan Laa ilaaha illallaah.
Andaikata Laa ilaha illallaah itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.
Sekarang misalnya kita mengucapkan Laa ilaaha illallaah di hadapan thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan. Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah maka akan terjadi apa yang (mesti) terjadi berupa: orang-orang menggunjing, orang-orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut mengejar dan memenjarakan itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.
Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah memakan waktu yang sangat lama, karena beratnya sehingga kaumnya menolak:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا
“Dan sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS. Al-Ankabuut [29]: 14).
Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam waktu sekian lama hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang -sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya kandungan Laa ilaaha illallaah.
Sekarang, shalat tidak dilarang di manapun, baik orang kafir ashliy atau orang kafir murtad atau thaghut tidak melarang shalat, bahkan shalat dianjurkan, shaum bagi mereka adalah penghematan, haji bagi mereka menambah pendapatan negara, akan tetapi… ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah, maka yang ada adalah: penyiksaan, intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya… Itu semua adalah ketika Laa ilaaha illallaah dipegang.
Kita sering mendengar bahwa nikmat yang paling agung adalah nikmat iman dan islam, hal itu adalah Laa ilaaha illallaah, namun bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya. Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaaha illallaah dan tidak mengamalkannya, maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini apabila orang memahaminya, mengamalkannya ~walaupun harus meninggalkan harta dunia atau materi atau apa saja yang ia miliki~ apabila dia sudah merasakan nikmat Laa ilaaha illallaah, maka ia akan berani meninggalkan semuanya demi meraih ridha Allah… meraih surga dan selamat dari api neraka.
Sebaliknya, orang yang melakukan amal shalih, sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa ilaaha illallaah, masih berlumuran dengan kemusyirikan, kekafiran, kethaghutan dan yang lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana yang Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah yaitu:
Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Jadi tidak ada artinya alias hilang… shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya hilang lenyap karena kemusyrikan. Amal shalih hanya akan diterima oleh Allah dengan syarat “sedang dia itu mukmin” yaitu komitmen dengan Laa ilaaha illallaah, orangnya muwahhid (bertauhid).
Firman-Nya yang menggambarkan tentang realita umat yang merasa telah melakukan amal baik berupa amal-amal shalih dan menjadi bagian kaum muslimin padahal sebenarnya dirinya itu masih musyrik dan masih kafir tanpa ia menyadari adalah…
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya” (QS. An-Nur [24]: 39).
Ayat “dan orang-orang kafir” adalah siapa saja yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah, baik itu mengaku muslim atau non muslim, mau shalat, mau zakat ataupun haji akan tetapi belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka pada hakikatnya dia masih kafir.
Allah memperumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah seperti fatamorgana, maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah muslim (ia melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya hingga dia mengira akan masuk surga, dan ketika didatangi (maksudnya: mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah menumpuk… ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa…? karena Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat kecewa, padahal dahulu ketika di dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni surga dan aman dari api neraka, ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang seperti itu… Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita? Ini adalah gambaran dalam ayat tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ
“Perumpamaan orang yang kafir kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti debu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia)” (QS. Ibrahim [14]: 18)
Jika kita menyimpan debu di depan rumah, lalu tiba-tiba debu tersebut ditiup badai… maka apa yang terjadi? Maka kita akan lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga amal shalih, ia seperti tumpukan debu, sedangkan noda-noda kekafiran, kemusyrikan, kethaghutan adalah badai yang meniup dan menghempaskan amal shalih yang menumpuk, maka amal shalih itu hilang diterpa badai kemusyrikan tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu: Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Allah Ta’ala mengingatkan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, beliau adalah orang muslim, muwahhid, dan mukmin. Akan tetapi jika Rasulullah melakukan kemusyrikan ~sedangkan kedudukan beliau adalah Rasul~ beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan kita..?
Rugi, karena sudah capek beramal, banyak mengeluarkan biaya, apalagi kalau pergi Haji tentu memakan biaya besar, akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa… bukankah ini suatu kerugian…???
Bahkan bukan hanya Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam saja, akan tetapi semua rasul diperingatkan dengan ancaman oleh AllahSubhanahu Wa Ta’ala dalam kitab-Nya:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Andai kamu hai orang-orang muslim… hai siapa saja, bila melakukan kemusyrikan, maka lenyaplah amal kamu seperti tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai seorang muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat, haji, berjihad, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memberi kepada sesama dan yang lainnya, akan tetapi bila realita sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah dan belum kufur terhadap thaghut dan merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104).
Mereka mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia itu calon penghuni surga, mengira bahwa amalannya diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mengira dirinya aman dari api neraka. Tapi ternyata… tidaklah seperti yang dia perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya, akan tetapi malah siksa api neraka, karena apa? karena belum merealisasikan inti dari ajaran Islam -Laa ilaaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur terhadap thaghut)- sehingga nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa yang Allah gambarkan dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (٢) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (٣) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas“ (QS. Al Ghaasyiyah [88]: 2-4)
Bukan surga yang didapat, akan tetapi dia masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah ruginya, alangkah sedihnya ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk kembali lagi ke dunia. Mungkin, ketika orang melakukan kegagalan di dunia ini, dia bisa mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena masih ada kesempatan tapi di akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.
Orang yang dahulunya menentang Allah dan mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ (١٦٦) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali”. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 166-167)
Jadi, tauhid (Laa ilaaha illallaah) adalah inti kehidupan kita, inti dari dien kita. Realisasikan tauhid ini, jauhi thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup akhir hayat kita sedangkan kita belum berlepas diri dari kethaghutan, karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat. Allah menciptakan kita di dunia untuk mengabdi kepada Allah… untuk menjauhi thaghut.
Semoga Allah Ta'ala memberikan kita pemahaman..
Wasssalam
Kita Berada Di Akhir Zaman!!!
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah.
TELAH SAH KITA SEKARANG BERADA DI ZAMAN KE 4 SEPERTI YG DI NYATAKAN OLEH RASUL SAW:
Tidak terasa kita hidup dipenghujung Zaman.
Rasul SAW Berkata :
“ZAMAN ITU DI BAGI KEPADA 5”
1. Zaman Nubuwwah_
(zaman kenabian diawali dr zaman Nabi Adam AS sampai Baginda Nabi Muhammad SAW)
2. Zaman Khilafah 1_
(dipimpin sahabat -sahabat Nabi Abu Bakar Umar, Utsman dan Ali ra).
3. Zaman Al-mulk kerajaan_ (berakhir runtuhnya Dinasti Utsmani diturki kalau diindonesia Majapahit, Sriwijaya, Galu dsbnya).
4. Zaman Jababiro_
(Zaman kebebasan maksiat dimana-mana dan inilah zaman kita hidup sekarang).
Fitnah2 bertebaran untuk melemahkan kaum Muslimin (era fitnah terbesar akan terjadi saat Dajjal muncul), Org2 yg tdk layak/zalim menjadi penguasa (pemimpin), jumlah ummat Islam ramai tpi bagaikan buih diatas laut (sedikit yg berjihad untuk membela Islam)...
_Zaman ini sdh terjadi dan sdg kita jalani...Astaghfirullah....
5. Zaman Khilafah 2_
(Zaman yg mana suasana seperi pada zaman Rosululloh SAW, nanti umat Islam akan dipimpin *_Imam Mahdi hanya berlangsung lebih kurang 9 tahun._*
_Pada zaman ini pula Dajjal muncul, Nabi Isa AS jg muncul ditugaskan untuk membunuh Dajjal dan meng-Islamkan orang2 Kafir/Nashoro)._
➡️ Para Ulama hadits memperhalusi ttg usia umur ummat Islam :
_1. Ibnu Hajar Asqalani_
seorang ulama pakar hadits, kitab beliau yg populer dimsia adalah Fathul Barri, Beliau berkata umur umat Islam sampai 1476 H.
_2. Imam As-syuyuthi_
Beliau mengatakan umur umat Islam sampai 1477 H
_3. Ibnu Hajar Hambali_
kata Beliau umur umat Islam lebih dari 1400 H namun tdk sampai 1500 H
Allahu Akbar sekarang umur umat Islam sudah sampai pada 1439 H.
_Hari kiamat tdk ada yg tau termasuk Rosululloh SAW namun mengenai umur umat Islam, Rasulullah sdh memberi tahu.. tdk sampai 1500 H._
Kelak diakhir zaman Alloh SWT akan wafatkan serentak umat islam dimuka bumi dan yg tinggal hanyalah orang kafir yg akan menyaksikan hancurnya bumi gunung laut langit dan seluruh alam (baca Al-Qoriah, Al-Qiyamah, Al-Waqiah).
Diantara tanda kiamat kata Rasulullah SAW
-akan muncul Dukhan (kabut hitam) yg menyelimuti bumi selama 40 hari 40 malam, lalu sahabat bertanya Ya Rasulullah kapan itu terjadi???
Kata Baginda Nabi SAW itu terjadi apabila yg
- pertama KALAU PENYANYI WANITA BERMUNCULAN DIMANA-MANA
- Yg kedua kata Rasulullah SAW, kalau alat musik dicintai oleh umatku dan minuman keras dimana-mana....
_Saudaraku,tanda2 diatas sudah muncul semua sekarang...
_Sementara masih ada waktu, mari segera baiki diri, perbaiki ibadah dan perbanyak amal solih untuk bekal di akherat nanti....
Wallahu'alam....
Sudah Siapkah??
Note:
Kajian ilmiah seluruh Pakar Iptek di timur dan barat sdh 100% membenarkan Peringatan Rasulullah 14 abad yg lalu...! Dan janji Allah pasti benar n tepat...!
BADAN Meteorologi dan Geofisika menyatakan bahwa akan terjadi kemarau panjang yang akan melanda dunia.
Dijangka kemarau panjang tersebut akan bermula tahun 2019 hingga 2022.Air dunia waktu ini hanya berbaki 3% saja.
Lalu apa artinya informasi ini bagi kita?
Artinya adalah _keluarnya Dajjal telah sangat dekat._
_Dan munculnya Imam Mahdi telah berada di tengah-tengah kita, tanpa kita sadari._
Ini berarti apa yang disabdakan Rasulullah telah terbukti.
Dalam hadits tentang kisah Tamim Ad-Dari, keluarnya Dajjal di tandai dengan keringnya danau Thabariyyah (Tiberias), keringnya mata air Zughar, dan pohon kurma Baisan tidak berbuah lagi. Dan jika kita mengikuti perkembangan informasi terakhir tentang tiga pertanda tersebut, sudah nyata terjadi.
Sudah dua tahun ini, pohon kurma di Baisan tidak berbuah lagi.
Diikuti dengan semakin kurangnya mata air Zughar. Dan yang paling menepati adalah surutnya air di tasik Tiberias di Israel sudah sangat meruncing, sehingga Israel sibuk mencari sumber air lain.
Salah satunya perencanaan adalah penyulingan air laut. Dalam hadits lain dikatakan bahwa Dajjal akan keluar dari sarangnya dgn tanda, setelah terjadi kemarau dan kekeringan selama 3 tahun. Dan sebagaimana disebutkan di atas, bahwa Badan Meteorologi dan Geofisika telah memperkirakan kekeringan panjang akan dimulai tahun 2019 hingga 2022.
Marilah kita berbuat baik semaksima mungkin, dan ajaklah setiap muslim dimanapun, untuk semakin bersungguh-sungguh memperbanyak amal akhirat.
ALLAHU AKBAR... !!!
➡️_Kiamat menurut Agama Islam ditandai dengan beberapa petanda. Kita boleh baca novel sampai beribu2 kali tapi baca ini hanya perlu 5 menit_
- Kemunculan Imam Mahdi
- Kemunculan Dajjal
- Turunnya Nabi Isa (AS)
- Kemunculan Yakjuz dan Makjuz
- Terbitnya matahari dari Barat ke Timur
- Pintu pengampunan akan ditutup
- Dab'bat al-Ard akan keluar dari tanah & akan menandai muslim yang se-benar2nya
- Kabut selama 40 Hari akan mematikan semua orang beriman sejati shg mereka tidak perlu mengalami tanda2 kiamat lainnya
- Sebuah kebakaran besar akan menyebabkan kerusakan
- Pemusnahan/runtuhnya Kabah
- Tulisan dalam Al-Quran akan lenyap
- Sangkakala akan ditiup pertama kalinya membuat semua makhluk hidup merasa bimbang dan ketakutan
- Tiupan sangkakala yang kedua kalinya akan membuat semua makhluk hidup mati dan yg ketiga yang membuat setiap makhluk hidup bangkit kembali
Nabi MUHAMMAD SAW telah bersabda:
"Barang siapa yg mengingatkan ini kepada orang lain, akan Ku buatkan tempat di syurga baginya pada hari penghakiman kelak"
Allah berfirman : "jika engkau lebih mengejar duniawi daripada mengejar redho Ku maka Aku berikan, tapi Aku akan menjauhkan kalian dari syurgaKu"
Itulah yg dimaksud dajjal yg bermata satu: Artinya hanya memikirkan duniawi drpd akhirat.
➡️ Kerugian meninggalkn sholat :
Subuh: Cahaya wajah akan pudar.
Zuhur: Berkat pendapatan akan hilang.
Ashar: Kesehatan mulai terganggu.
Maghrib: Pertolongan anak akan jauh di akhirat nanti.
Isya': Kedamaian dlm tidur sukar didapatkan.
Sebarkan dgn ikhlas. tiada paksaan dalam agama
Niatkan ibadah (sebarkan ilmu walau 1 ayat)
➡️ Nasihat Kubur:
1). Aku adalah tempat yg paling gelap di antara yg gelap, maka terangilah .. aku dengan TAHAJUD
2). Aku adalah tempat yang paling sempit, maka luaskanlah aku dengan berSILATURAHIM ..
3). Aku adalah tempat yang paling sepi maka ramaikanlah aku dengan perbanyak baca .. AL-QUR'AN.
4). Aku adalah tempatnya binatang2 yang menjijikan maka racunilah ia dengan Amal SEDEKAH,
5). Aku yg menyempitmu hingga hancur bilamana tidak Sholat, bebaskan sempitan itu dengan SHOLAT
6). Aku adalah tempat utk merendammu dgn cairan yg sangat amat sakit, bebaskan rendaman itu dgn PUASA..
7). Aku adalah tempat Munkar & Nakir bertanya, maka Persiapkanlah jawabanmu dengan Perbanyak mengucapkan Kalimah *"LAILAHAILALLAH"*
Kirim ini semampumu dan seikhlasmu kepada sesama Muslim, sampaikanlah walau hanya pada 1 org..
Karena, saat kamu membawa Al-Qur'an, setan biasa2 saja.
Saat kamu membukanya, syaitan mulai curiga.
Saat kamu membacanya, ia gelisah.
Saat kamu memahaminya, ia kejang2.
Saat kamu mengamalkan Al-Qur'an dlm kehidupan seharI-hari, ia stroke.
Trus n trus baca & amalkan agar syaitan stroke semuanya juga jantungnya dan mati.
Ketika anda ingin menyebarkan .. ini, lagi2 syaitan pun mencegahnya.
Syaitan berbisik;
Sudahlaaaaaah tak usah disebarkan, tak penting, buang waktu saja, tak mungkin akan dibaca
Sekecil apapun amal ibadah, Allah SWT menghargainya, Semoga menjadi amal.
Aamiin🕌❤🕌☝
Sabtu, 05 Januari 2019
Fadhilah Al Qur'an
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
Meski pun Copy paste,,,Mudah mudahan Bermanfaat Ya Ikhwan!!!!
Membaca Al Quran adalah perdagangan yang tidak pernah merugi
{الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)}
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
قال قتادة رحمه الله: كان مُطَرف، رحمه الله، إذا قرأ هذه الآية يقول: هذه آية القراء.
“Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim).
Asy Syaukani (w: 1281H) rahimahullah berkata,
أي: يستمرّون على تلاوته ، ويداومونها .
“Maksudnya adalah terus menerus membacanya dan menjadi kebiasaannya”(Lihat kitab Tafsir Fath Al Qadir).
Dari manakah sisi tidak meruginya perdagangan dengan membaca Al Quran?
Satu hurufnya diganjar dengan 1 kebaikan dan dilipatkan menjadi 10 kebaikan.
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضى الله عنه قَالَ : تَعَلَّمُوا هَذَا الْقُرْآنَ ، فَإِنَّكُمْ تُؤْجَرُونَ بِتِلاَوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ ، أَمَا إِنِّى لاَ أَقُولُ بِ الم وَلَكِنْ بِأَلِفٍ وَلاَمٍ وَمِيمٍ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ.
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah Al Quran ini, karena sesungguhnya kalian diganjar dengan membacanya setiap hurufnya 10 kebaikan, aku tidak mengatakan itu untuk الم , akan tetapi untuk untuk Alif, Laam, Miim, setiap hurufnya sepuluh kebaikan.” (Atsar riwayat Ad Darimy dan disebutkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 660).
Dan hadits ini sangat menunjukan dengan jelas, bahwa muslim siapapun yang membaca Al Quran baik paham atau tidak paham, maka dia akan mendapatkan ganjaran pahala sebagaimana yang dijanjikan. Dan sesungguhnya kemuliaan Allah Ta’ala itu Maha Luas, meliputi seluruh makhluk, baik orang Arab atau ‘Ajam (yang bukan Arab), baik yang bisa bahasa Arab atau tidak.
Kebaikan akan menghapuskan kesalahan.
{إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114]
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)
Setiap kali bertambah kuantitas bacaan, bertambah pula ganjaran pahala dari Allah.
عنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ»
“Tamim Ad Dary radhiyalahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468).
Bacaan Al Quran akan bertambah agung dan mulia jika terjadi di dalam shalat.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلاَثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ قُلْنَا نَعَمْ. قَالَ « فَثَلاَثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah salah seorang dari kalian jika dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta yang hamil, gemuk serta besar?” Kami (para shahabat) menjawab: “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat di dalam shalat lebih baik baginya daripada mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.” (HR. Muslim).
Membaca Al Quran bagaimanapun akan mendatangkan kebaikan
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ ».
“Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim).
Membaca Al Quran akan mendatangkan syafa’at
عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ…
“Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim).
Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang memotivasi seseorang untuk memperbanyak bacaan Al Quran terutama di bulan membaca Al Quran.
Dan pada tulisan kali ini hanya menyebutkan sebagian kecil keutamaan dari membaca Al Quran bukan untuk menyebutkan seluruh keutamaannya.
Dan ternyata generasi yang diridhai Allah itu, adalah mereka orang-orang yang giat dan semangat membaca Al Quran bahkan mereka mempunyai jadwal tersendiri untuk baca Al Quran.
عَنْ أَبِى مُوسَى رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَعْرِفُ أَصْوَاتَ رُفْقَةِ الأَشْعَرِيِّينَ بِالْقُرْآنِ حِينَ يَدْخُلُونَ بِاللَّيْلِ وَأَعْرِفُ مَنَازِلَهُمْ مِنْ أَصْوَاتِهِمْ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ وَإِنْ كُنْتُ لَمْ أَرَ مَنَازِلَهُمْ حِينَ نَزَلُوا بِالنَّهَارِ…».
“Abu Musa Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suara kelompok orang-orang keturunan Asy’ary dengan bacaan Al Quran, jika mereka memasuki waktu malam dan aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara-suara mereka membaca Al Quran pada waktu malam, meskipun sebenarnya aku belum melihat rumah-rumah mereka ketika mereka berdiam (disana) pada siang hari…” (HR. Muslim).
MasyaAllah, coba kita bandingkan dengan diri kita apakah yang kita pegang ketika malam hari, sebagian ada yang memegang remote televisi menonton program-program yang terkadang bukan hanya tidak bermanfaat tetapi mengandung dosa dan maksiat, apalagi di dalam bulan Ramadhan.
Dan jikalau riwayat di bawah ini shahih tentunya juga akan menjadi dalil penguat, bahwa kebiasan generasi yang diridhai Allah yaitu para shahabat radhiyallahu ‘anhum ketika malam hari senantiasa mereka membaca Al Quran. Tetapi riwayat di bawah ini sebagian ulama hadits ada yang melemahkannya.
عَنْ أَبِى صَالِحٍ رحمه الله قَالَ قَالَ كَعْبٌ رضى الله عنه: نَجِدُ مَكْتُوباً : مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ فَظٌّ وَلاَ غَلِيظٌ ، وَلاَ صَخَّابٌ بِالأَسْوَاقِ ، وَلاَ يَجْزِى بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ ، وَأُمَّتُهُ الْحَمَّادُونَ ، يُكَبِّرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ نَجْدٍ ، وَيَحْمَدُونَهُ فِى كُلِّ مَنْزِلَةٍ ، يَتَأَزَّرُونَ عَلَى أَنْصَافِهِمْ ، وَيَتَوَضَّئُونَ عَلَى أَطْرَافِهِمْ ، مُنَادِيهِمْ يُنَادِى فِى جَوِّ السَّمَاءِ ، صَفُّهُمْ فِى الْقِتَالِ وَصَفُّهُمْ فِى الصَّلاَةِ سَوَاءٌ ، لَهُمْ بِاللَّيْلِ دَوِىٌّ كَدَوِىِّ النَّحْلِ ، مَوْلِدُهُ بِمَكَّةَ ، وَمُهَاجِرُهُ بِطَيْبَةَ ، وَمُلْكُهُ بِالشَّامِ.
“Abu Shalih berkata: “Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami dapati tertulis (di dalam kitab suci lain): “Muhammad adalah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, tidak kasar, tidak pemarah, tidak berteriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan akan tetapi memaafkan dan mengampuni, dan umat (para shahabat)nya adalah orang-orang yang selalu memuji Allah, membesarkan Allah ‘Azza wa Jalla atas setiap perkara, memuji-Nya pada setiap kedudukan, batas pakaian mereka pada setengah betis mereka, berwudhu sampai ujung-ujung anggota tubuh mereka, yang mengumandangkan adzan mengumandangkan di tempat atas, shaf mereka di dalam pertempuran dan di dalam shalat sama (ratanya), mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam, tempat kelahiran beliau adalah Mekkah, tempat hijranya adalah Thayyibah (Madinah) dan kerajaannya di Syam.”
Maksud dari “mereka memiliki suara dengungan seperti dengungannya lebah pada waktu malam” adalah:
أي صوت خفي بالتسبيح والتهليل وقراءة القرآن كدوي النحل
“Suara yang lirih berupa ucapan tasbih (Subhanallah), tahlil (Laa Ilaaha Illallah), dan bacaan Al Quran seperti dengungannya lebah”. (Lihat kitab Mirqat Al Mafatih Syarh Misykat Al Mashabih).
Salah satu ibadah paling agung adalah membaca Al Quran
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : ضَمِنَ اللَّهُ لِمَنَ اتَّبَعَ الْقُرْآنَ أَنْ لاَ يَضِلَّ فِي الدُّنْيَا ، وَلاَ يَشْقَى فِي الآخِرَةِ ، ثُمَّ تَلاَ {فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}.
“Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Allah telah menjamin bagi siapa yang mengikuti Al Quran, tidak akan sesat di dunia dan tidak akan merugi di akhirat”, kemudian beliau membaca ayat:
{فَمَنَ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى}
“Lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS. Thaha: 123) (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah).
عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ رضى الله عنه أَنَّهُ قَالَ: ” تَقَرَّبْ مَا اسْتَطَعْتَ، وَاعْلَمْ أَنَّكَ لَنْ تَتَقَرَّبَ إِلَى اللهِ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ كَلَامِهِ “.
“Khabbab bin Al Arat radhiyallahu ‘anhu berkata: “Beribadah kepada Allah semampumu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan pernah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya dibandingkan (membaca) firman-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بن مسعود رضى الله عنه ، أنه قَالَ: ” مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ كَانَ يُحِبُّ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ “.
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Siapa yang ingin mengetahui bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perhatikanlah jika dia mencintai Al Quran maka sesungguhnya dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al Baihaqi).
وقال وهيب رحمه الله: “نظرنا في هذه الأحاديث والمواعظ فلم نجد شيئًا أرق للقلوب ولا أشد استجلابًا للحزن من قراءة القرآن وتفهمه وتدبره”.
“Berkata Wuhaib rahimahullah: “Kami telah memperhatikan di dalam hadits-hadits dan nasehat ini, maka kami tidak mendapati ada sesuatu yang paling melembutkan hati dan mendatangkan kesedihan dibandingkan bacaan Al Quran, memahami dan mentadabburinya
Jumat, 04 Januari 2019
Karakter Buya Hamka Di Mata Presiden Soekarno
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
"Presiden Soekarno pernah 'menyerang' ulama besar di masanya, Buya Hamka. Bersama Mohammad Yamin, Soekarno melalui headline beberapa GB media cetak asuhan Pramoedya Ananta Toer melakukan pembunuhan karakter atas diri Hamka, namun tak sedikit pun fokus Hamka bergeser dalam menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. Sebab terlalu kuatnya karakter Hamka, di tahun 1964, Soekarno tak sungkan-sungkan menjebloskan ulama besar asal Minangkabau ini ke dalam penjara tanpa melewati persidangan.
2 tahun 4 bulan lamanya Hamka dipenjara, apakah lantas ia bersedih, mendendam dan mengutuk-ngutuk betapa jahatnya Soekarno padanya?
Tidak! Hamka justru bersyukur bisa masuk penjara. Di dalam terali besi itu ia punya waktu yang banyak untuk menyelesaikan 30 juz Tafsir Alqur'an yang dikenal dengan Tafsir Al-Azhar.
Lantas, bagaimana dengan ketiga tokoh tadi? Pramoedya, Mohammad Yamin dan Soekarno?
Ternyata Allah masih sayang pada mereka, Pramoedya, Mohammad Yamin dan Soekarno. Kekejian mereka pada Buya Hamka tidak harus diselesaikan di akhirat. Allah mengizinkan masalah ini diselesaikan di dunia.
Di usia senja, Pramoedya mengakui kesalahannya di masa lalu. Ia mengirim putrinya, Astuti dengan calon suaminya, Daniel yang mualaf untuk belajar Islam pada Hamka sebelum mereka menjadi suami istri. Apakah Hamka menolak? Tidak! Justru dengan hati yang sangat lapang Hamka mengajarkan ilmu agama pada anak dan calon menantu Pramoedya tanpa sedikit pun mengungkit-ungkit kekejaman Pramoedya. Astuti, anak perempuan Pramoedya pun menangis haru melihat kebesaran hati ulama besar ini. Hamka juga yang menjadi saksi atas pernikahan anak Pramoedya.
Saat Mohammad Yamin sakit keras, ia meminta orang terdekatnya untuk memanggil Hamka. Dengan segala kerendahan hati dan penyesalannya pada ulama besar ini, Mohammad Yamin meminta maaf atas segala kesalahannya. Dalam kesempatan nafas terakhirnya, tokoh besar Indonesia, Mohammad Yamin pun meninggal dunia dengan ucapan kalimat-kalimat tauhid yang dituntun oleh Hamka.
Begitu juga dengan Soekarno, Hamka justru berterima kasih dengan hadiah penjara yang diberikan padanya karena berhasil menulis buku yang menjadi dasar umat Islam dalam menafsirkan Alqur'an. Tak ada marah, tak ada dendam, ia malah merindukan tokoh besar Indonesia, proklamator bangsa karena telah membuat ujian hidup sang Buya menjadi semakin berliku namun sangat indah. Hamka ingin berterima kasih untuk itu semua. Tanggal 16 Juni 1970, seorang ajudan Soekarno datang ke rumah Hamka membawa secarik kertas bertuliskan pendek;
“Bila aku mati kelak, aku minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Hamka langsung bertanya pada sang ajudan, "Di mana? Di mana beliau sekarang?" Dengan pelan dijawab, "Bapak sudah wafat di RSPAD, jenazahnya sedang dibawa ke Wisma Yoso."
Mata sang Buya menjadi sayu dan berkaca-kaca. Rasa rindunya ingin bertemu dengan tokoh besar negeri ini malah berhadapan dengan tubuh yang kaku tanpa bisa berbicara. Hanya keikhlasan dan pemberian maaf yang bisa diberikan Hamka pada Soekarno. Untaian doa yang lembut dan tulus dipanjatkannya saat menjadi Imam Shalat Jenazah Presiden Pertama Indonesia.
*Terima kasih Buya, atas pembelajaran kehidupan dari cerita hidupmu...*
---------------
*(Seri Belajar dari Sejarah)*
Sabtu, 15 Desember 2018
Terperangkap Di Neraka Karena Lisan
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
Sebahagian orang mengatakan, lidah memang tidak bertulang. Mungkin ada benarnya, sebab banyak di antara manusia bahkan kaum muslimin yang tidak mampu mengendalikan lidah atau lisannya. Lidah mudah menjulur dan bergerak kian kemari tanpa kendali, dan akhirnya menjadi panglima baginya, yang mesti diperturutkan apapun kehendaknya. Jika lidah telah menjadi panglima, maka berapa banyak dosa dan kesalahan yang dapat ditimbulkan olehnya?. Berapa banyak kerusakan dan kehancuran yang disebabkan olehnya?. Dan berapa banyak pula akibat buruk baginya dan bagi orang lain yang dapat dihasilkan olehnya??.
Mengenai hal ini, perhatikan beberapa nash hadits berikut ini yang menerangkan bahwasanya kebanyakan dosa yang diperbuat manusia itu ada pada lisannya. Dan juga menjabarkan tentang peranan lisan di dalam menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan dan kehancuran, jika mereka tidak dapat atau enggan mengendalikannya.
Dari Syaqiq berkata, Pernah Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu anhu bertalbiyah di atas bukit shofa. Kemudian berkata, “Wahai lisan, berkatalah yang baik niscaya engkau akan memperoleh kebaikan atau diamlah niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesal”. Mereka bertanya, “Wahai Abu Abdurrahman (maksudnya; Ibnu Mas’ud), Apakah ini suatu ucapan yang engkau ucapkan sendiri atau yang engkau pernah dengar?”. Beliau radliyallahu anhu menjawab, “Tidak, bahkan aku telah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ
“Kebanyakan dosa anak-anak adam itu ada pada lisannya”. [HR ath-Thabraniy, Abu asy-Syaikh dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1201, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 534 dan al-Adab: 396].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اْلجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَ حُسْنُ اْلخُلُقِ وَ سُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ قَالَ: اْلفَمُ وَ اْلفَرَجُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau juga ditanya tentang sesuatu apakan yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. [HR at-Turmudziy: 2004, Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan sanadnya, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1630, Shahih Sunan Ibni Majah: 3424, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 977 dan Misykah al-Mashobih: 4832. Di dalam satu riwayat; Beliau menjawab, “Dua lobang yaitu mulut dan farji”].
Dalil di atas dengan jelas menerangkan bahwa dosa yang banyak dikerjakan oleh manusia dan yang memasukkan lagi menjerumuskan mereka ke dalam neraka adalah lisan mereka. Dengan lisan, mereka berdusta, bersaksi atau bersumpah palsu, mencacimaki, mencela, mengutuk, berkata-kata keji, mengejek, berfatwa tanpa dasar syar’iy, berdakwah kepada kesesatan, melakukan buhtan (memfitnah), meng-ghibah (menggunjing) dan lain sebagainya dari amalan lisan.
Namun di masa sekarang ini dosa lisan banyak juga yang dituangkan dalam bentuk tulisan di buku-buku, majalah-majalah, tabloid-tabloid, surat-surat kabar, tulisan di internet melalui fesbuk, twitter dan semisalnya. Bahkan terkadang dijumpai bahasa tulisan lebih tajam dan lebih berbahaya dari bahasa lisan, karena berdampak sangat buruk bagi seseorang, suatu komunitas ataupun masyarakat. Tiada yang selamat dari bahaya lisan ini melainkan orang yang diberi rahmat dan keutamaan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ إِنَّ اْلعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِاْلكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تعالى لاَ يُلْقىِ َلهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فىِ جَهَنَّمَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah ta’ala yang ia tidak menaruh perhatian padanya namun mengakibatkannya dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam”. [HR al-Bukhoriy: 6478, at-Turmudziy: 2314 dan Ibnu Majah: 3970. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1884, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 540, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1670 dan Misykah al-Mashobih: 4813].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ucapan itu ada yang baik dan ada yang buruk. Yang mendatangkan keridloan Allah maka itulah yang baik, sedangkan yang mendatangkan kemurkaan-Nya maka dialah yang buruk”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 10].
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. [HR al-Bukhoriy: 6018, 6019, 6136, 6138, 6476, Muslim: 47, Ibnu Majah: 3971 dan Ahmad: II/ 267, 433, 463, VI/ 31, VI/ 384, 385 dari Abu Syuraih. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 32, Shahih Sunan Ibni Majah: 3207 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6501].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ucapan itu adakalanya baik atau buruk. Siapapun yang telah mengetahui (ucapan)nya baik maka katakanlah setelah memikirkan dan memastikannya. Diam itu lebih baik dari berbicara yang tiada faidah padanya. Sepatutnya seorang hamba itu memelihara lisannya, sebab manusia itu tidaklah ditelungkupkan atas hidung-hidung mereka (di dalam neraka) melainkan lantaran hasil lisan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 388].
Katanya lagi, “Hadits ini jelas (menerangkan) bahwasanya sepatutnya tidak mengucapkan (suatu perkataan) kecuali apabila ucapan itu baik, yaitu jelas kemashlahatan (atau kebaikan)nya. Tetapi kapan saja ragu-ragu terhadap kemashlahatannya, maka janganlah berbicara”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 8].
عن عقبة بن عامر رضي الله عنهما قال: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلىَ خَطِيْئَتِكَ
Dari Uqbah bin Amir radliyallahu anhu berkata, aku pernah bertanya, “Wahai Rosululllah, apakah keselamatan itu?”. Beliau menjawab, “Jagalah lisanmu atasmu, lapangkanlah rumahmu dan menangislah atas dosa-dosamu”. [HR at-Turmudziy: 2406 dan Ahmad: II/ 212, IV/ 148, 158, V/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1961, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 888, Misykah al-Mashobih: 4837 dan al-Adab: 400].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ شَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan apa yang ada diantara dua jenggotnya (maksudnya lidah) dan juga dari keburukan apa yang ada diantara dua kakinya (maksudnya farji atau kemaluan), maka ia akan masuk surga”. [HR at-Turmudziy: 2409, Ahmad: V/ 362 dan al-Hakim: 8124. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1964, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6593 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 510].
Di dalam lain riwayat, dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dapat menjaga lisan dan farjinya karenaku, maka aku akan menjamin surga untuknya”. [HR al-Bukhoriy: 6474, 6807. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6617 dan Misykah al-Mashobih: 4812].
Mengomentari hadits ini, asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah berkata, “Wajibnya menjaga lisan dari mengucapkan apa yang tidak diperkenankan secara syar’iy dari apa yang tidak ada keperluan bagi orang yang mengucapkannya. Cobaan yang paling besar bagi seseorang di dunia ini adalah lisan dan farjinya. Barangsiapa yang dapat menjaga dari keburukan keduanya maka ia telah menjaga dari keburukan yang paling besar”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 9].
Adapun asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang berada diantara dua jenggotnya (yaitu jenggot dan kumis) adalah lisan dan yang berada diantara dua kakinya adalah farji. Sama saja apakan dia seorang pria ataupun wanita, yaitu barangsiapa yang menjaga lisan dan farjinya. Menjaga lisannya dari ucapan yang haram berupa dusta, ghibah, namimah, menipu dan selainnya. Menjaga farjinya dari berzina, liwath (homo seksual) dan sarana-sarananya, maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan menjamin untuknya surga. Maksudnya balasannya adalah surga apabila engkau dapat menjaga lisan dan farjimu.
Tergelincirnya lisan itu sama persis dengan tergelincirnya farji, sangat mengkhawatirkan sekali. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkaitkan di antara keduanya hanyalah karena pada lisan itu ada syahwat ucapan. Banyak diantara manusia yang fasih, merasa lezat dan nikmat apabila berbicara tentang kehormatan manusia. العياذ بالله [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 164].
Berkata Ibnu Baththol rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan bahwa cobaan yang terbesar bagi seseorang di dunia ini adalah lisan dan farjinya. Sebab itu, barangsiapa yang menjaga dari keburukan keduanya maka ia terjaga dari keburukan yang sangat besar”. [Fat-h al-Bariy: XI/ 310 dan Tuhfah al-Ahwadziy: XII/ 115].
Dalil-dalil dan penjelasan di atas dengan tegas memaparkan bahwa siapapun hamba muslim yang mampu menjaga lisan dan farjinya dari berbagai keburukan yang ditimbulkan oleh keduanya, maka jaminannya adalah keselamatan di akhirat berupa kenikmatan surga dan boleh jadi di dunia dia berbahagia sebab akan dipuji manusia akan keelokan dan kesantunan akhlaknya. Dari itu, cobaan yang paling berat dan sulit dihindari oleh hamba adalah lisan dan farjinya. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa menjaga umat-Nya, khususnya kaum mukminin dari keburukan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh keduanya.
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَدِّثْنىِ بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ: قُلْ رَبِّيَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَخْوَفَ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا
Dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqofiy berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah ! ceritakan kepadaku suatu perkara yang aku dapat berpegang kepadanya”. Beliau bersabda, “Ucapkanlah ! Rabb-ku adalah Allah, kemudian istiqomahlah”. Sufyan berkata, aku bertanya lagi, “Wahai Rosulullah ! sesuatu apakah yang paling engkau khawatirkan diantara yang engkau khawatirkan?”. Beliau lalu memegang lidahnya sendiri, kemudian bersabda, “Ini”. [HR at-Turmudziy: 2410, Ibnu Majah: 3972, ad-Darimiy: II/ 298 dan Ahmad: III/ 413, IV/ 485. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1965, Shahiih Sunan Ibni Maajah: 3208 dan Misykaah al-Mashoobiih: 4843].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dasarnya istiqomah adalah istiqomahnya hati.
Kapan saja hati telah istiqomah maka istiqomah pulalah semua anggota tubuh di dalam mentaati Allah Azza wa Jalla. Sesuatu yang paling besar yang harus dijaga sesudah hati adalah lisan. Sebab dia adalah penterjemah dan pengungkap hati. Oleh sebab itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika memerintahkan istiqomah, yang ia wasiatkan sesudah itu adalah agar menjaga lisan”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 13].
Jika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam saja sangat mengkhawatirkan akan bahaya lisannya atasnya, maka bagaimana dengan umatnya. Tentu seharusnya mereka lebih memiliki rasa khawatir dibandingkan dengan Beliau saw. Sebab Beliau telah nyata keimanan dan keistiqomahannya, dan apalagi tiada yang diucapkannya melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Sedangkan mereka, apa yang menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengkhawatirkan akibat buruk yang ditimbulkan oleh lisan mereka?. Duhai betapa anehnya keadaan ini.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه رَفَعَهُ قَالَ: إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ: اتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَ إِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu secara marfu’, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia menjelang pagi, maka semua anggota-anggota badannya menyalahkan lisan. Mereka berkata, “(Wahai lisan) bertakwalah engkau kepada Allah, karena kami. Maka sesungguhnya keadaan kami tergantung kepadamu. Jika kamu istiqomah, kamipun istiqomah. Namun jika kamu menyimpang, maka kamipun menyimpang”. [HR at-Turmudziy: 2407 dan Ahmad: III/ 96. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1962, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 351, Misykah al-Mashobih: 4838 dan al-Adab: 397].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Pentingnya menjaga lisan di dalam keselamatan manusia. Yang demikian itu disebabkan bahwa lisan itu adalah penterjemah hati, pengungkap dan penguasanya. Apa yang terlintas dalam hati itu akan nampak atas lisannya. Oleh sebab itu dikatakan: seseorang itu dengan dua ashghar (benda kecil) yaitu hati dan lisannya”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 17].
Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, aku bertanya, “Wahai Nabiyullah! Apakah kita akan dihukum hanya lantaran apa yang kita ucapkan?”.
Lalu Beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَ هَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فىِ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Ibumu telah kehilanganmu wahai Mu’adz. Tidaklah manusia itu ditelungkupkan di dalam neraka atas wajah-wajah atau hidung-hidung mereka melainkan hanyalah karena hasil dari lisan-lisan mereka”. [HR at-Turmudziy: 2616, Ibnu Majah: 3973, al-Hakim: 3601 dan Ahmad: V/ 231, 236, 237. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 2110, Shahiih Sunan Ibni Maajah: 3209, Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir: 5136 dan Irwaa’ al-Ghaliil: 413].
Asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah bertutur, “Terdapat penjelasan bahwasanya hamba itu dihukum dengan seluruh apa yang diucapkannya, apakah diucapkannya dengan sungguh-sungguh atau main-main. Yang dapat menelungkupkan manusia di dalam neraka dan membawa mereka kepada kebinasaan adalah apa yang keluar dari lisan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 23].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Maka waspadalah engkau wahai saudaraku dari hasil panenan ini dan jagalah lisanmu.
Barangsiapa yang menjaga lisannya hendaklah ia menjaga lisannya dari berdusta, menipu, berkata palsu, namimah, ghibah dan semua yang dapat menjauhkannya dari Allah Azza wa Jalla dan menetapkan neraka baginya. Maka wajib baginya untuk bersih darinya”. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 168].
Dalil hadits di atas menerangkan tentang pentingnya mengendalikan dan menjaga lisan, sebagaimana diperintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Barangsiapa yang dapat menjaga dan mengendalikan dari berbagai keburukan yang ditimbulkan lisan berupa dusta, namimah, ghibah, cacian, celaan, kutukan, fatwa tanpa dalil dan lain sebagainya maka ia akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan serta masuk ke dalam surga. Tetapi jika tidak, maka ia akan ditelungkupkan atas wajahnya di dalam neraka. Begitu juga ia mesti memelihara dirinya dari pengungkapan berbagai keburukan lisan yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang beredar di berbagai media, apakah surat kabar ataupun media elektronik.
Bahkan dikisahkan ada seorang wanita yang telah dikenal ibadahnya dengan baik namun ia tidak dapat mengendalikan lidahnya yakni suka mengganggu tetangganya dengannya, maka iapun masuk ke dalam neraka. Sebagaimana di dalam riwayat berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad: 88 dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: 190].
Berkaca dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu anhu di atas, dapat dimengerti bahwa kendatipun seseorang itu telah dikenal akan banyaknya jenis ibadah yang dikerjakan dari mengerjakan sholat malam setelah wajibnya, shoum sunnah pada siang harinya sesudah Ramadlan, bersedekah dan berbagai perbuatan baik lainnya. Namun jika ia tidak dapat mengendalikan lisannya berupa dusta, cacian, celaan, kutukan, sumpah serapah dan sebagainya, dan yang terbanyak biasanya adalah ghibah atau gunjingan, maka tempat yang pantas untuknya adalah neraka. معاذ الله
Simaklah apa yang di ucapkan oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Amat mengherankan bahwa ada seseorang yang dengan mudah dapat menjaga diri dari makan makanan yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum khomer, memandang sesuatu yang haram dan sebagainya, namun ia sulit untuk menjaga gerakan lisannya. Sehingga engkau dapat melihat seseorang yang dijadikan acuan dalam agama, kezuhudan dan ibadah, ia berucap dengan perkataan-perkataan yang mengundang kemurkaan Allah tanpa ambil peduli. Padahal satu kalimat saja akan dapat menjatuhkannya dengan jarak lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Berapa banyak kamu lihat orang yang mampu menjaga dari perbuatan keji dan kezhaliman, sementara itu lisannya mencela kehormatan orang-orang yang masih hidup dan juga orang-orang yang telah mati, tanpa peduli sedikitpun tentang apa yang ia ucapkan”. [Ad-Da’ wa ad-Dawa’ halaman 191 oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah].
Sudah menjadi rahasia umum, sekarang ini banyak tetangga yang tidak merasa aman dari tetangganya yang lain atau shahabat yang tidak merasa nyaman dari shahabat lainnya. Atau juga didapati seseorang tidak merasa aman dan kerasan dari kakak atau adiknya bahkan dari orang tuanya, atau juga seseorang dari anak, menantu atau mertuanya. Atau juga guru tidak merasa aman dan nyaman dari muridnya dan begitupun sebaliknya. Atau juga pemimpin dari rakyatnya atau rakyat dari pemimpinnya, dan sebagainya.
Mereka saling curiga dan waspada akan kejahatan amal atau ucapan satu dari lainnya. Jika segala perilaku seseorang saja dapat menimbulkan penilaian negatif dari orang lain maka bagaimana jika ia melakukan suatu perbuatan yang buruk atau mengucapkan suatu perkataan yang keliru, tentu akan lebih fatal lagi akibatnya. Dari sebab itu, di antara mereka ada yang khawatir segala keburukannya mendapatkan cercaan atau celaan dari selainnya dan takut menjadi bahan gunjingan (objek ghibah) sesamanya.
Sehingga sebahagian mereka ada yang berusaha meninggalkan dan menanggalkan berbagai kesalahan dan dosa itu karena takut menjadi bahan pembicaraan orang lain. Atau ada juga diantara mereka yang mengerjakannya secara sembunyi-sembunyi. Lalu kalau begitu, apatah artinya menjauhkan diri dari berbagai aib jika bukan karena Allah Subhanahu wa ta’ala??.
Meninggalkan berbagai kemungkaran adalah suatu keharusan, tetapi membuat orang lain tidak aman dan nyaman dari sebab khawatir keburukannya disebarluaskan orang lain adalah hal yang juga patut direnungkan dan diperhitungkan. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bahwasanya orang yang tidak membuat rasa aman kepada orang lain, misalnya kepada tetangga, kerabat, teman atau lainnya maka ia adalah orang yang tidak sempurna keimanannya dan tidak akan masuk ke dalam surga serta mendapatkan kedudukan yang paling buruk di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana telah dituangkan di dalam beberapa hadits berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 121 dan shahihnya: 6016, Muslim: 46 dan al-Hakim: 21. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad: 89, Mukhtashor Shahih Muslim: 33, Shahih al-Jami’ ash-Shagiir: 7675, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 549 (II/ 82)].
Di dalam shahih al-Bukhoriy dari Abu Syuraih radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman”. Ditanyakan kepada Beliau, “Siapakah dia wahai Rosulullah?”. Beliau bersabda, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”.
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat penegasan akan hak tetangga lantaran sumpah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap hal tersebut, dan Beliau mengulangi sumpahnya sebanyak tiga kali. Di dalamnya terdapat pula penafian (peniadaan) iman bagi orang yang mengganggu (atau menyakiti) tetangganya dengan ucapan atau perbuatan. Dan yang dikehendaki (oleh Beliau) adalah iman yang sempurna sebab tidak diragukan lagi bahwa orang yang berbuat maksiat itu tidak sempurna imannya”. [Fat-h al-Bariy: X/ 444].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Menahan gangguan kepada tetangga adalah termasuk dari kesempurnaan iman”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 387].
عن عبد الله بن عمرو بن العاص قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: اْلمــُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمــُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ وَاْلمــُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهىَ اللهَ عَنْهُ
Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Muslim itu adalah orang yang kaum muslimin lain selamat dari lisan dan tangannya. Orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah”. [HR al-Bukhoriy: 10, 6484, Muslim: 40, Abu Dawud: 2481, at-Turmudziy: 2627, an-Nasa’iy: VIII/ 105, ad-Darimiy: II/ 300 dan Ahmad: II/ 160, 163, 187, 191, 192, 195, 205, 206, 209, 212, 215, 224, 379, III/ 154, 372, 391, 440, IV/ 114, 385, VI/ 21, 22. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 7, Shahih Sunan Abi Dawud: 2168, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2118, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4623, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6711 dan al-Aadaab: 402].
عن أبي موسى رضي الله عنه قَالَ: قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ اْلمــُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
Dari Abu Musa (al-Asy’ariy) radliyallahu anhu berkata, mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, Islam apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 11, Muslim: 42, at-Turmudziy: 2504, an-Nasa’iy: VIII/ 106-107 dan ad-Darimiy: II/ 299. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 8, Mukhtashor Shahih Muslim: 69, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2032, 2119 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4626].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Yakni tidak menzholimi kaum muslimin dengan lisannya, apakah berupa ghibah, namimah, cacian atau yang serupa dengan itu”. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 163].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat larangan menyakiti kaum muslimin berupa ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu penyebutan lisan untuk menunjukkan atas ucapan dan tangan untuk menunjukkan atas perbuatan”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 8].
Beberapa dalil dan penjelasan di atas memaparkan tentang keindahan ajaran Islam, bahwa seseorang itu disebut muslim jika ia mampu memberi keselamatan dan kenyamanan kepada muslim lainnya khususnya dan umat manusia umumnya, dari lisan dan tangannya. Yakni tidak menzholimi kaum muslimin dari lisannya berupa ghibah, namimah, buhtan, cacian, celaan, kutukan dan selainnya. Dan tidak pula dari tangannya berupa pemukulan, pencurian, perampasan dan lain sebagainya. Namun jika ada di antara mereka yang menzholimi selainnya dengan tangan atau lisannya, sehingga ia dibenci, dihindari, dijauhi oleh orang lain akibat ulahnya itu maka ia termasuk orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah swt pada hari kiamat nanti dan tidak akan masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan abadi.
عن عائشة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: يَا عَائِشَةَ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنِ وَدَعَهُ-أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ- اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
Dari Aisyah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya sejelek-jelek kedudukan manusia di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan (atau dijauhi) oleh manusia karena takut akan kekejiannya”. [HR al-Bukhoriy: 6032, 6054, 6131, al-Adab al-Mufrad: 1311, Muslim: 2591, at-Turmudziy: 1996 dan Ahmad: VI/ 38. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 984, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1624, Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 7925, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1049 dan Misykah al-Mashobih: 4829].
Maksudnya, jika ada seorang hamba dijauhi oleh orang lain lantaran takut dan khawatir akan perbuatan buruk dan jahatnya yang ditimpakan kepadanya berupa pukulan, pencurian, penipuan dan sejenisnya dari amalan tangan, atau ghibah, fitnah, namimah, cacian dan semacamnya dari amalan lisan, maka ia adalah orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat kelak. Ia akan dijauhkan dari surga dan akan dijerumuskan ke dalam neraka dalam keadaan hina dina. Namun jika ia djauhi oleh orang lain lantaran sikapnya yang tepat dan tegas dalam mempertahankan dan memperjuangkan agama Allah maka hal itu tidaklah tercela dan bahkan kelak akan mendapat pujian dan sanjungan dari-Nya.
Bayangkan jika dirimu jadi korban dan objek dari kejahatan lisan orang lain, maka bagaimana perasaanmu?. Niscaya engkaupun akan merasakan pahit dan getirnya hidup. Engkau pasti berharap, agar orang itu menghentikan kejahatannya padamu, hilangnya keburukan yang dilakukan oleh lisan orang-orang padamu dan kehidupanmu dapat berangsur normal lagi seperti sediakala. Jika engkau tidak ingin dicubit, maka jangan sekali-kali mencubit orang lain.
Wahai saudara-saudaraku seiman, jagalah lisanmu dari mengucap berbagai hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Peliharalah tanganmu dari menulis berbagai perkara yang telah diharamkan oleh keduanya. Niscaya kalian akan selamat dari ujian dunia, fitnah kubur dan siksa neraka pada hari kiamat. Janganlah lisanmu berucap atau tanganmu menulis kecuali yang baik-baik dan diridloi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bish showab...
Lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Lisan merupakan anggota badan manusia yang cukup kecil jika dibandingkan anggota badan yang lain. Akan tetapi, ia dapat menyebabkan pemiliknya ditetapkan sebagai penduduk surga atau bahkan dapat menyebabkan pemiliknya dilemparkan ke dalam api neraka.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisannya, karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إن العبد ليتكلم بالكلمة من رضوان الله , لا يلقي لها بالا , يرفعه الله بها درجات , و إن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله , لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم
“Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan keridhoan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karena sebab perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wajibnya Menjaga Lisan
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Qotadah menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kamu katakan ‘Aku melihat’ padahal kamu tidak melihat, jangan pula katakan ‘Aku mendengar’ sedang kamu tidak mendengar, dan jangan katakan ‘Aku tahu’ sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban atas semua hal tersebut.”
Ibnu katsir menjelaskan makna ayat di atas adalah sebagai larangan untuk berkata-kata tanpa ilmu. (Tafsir Ibnu Katsir)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan makna hadits di atas adalah, “Jika engkau hendak berkata maka berfikirlah terlebih dahulu, jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut, namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu maka tahanlah dirimu (dari mengucapkan perkataan tersebut).” (Asy-Syarhul Kabir ‘alal Arba’in An-Nawawiyyah)
Ciri Muslim yang Baik
Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia mampu meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”
Oleh karena itu, termasuk di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya.
Bahaya Tidak Menjaga Lisan
Salah satu bahaya tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka meskipun itu hanyalah perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya. Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satunya adalah hadits yang telah disebutkan di atas.
Atau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)
Buah menjaga lisan
Buah menjaga lisan adalah surga. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يضمن لي ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة
“Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, dalam rangka untuk mencari keridhaan-Nya dan mengharap balasan berupa pahala dari-Nya. Semua ini adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala. (Kitaabul Adab)
Penutup
Ketika kita telah mengetahui bahaya yang timbul akibat tidak menjaga lisan, dan kita pun telah mengetahui bagaimana manisnya buah menjaga lisan, sudah sepantasnya kita selalu berfikir sebelum kita mengucapkan suatu perkataan. Apakah kiranya perkataan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya ia akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Cukuplah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala (artinya):
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18).
Juga firman Allah Ta’ala (artinya):
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang Dia cinta dan Dia ridhai.
***
Langganan:
Postingan (Atom)
BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH
BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN
<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >> اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...

-
Data Biografi Drs. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid Saya Dapatkan Ini dari akun Facebook Beliau insya Allah Saya Terjemahkan Kedalam bahasa...
-
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah INDONESIA TITIK AWAL KEBANGKITAN ISLAM DUNIA Us...
-
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah BAI'AT ADALAH TERMASUK SALAH SATU SYARI...