Jumat, 29 Maret 2019
INDONESIA TITIK AWAL KEBANGKITAN ISLAM DUNIA
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
INDONESIA TITIK AWAL KEBANGKITAN ISLAM DUNIA
Ustadz Hadi Salam
Jatuhnya kekhalifahan Islam di turki pada 3 maret 1924 M adalah awal dari berakhirnya peradaban dan kekuatan Islam diseluruh dunia. Semenjak peristiwa itu kini negara negara Islam didunia telah banyak yang berpecah-belah dan bahkan mereka tega membunuh saudara-saudara mereka sendiri. hal inilah yang telah memicu semakin melemahnya kekuatan Islam, dan semakin menguat-nya kekuatan negara negara barat.
Bermula sejak dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin, dilanjutkan dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, serta beberapa kerajaan Islam yang lain sebelum jatuhnya kerajaan Islam yang terakhir, yaitu kerajaan Turki Utsmaniyyah. Dahulu umat Islam begitu kuat hingga mampu menguasai dua dari sepertiga dunia ini dan membuat takut bangsa bangsa barat, akan tetapi sekarang apa yang terjadi? dimanakah kekuatan itu menghilang ? dimanakah para pasukan yang tiada takut mati itu? semuanya telah lenyap dan sirna ditelan zaman.
Rasulullah ﷺ telah berjanji bahwa disuatu hari nanti agama Islam akan jaya kembali dan bahkan mampu menguasai seluruh dunia ini hingga hari kiamat datang. Karena penguasa dunia terus saja dipergilirkan layak-nya sebuah ajang pertandingan, barang siapa yang kuat maka dialah yang akan menjadi penguasa. Firman Allah ﷻ, “Dan masa (kejayaan/ kekuasaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (sebagai iktibar/ pengajaran)” (Qs. Ali Imran: 140).
Berdasarkan ayat diatas, jelas bahwa Allah menggilirkan kejayaan dan kejatuhan suatu bangsa dari dulu hingga kini. As-Syahid Hasan Al-Banna pernah mengatakan; “Kepemimpinan dunia dipegang secara bergilir oleh orang dari Timur dan orang Barat.”
Sejarah telah membuktikan, kejayaan sesuatu bangsa dipergilirkan antara Timur dan Barat, bermula dari bangsa Qibti (Timur), bangsa Yunani (Barat), bangsa Farsi (Timur), Bangsa Romawi (Barat), kemudian bangsa Arab (Timur), dan kini Amerika (Barat) yang sedang menurun pengaruh kekuasaannya hari demi hari. Jika diikuti susunan timur-barat ini, giliran bangsa yang bakal menguasai dunia selanjutnya adalah bangsa dari Timur.
Inilah beberapa bukti bahwa kebangkitan Islam akan berawal dari Indonesia :
BENDERA MERAH DAN PUTIH
Dari Tsauban dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah menggulung bumi untukku sehingga aku bisa melihat timur dan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan ummatku akan mencapai apa yang telah dinampakkan untukku. Aku diberi dua harta simpanan: Merah dan putih. Dan sesungguhnya aku meminta Rabb-ku untuk ummatku agar Dia tidak membinasakan mereka dengan kekeringan menyeluruh, agar Dia tidak memberi kuasa musuh untuk menguasai mereka selain diri mereka sendiri sehingga menyerang perkumpulan mereka. Dan sesungguhnya Rabbku berfirman, “Hai Muhammad, sesungguhnya Aku bila menentukan takdir tidak bisa dirubah, sesungguhnya Aku memberikan untuk umatmu agar mereka tidak dibinasakan oleh kekeringan menyeluruh dan Aku tidak akan memberi kuasa musuh untuk menyerang mereka selain diri mereka sendiri lalu mereka menyerang perkumpulan mereka, walaupun musuh mengepung mereka dari segala penjurunya, hingga akhirnya sebagian dari mereka (umatmu) membinasakan sebagaian lainnya dan saling menawan satu sama lain”. (HR. Muslim no. 2889).
Pada hadis diatas terdapat kata merah dan putih, sedangkan bendera indonseia adalah merah dan putih.
PANJI HITAM DARI ARAH TIMUR
Dari Tsauban, dia berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Akan datang Panji Panji Hitam dari sebelah Timur, seolah olah hati mereka kepingan kepingan besi. Barangsiapa mendengar tentang mereka, hendaklah datang kepada mereka dan berbaiatlah kepada mereka sekalipun merangkak diatas salju”. (dikeluarkan dari Al Hasan bin Sofyan dari Al hafiz Abu Nuaim) (dari kitab Al Hawi lil fatawa oleh Imam Sayuti).
Arah timur yang dimaksud pada hadis diatas tiada satu pun orang yang mengetahuinya. Ada yang mengaitkan nya dengan Afganistan, Pakistan, dan Yaman, namun tidak ada bukti yang jelas sampai sekarang. Jika kita melihat dari peta globe dunia, maka akan terlihat bahwa negara Islam yang paling timur di dunia itu adalah Indonesia, Malaysia dan Brunai, tetapi yang paling timur diantara 3 negara tersebut adalah Indonesia.
Hal ini juga didukung dengan bergilirnya penguasa di dunia sebagaimana yang telah difirmankan Allah pada ayat diatas, dan satu satunya negara Islam yang belum pernah mendapatkan giliran berkuasa didunia adalah negara Islam Melayu Indonesia. Maka bukan tidak mugkin bahwa kebangkitan Islam itu akan berawal dari timur yaitu melayu Indonesia.
KEKERINGAN YANG TIDAK MENYELURUH
Hadits diatas juga bercerita tentang suatu negeri diakhir zaman yang tidak akan pernah mengalami kekeringan secara menyeluruh. Dan jika kita lihat sekarang ini di dunia, bahwa negara Islam yang tidak pernah mengalami kekeringan menyeluruh ternyata hanya ada beberapa negara saja, dan Indonesia-lah salah satunya.
MUSUH YANG TIDAK MAMPUN MENGUASAI
Hadis diatas menceritakan tentang suatu negeri yang tidak bisa dikuasaui oleh musuh manapun. Indonesia adalah salah satu negara Islam yang tidak mudah untuk ditundukkan. Sebagaimana kita ketahui sekarang ini bahwa militer indonesia berada di level 12 besar negara terkuat di dunia. Jadi tidak heran lagi bahwa musuh manapun tidak ada yang sanggup untuk menguasai indonesia.
MAYORITAS MUSLIM TERBESAR
Negara indonesia adalah negara terbesar ke-13 di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta jiwa. Dari sekian banyak nya jumlah penduduk tersebut, kira-kira Penduduk muslim mencapai 207 juta jiwa, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara muslim terbesar didunia.
Beberapa ulama terkenal di dunia dan bahkansebagian ulama yang ada di negeri ini yang “Lurus” pernah memprediksi bahwa Timur yang di maksud di dalam hadits Rasulullah ﷺ adalah Indonesia.
Berikut adalah beberapa prediksi dari para ulama tentang Indonesia diantaranya :
PREDIKSI ULAMA PALESTINA
Suatu saat kami sedang duduk di Masjid Jogokariyan, di hadirat Syaikh Dr. Abu Bakr Al 'Awawidah, Wakil Ketua Rabithah, 'Ulama Palestina. Kami katakan pada beliau, “Ya Syaikh, berbagai telaah menyatakan bahwa persoalan Palestina ini takkan selesai sampai bangsa 'Arab bersatu. Bagaimana pendapat Anda?” Beliau tersenyum. “Tidak begitu ya Ukhayya“, ujarnya lembut. “Sesungguhnya Allah memilih untuk menjayakan agamanya ini siapa yang dipilihNya di antara hambaNya; Dia genapkan untuk mereka syarat-syaratnya, lalu Dia muliakan mereka dengan agama dan kejayaan itu.” “Pada kurun awal”, lanjut beliau, “Allah memilih Bangsa 'Arab. Dipimpin Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, dan beberapa penguasa Daulah 'Umawiyah, agama ini jaya. Lalu ketika para penguasa Daulah itu beserta para punggawanya menyimpang, Allah pun mencabut amanah penjayaan itu dari mereka.” “Di masa berikutnya, Allah memilih bangsa Persia. Dari arah Khurasan mereka datang menyokong Daulah 'Abbasiyah. Maka penyangga utama Daulah ini, dari Perdana Menterinya, keluarga Al Baramikah, hingga panglima, bahkan banyak 'Ulama dan Cendikiawannya Allah bangkitkan dari kalangan orang Persia.” “Lalu ketika Bangsa Persia berpaling dan menyimpang, Allah cabut amanah itu dari mereka; Allah berikan pada orang-orang Kurdi; puncaknya Shalahuddin Al Ayyubi dan anak-anaknya.” “Ketika mereka juga berpaling, Allah alihkan amanah itu pada bekas-bekas budak dari Asia Tengah yang disultankan di Mesir; Quthuz, Baybars, Qalawun di antaranya. Mereka, orang-orang Mamluk.” “Ketika para Mamalik ini berpaling, Allah pula memindahkan amanah itu pada Bangsa Turki; 'Utsman Orthughrul dan anak turunnya, serta khususnya Muhammad Al Fatih.” “Ketika Daulah 'Aliyah 'Utsmaniyah ini berpaling juga, Allah cabut amanah itu dan rasa-rasanya, hingga hari ini, Allah belum menunjuk bangsa lain lagi untuk memimpin penjayaan Islam ini.” Beliau menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Dengan matanya yang buta oleh siksaan penjara Israel, dia arahkan wajahnya pada kami lalu berkata. “Sungguh di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam, bangsa kalianlah; yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek”, katanya sedikit tertawa, “Yang belum pernah ditunjuk Allah untuk memimpin penzhahiran agamanya ini.” “Dan bukankah Rasulullah bersabda bahwa pembawa kejayaan akhir zaman akan datang dari arah Timur dengan bendera-bendera hitam mereka? Dulu para 'Ulama mengira Khurasan, dan Daulah 'Abbasiyah sudah menggunakan pemaknaan itu dalam kampanye mereka menggulingkan Daulah 'Umawiyah. Tapi kini kita tahu; dunia Islam ini membentang dari Maghrib; di Maroko, sampai Merauke”, ujar beliau terkekeh “Maka sungguh aku berharap, yang dimaksud oleh Rasulullah itu adalah kalian, wahai bangsa Muslim Nusantara. Hari ini, tugas kalian adalah menggenapi syarat-syarat agar layak ditunjuk Allah memimpin peradaban Islam.” “Ah, aku sudah melihat tanda-tandanya. Tapi barangkali kami, para pejuang Palestinamasih harus bersabar sejenak berjuang di garis depan. Bersabar menanti kalian layak memimpin. Bersabar menanti kalian datang. Bersabar hingga kita bersama shalat di Masjidil Aqsha yang merdeka insyaallah.”
PREDIKSI GURU BESAR UNIVERSITAS KAIRO, MESIR
Beliau menegaskan bahwa kebangkitan Islam di masa depan akan dimulai di Indonesia. Beberapa tokoh dan penulis dunia di antaranya : Malik bin Nabi (penulis Perancis), Dr. Abdus Sallam Harras (Univ. Qarawiyyun Maroko), Judith Nagata (penulis Amerika), Mahmud Bajahji (mantan PM Irak) juga meyakini bahwa kebangkitan Islam akan bermula dari Asia Tenggara, dengan tulang punggungnya Indonesia dan Malaysia.
PREDIKSI ULAMA MUJAHID ABU MUZHAB AZ ZARQOWY
Beliau adalah seorang ulama dari iraq. sebelum menghembuskan nafas terakhir (semoga syahid) beliau sempat berpesan kepada bawaahan nya. " Tolong perhatikan bangsa bangsa timur, karena Allah Swt telah memilih mereka untuk mengawal tongkat dari kepemimpinan Al Imam Al Mahdi, dan saya berpendapat bahwa mereka itu adalah bangsa Melayu Indonesia. Subhanallah... Tanda tanda itu semakin jelas wahai saudara saudaraku. Semoga saja tanda-tanda itu akan semakin menambah keimanan kita kepada allahﷻ . Dan mari kita pererat tali persaudaraan serta membenahi diri kita, semoga Indonesia negeri kita tercinta akan menjadi titik awal kebangkitan Islam dunia.
Aamiin.....
Minggu, 24 Februari 2019
Lafadz 'Aam Dalam Ushul Fiqh
lafadz 'am
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Objek utama yang dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Untuk itu, para ahli telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antaranya yang mencakup masalah amr, nahi, dan takhyir, serta pembahasan lafal dari segi umum dan khusus.
Dan Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am. Untuk lebih jelasnya maka makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih mendalam. Yang mana didalamnya akan membahas tentang pengertian lafadz ‘am
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas kami mendapati rumusan masalah yang akan kita bahas sebagai berikut :
Apa Pengertian ‘Am
Bagaimana Pembagian ‘Am
Bagaimana Dalalah ‘Am
Macam-Macam Lafadz ‘Am
C. Tujuan Penulisan
Apa Pengertian ‘Am
Bagaimana Pembagian ‘Am
Bagaimana Dalalah ‘Am
Macam-Macam Lafadz ‘Am
D. Sistematika Penulisan
Bab Pertama Pendahuluan berisikan : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua Pembahasan Berisikan : Pengertian ‘Am, Pembagian ‘Am, Dalalah ‘Am, dan Macam-Macam Lafadz ‘Am
Bab Ketiga Penutup Berisikan : Kesimpulan
BAB II
PEMBAHASAN LAFADZ ‘AM
A. Pengertian ‘Am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum;[1] dan menurut istilah adalah Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Menurut istilah ‘am yaitu suatulafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja, sepertilafadz “arrijal” maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Disamping pengertian ‘amdiatas ada beberapa pengertian ‘am menurut ulama’ lainnya antara lain:
Hanafiah yaitu “Setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”.
Al-Ghazali yaitu “Suatu lafadz yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih”.
Al-Bazdawi yaitu “Lafaz yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata”.
MenurutUddah (dari kalangan ulama' Hanbali)"suatulafadz yang mengumumi dua hal atau lebih".
B. Pembagian ‘Am
Umum Syumuliy, yaitu semua lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri”. (Terjemahanal-Qur’an SuratAnnisa’ ayat 1).
Dalam ayat ini seluruh manusia di tuntut untuk bertaqwa (memelihara diri dari ‘azhab Allah) tanpa kecuali;[2]
Umum Badaliy, yaitu suatulafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku untuk sebagian pribadi, seperti:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Terjemahan al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183)
Dalam ayat ini terdapat kalimat umum tetapi umum di sini tidak dipergunakan untuk seluruh manusia, melainkan hanya orang-orang yang percaya kepada Allah (beriman) saja.[3]
C. Dalalah ‘Am
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qath'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalahal-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qath'i-nyasuatunash.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi'iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah ditakhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniydalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan jumhur ulama’ suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: "Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish". Selain itu di kalangan jumhur ulama’ didapat pula satu faedah yang lain yang berbunyi:
العمل بالعام قبل البحث عن المختص لا يجوز
Artinya:"mengerjakan sesuatu berdasarkan dalil/lafadz ‘am sebelum diteliti ada tidaknya pentakhsisnya tidak diperbolehkan.”
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama', Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath'iydalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Artinya: "dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya". (Terjemahan al-Qur’an Surat Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
المسلم يذبح علي اسم الله سميّ أو لم يسم
Artinya: "Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak." (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath'iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniywurudnya, sekalipun dzanniydalalahnya. Ulama Syafi'iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniydalalahnya, sedang hadisdzanny pula wurudnya dari nabi Muhammad SAW.
D. Macam-macam Lafadz ‘Am
كل ,جميع ,كا فة,
Contoh kullun:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”. (Q.S Ali Imran ayat 185).
Contoh jami’un:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“dia-lah Allah, yang menjadikan kamu di permukaan bumi ini semua” (Q.SAl-Baqarah ayat 29)
Contoh kaffah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (Q.SSaba’ ayat 28)
Contoh Ma’syara:
يا معشر الانس والجن الم يأتكم رسل منكم يقصون عليكم اياته وينذرونكم لقاء يومكم هذا
Artiinya: “hai sekalian Jin dan Manusia! Tidaklah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan ayat-Ku kepadamu? serta menakuti kamu akan pertemuan hari ini (Q.Sal-An’am ayat 12)
من, ما, pada majaz
Contoh man:
مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu (Q.SAn-Nisa’ ayat 123).
Contoh maa:
وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya: “dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (Q.SAl-Baqarah ayat 272).
من, ما, اين, dan متى untuk istifham (pertanyaan)
Contoh man:
مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik”. (Q.SAl-Baqarah ayat 245)
Contoh maa:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ
Artinya: "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" (Q.SAl-Mudatsir ayat 42)
Contoh aina:
اين تسكن
“dimana kamu tinggal”
Contoh mata:
متى نصرالله
“Kapan akan datang pertolongan Allah”
اي
Contoh ayyu:
عن عائشة قال ص م ايماامراة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل.
Artinya: “siapa saja di antara perempuan yang kawin tanpa seijin walinya, maka perkawinannya batal (tidak sah)” (H.R. Arba’ah).
النكرة بعد النفى
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَّا تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ
Artinya: “dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.”( Q.SAl-Baqarah ayat 123).[4]
اسم موصول
Contoh:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya”. (Q.SAn-nur ayat 4)
اضافة
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ
Artinya: “dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya” (Q.S Ibrahim ayat 34).
ال حرفية (alif lamharfiyah)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.(Q.SAl-Baqarah ayat 195).[5]
BAB III
KESIMPULAN
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum;[6] dan menurut istilah adalah Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qath'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhurSyafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qath'i-nya suatu nash.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qath'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalahal-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qath'i-nyasuatunash.
Macam-macam Lafadz ‘Am
1. كل ,جميع ,كا فة
2. من, ما, pada majaz
3. من, ما, اين, dan متى untuk istifham (pertanyaan)
4. اي
5. النكرة بعد النفى
6. اسم موصول
7. اضافة
8. ال حرفية (alif lamharfiyah)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad WarsonMunawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressiff, 1997)
Nazar Bakry, FiqhdanUshulFiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1996)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penterjemah/ Pentafsiral-Qur’an
Google search, http://amalkampusbiru.blogspot.com/2012/09/makalah-ushul-fiqh-part1-am_19.html
Google search, http://ibestlala.blogspot.com/2011/12/ushul-fiqih-2-normal-0-false-false.html
[1] Ahmad WarsonMunawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressiff, 1997), 974.
[2] Drs. H. NazarBakry, FiqhdanUshulFiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1996), 185.
[3] Ibid,.
[4] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penterjemah/ Pentafsiral-Qur’an, 32.
[5] Ibid, 47.
[6] Ahmad WarsonMunawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressiff, 1997), 974.
التصور والتصديق من المصطلحات البلاغية البحته
دراسة بلاغية لآيات القرآن الكريم
الملخص:
يعد التصور والتصديق من المصطلحات البلاغية البحته، إذ أن علماء النحو لم يذكروا هذين المصطلحين بصورة واضحة وإنما اكتفوا بالإشارة إليهما فقط وأول من أشار إلى هذين المصطلحين عند النحاة سيبويه في باب النسبة والإفراد في الاستفهام. وجاءت التسمية على يد السكاكي في القرن السادس الهجري في كتابه مفتاح العلوم فأخذ كل علوم البلاغة الموجودة في بطون أمهات الكتب اللغوية، ففصلها وشرحها ووسعها فتكونت عنده مصطلحات جديدة فأصبح لزاما عليه أن يسمي المصطلحات حسبما يتطلب المعنى ومن هنا ظهر التصور والتصديق في علم البلاغة.
فالاستفهام التصوري هو عن التردد في تبيين أحد شيئين، فبالاستفهام يعلم انه أحاط العلم بأحدهما لا بعينه سواء كان مسندا، أو مسندا إليهما، أو من متعلقات الإسناد. ويصلح أن يؤتى بعد التصور (أم) المتصلة المعادلة العاطفة لا المنقطعة.
أما الاستفهام التصديقي هو يكون عن نسبة تردد الذهن بين ثبوتها، وانتفائها. وحقه أن يؤتى بعده (أم) المنقطعة لا المتصلة.
ولا يكون الاستفهام لطلب التصور إلا بعد حصول التصديق بأصل النسبة ولعل التصور والتصديق له حضور واضح في القرآن الكريم لما يجسداه من عمق ذهني وإثراء لغوي إذ يهدف المصطلحان إلى تحديد دلالة الاستفهام في الخطاب القرآني فالتصوري يحتاج إلى تعيين الجواب فقط ولا يحتاج إلى إجابة بنفي أو إثبات. أما التصديقي فيتطلب أداة من أدوات الجواب سواء كانت مثبته أو منفية. وبهذا فقد قسم الاستفهام في القرآن إلى قسمين تصوري وتصديقي. وتهدف المقالة إلى إزاحة ما كان يكتنف البحوث من توزيع وتفرق لأقسام الاستفهام ومعانيه، فلمَّ شتاتهم، ونظم ما كان منه من أفكار متناثرة، ونتف مفرقة.
المقدمة:
أجمع العلماء إن أساس التصور والتصديق هو العلم أو الدراية.
والعلم هو إدراك الشيء بحقيقته عند العقل ويظهر هذا المعنى جليا في القرآن الكريم في العديد من الآيات ومن ذلك قوله تعالى ﴿ أَعِنْدَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى ﴾ [النجم: 35]. وقوله عز من قائل ﴿ كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمْ ﴾ [التكاثر 5 - 6]. ويكون العلم أما قطعيا وهو اليقين كما ذكر في الآية المباركة أو ظنيا على سبيل المجاز كقوله عز من قائل ﴿ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ ﴾ [الممتحنة 10].
أي: ولو كان علمكم بمستوى الإدراك أو الظن فخذوا بإيمانهن والله أعلم.
ومن العلماء من قسمه إلى نوعين العلم الحضوري، والعلم الحصولي. فان كان تميزه ظهوره عند العقل في الخارج يسم علما حضوريا، وان كان تميزه وحضوره وظهوره عند العقل بصورته الحاصلة له في العقل يسم علما حصوليا، وينقسم العلم أيضا إلى قسمين: هما التصور والتصديق.
ويعد أول من طرق باب التصور والتصديق سيبويه "ولا يحق لمنصف أن يتنكر لجهوده التي قدمها لخدمة البلاغة العربية بدعوى انه لم يذكر لها مصطلحات، وإنما يحق لنا أن نقول إن سيبويه كان حجر الأساس في بناء البلاغة العربية بما ذكره من موضوعات تدخل في علم المعاني كالتقديم والتأخير والاستفهام وكما لم يفته أن يتناول أسرار التراكيب وتأليف الكلمات وصوغ العبارات وإبراز الفرق بين تعبير وآخر، وان اهتمامه لم يكن قاصرا على أواخر الكلمات، وبيان إعرابها وبنائها، وإنما تجاوز ذلك إلى نظم الجملة والجمل" ينظر[1].
أما إمام البلاغيين الشيخ عبد القاهر الجرجاني فقد درس التصور والتصديق على أساس أدوات الاستفهام لفهم يختلف كثيرا عن سيبويه وآراءه حتى قال فيه شوقي ضيف " ونراه يعرض أمثلة كثيرة لصياغات مختلفة مع همزة الاستفهام، تارة يليها فيها الفعل وتارة يليها الاسم، مبينا ما بينها من دقائق بلاغية، ذلك انك إذا سألت شاعرا ( أأنت قلت هذا الشعر؟) مقدما الضمير على الفعل كان الشك في قائل الشعر اهو المخاطب أم غيره. أما الشعر فلا شك فيه وإذا سألته: ( أقلت هذا الشعر؟) كان الشك في الفعل نفسه وهل نظم الشعر حقا أو لم ينظمه.
فالتقديم والتأخير لا يأتيان للاهتمام أو العناية، وإنما يأتيان لتحرير المعاني وضبطها ورتب على ذلك إن هذا السائل يستطيع أن يسأل صاحبه:(أقلت شعرا قط؟) فيكون كلامه صحيحا مستقيما، ولكن لو سأله (أأنت قلت شعرا قط؟) كان قد أخطا في سؤاله، لأنه جمع فيه بين إثبات الفعل والشك في حدوثه، إذ السؤال مسلط على الشخص لا على فعله، فكان ينبغي أن لا تضيف كلمة (قط). وهذا نفسه يطبق في كل صيغة للاستفهام بالهمزة، فدائما يليها المسؤول عنه سواء في التقرير أو غير التقرير"[2].
ويعد السكاكي أول من ذكر تسميات المصطلحات البلاغية وجعلها في أبواب مستقلة وعلوم منفردة في كتابه مفتاح العلوم الذي جعل فيه النزعة المنطقية والجدلية ذات طابع واضح في أفكاره. فقد أطلق التصور والتصديق كعنوان بلاغي في باب علم المعاني، فطبق هذين المصطلحين بصورة عملية في القرآن الحكيم. ولم يقف التصور والتصديق عند السكاكي فحسب بل تبحر المفسرون والبلاغيون في هذين المصطلحين. أمثال ابن الزملكاني أبو المكارم عبد الواحد بن عبد الكريم (ت 651 هـ) في كتابيه ( التبيان في علم البيان المطلع على إعجاز القرآن) و ( البرهان الكاشف عن إعجاز القرآن ) ينظر[3]. ومن البلاغيين الخطيب القزويني الذي قام بدراسة كتاب السكاكي فصنفه وشرحه شرحا مفصلا مبينا الحجج والعلل في جميع الآراء البلاغية التي تناولها السكاكي.
الاستفهام التصوري عند البلاغيين في القرآن الحكيم:
تصورت الشيء: توهمت صورته فتصور لي. ولا أتصور ما تقول"[4].
" فهو إدراك الماهية" انظر[5]. من غير أن يحكم عليها بنفي أو إثبات"[6].. وقال الغزالي في الماهية "اعلم أن قول القائل في الشيء ما هو" ينظر[7].
والتصور من الناحية البلاغية "هو إدراك المفرد كقولك (أعلي مقيم أم محمد). تعتقد إن السفر حصل في أحدهما ولكنك تطلب تعيينه ولذا يجاب بالتعيين فيقال علي مثلا"[8](5). ونعني بالإدراك هو تعيين أحد طرفين الإسناد أو احد أجزاء الجملة و"تأتي الهمزة متلوة بالمسئول عنه ويذكر له في الغالب معادل بعد (أم) المتصلة وسبب تسميتها بالمتصلة لأنها تأتي بعد همزة التصور"[9].
ومن ذلك قوله تعالى ﴿ قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللّهِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴾ [البقرة 140]. وقوله جل وعلا ﴿ سَوَاء عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِن مَّحِيصٍ ﴾ [إبراهيم 21]. فهذه الآيتان المباركتان لا تتطلب الإجابة بهما إلا بالتعيين. ولا يحتاج إلى الإجابة بنعم أو لا أو غير ذلك من أدوات الجواب.
وقسم الشيخ المظفر التصور إلى أربعة أقسام "أولا المفرد الذي يتكون من اسم وفعل وحرف وثانيا النسبة في الخبر عند الشك أو توهمها كقولك (المريخ مسكون) وثالثا النسبة في الإنشاء من أمر ونهي وتمن واستفهام فلا تصديق ولا إذعان وأخيرا المركب الناقص كالمضاف والمضاف اليه وغيرها"[10].
والتصور من الناحية البلاغية "هو إدراك المفرد كقولك (أعلي مقيم أم محمد). تعتقد إن السفر حصل في احدهما ولكنك تطلب تعيينه ولذا يجاب بالتعيين فيقال علي مثلا[11].
وفي هذه الحالة "تأتي الهمزة متلوة بالمسؤول عنه ويذكر له في الغالب معادل بعد (أم) المتصلة وسبب تسميتها بالمتصلة لأنها تأتي بعد همزة التصور"[12].
وإن طلب التصور مرجعه إلى تفصيل المجمل أو تفصيل المفصل بالنسبة[13].
فهو إدراك أحد أجزاء الجملة المسند أو المسند إليه أو احد المتعلقات ولكنه يجهل أحد أجزاء البناء[14]. ومن ذلك قوله تعالى ﴿ قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللّهِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴾ [البقرة 140]. وقوله جل وعلا ﴿ سَوَاء عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِن مَّحِيصٍ ﴾ [ابراهيم 21]. فهذه الآيتان المباركتان لا تتطلب الإجابة بهما إلا بالتعيين.
الاستفهام التصديقي عند البلاغيين في القرآن الحكيم:
التصديقمن "الصدق نقيض الكذب صدقه قبل قوله، وصدقه الحديث أي أنبأه بالصدق"[15]. وعند قولك رجل صديق، أي عنده مصداق ذلك وهو ما يصدقه من دليل[16]. وعرفه المناطقة بأنه "تصور ولكنه تصور يستتبع الحكم وقناعة النفس وتصديقها[17]. أشار الغزالي (ت505هـ) "بأنه بخلاف العلم والمعرفة"[18]. أما اللغويون فلم يبتعدوا عن هذا كثيرا فعبروا "بأنه نسبة الصدق في القلب أو اللسان إلى القائل. وضده الإنكار والتكذيب"[19].
والتصديق اصطلاحا عند أهل البلاغة فهو "إدراك النسبة تستفهم عن حصول الشيء من عدمه"[20]."وفي هذه الحالة يمتنع ذكر المعادل وإذا جاءت (أم) بعد همزة التصديق تكون منقطعة وتكون بمعنى بل"[21]. ويطلب التصديق "تعين الثبوت أو الانتفاء في مقام التردد"[22]. "وذلك عندما يكون السائل عالما بأجزاء الإسناد، ويجهل الحكم أو مضمون الجملة فهو يسأل ليقف على هذا الحكم، فعندما تدخل أدوات الاستفهام على الجملة الخبرية يكون الاستفهام بها عن احد الأمرين أما عن النسبة أي الإسناد أو الحكم المفاد من الجملة ويسمى تصديقا"[23].
ويكثر التصديق في الجمل الفعلية كقولك (أحضر الأمير) تستفهم عن ثبوت النسبة ونفيها وفي هذه الحالة يجاب بلفظه (نعم أو لا)[24]. ومنه قوله تعالى: ﴿ أَرَأَيْتَ إِن كَذَّبَ وَتَوَلَّى ﴾ [العلق 13]. وقوله عز من قائل ﴿ أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ ﴾ [التين 8]. فالتصديق حول ثبوت النسبة أو عدمها كان قد استفهم الجمل الفعلية في(رأيت، و ليس). ويقل التصديق في الجمل الاسمية نحو (أعلي مسافر)"[25].
ومثال ذلك قوله تعالى: ﴿ أَهَـؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِم ﴾ [المائدة 53]. وقوله تعالى: ﴿ أَعِندَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى ﴾ [النجم 35].
أما اللغويون فلم يبتعدوا عن هذا كثيرا فعبروا "بأنه نسبة الصدق في القلب أو اللسان إلى القائل. وضده الإنكار والتكذيب"[26].
والتصديق اصطلاحا عند أهل البلاغة فهو "إدراك النسبة تستفهم عن حصول الشيء من عدمه[27] ومما تحسن به الإشارة إن التصور والتصديق يكثر في الأسلوب الاستفهامي فيشمل جميع أدوات الاستفهام ولهذا فقد قسم علماء البلاغة أدوات الاستفهام بحسب طلب المتكلم إلى أدوات تصديقية وأدوات تصوريه وأدوات تحتمل التصور والتصديق.
أقسام أدوات الاستفهام بحسب الطلب:
فقد قسم أهل البلاغة أدوات الاستفهام بحسب الطلب إلى ثلاثة أقسام:
القسم الأول:
ما يستفهم عن التصور والتصديق وهو (همزة الاستفهام) فقط[28].
"أي يستفهم عن المفرد وعن الحكم"[29].
فالمفرد هو التصور والحكم هو التصديق، ومن العلماء من قال أنها لا تتخصص لا بالتصور ولا تختص بالتصديق، والهمزة من هذا النوع[30].
إذ أنها عامة تأتي لطلب التصور وتأتي لطلب التصديق. "فيطلب بالهمزة إدراك النسبة الواقعة بين الطرفين ثبوتا أو نفيا، وذلك إذا كان المتكلم يجهل مضمون الجملة ويتردد في ثبوتها لأمر أو نفيها عن ذلك الأمر"[31].
فالهمزة تطلب احد الأمرين التصور أو التصديق سواء أكان مسندا إليه نحو (أأنت فعلت هذا أم يوسف). أم مسندا نحو (أراغب أنت عن الأمر أم راغب فيه) أم مفعولا نحو (اياي تقصد أم سعيدا) أم حالا نحو (أراكب حضرت أم ماشيا) أم ظرفا نحو (أيوم الخميس قدمت أم يوم الجمعة)"[32].
"فإذا كانت الهمزة لطلب التصديق كان جواب الاستفهام بـ(نعم) أو(لا).
ولا يذكر معها معادل ويليها غالبا الفعل إن وجد"[33] تقول في طلب التصديق بها (أحصل الانطلاق)؟ و (أزيد منطلق)؟ فأنت تطلب تفصيل المسند إليه، وهو المظروف"[34].
والمسؤول عنها بها هو ما يليها، فتقول (أضربت زيدا)؟ إذا كان الشك في الفعل نفسه، وأردت بالاستفهام أن تعلم وجوده، وتقول (أزيدا ضربت)؟ إذا كان الشك في المفعول (من هو)"[35].
ومن ذلك قول الشاعر:
أأترك إن قلت دراهم ♦♦♦ خالد زيارته؟ إني إذا للئيم
فالجواب هنا بالنفي أي (لا) لن اترك زيارته إن قل ماله، لأن السؤال عن التصديق، إذا المتكلم يعرف الفعل ويتصور الفاعل وهو المتكلم نفسه كما يتصور النسبة بين تلك الأجزاء، ولكنه يتساءل أتقع أم لا تقع"[36] فهو إذا "يجهل الحكم أو مضمون الجملة، فهو يسأل ليقف على هذا الحكم"[37] والتصديق بالهمزة ورد في القران الحكيم كثيرا ومنه قوله تعالى ﴿ قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَخَذَ اللّهُ سَمْعَكُمْ وَأَبْصَارَكُمْ ﴾ [الأنعام 46]. فتساؤل الخالق أرأيتم ما فعل الله بهم أم لا. وقوله جل وعلا ﴿ قَالَ أَلَيْسَ هَذَا بِالْحَقِّ ﴾ [الأنعام 30].فالإجابة تصديقية (نعم هذا بالحق) أو (لا ليس بالحق).
" ومن أهم الأمور التي يجب توفرها في (همزة) التصديق إنه لا يجوز ذكر المعادل بعدها ولذا ترى إن الجواب فيها بنعم أو لا "[38]. ومما تحسن الإشارة إليه إن بعض العلماء جعل الهمزة تختص بالتصديق دون التصور وهذا ما نراه جليا في الإيضاح للخطيب القزويني"[39]. وإذا كانت الهمزة للتصور "فإنها تدل على إدراك المفرد نحو أعلي مسافر أم سعيد تعتقد إن السفر من احدهما ولكن تطلب تعيينه ولذا يجاب بالتعيين، فيقال سعيد مثلا. وحكم الهمزة التي لطلب التصور، أن يليها المسؤول عنه بها "[40].
وهمزة الاستفهام عن "التصور يكون عند التردد في تعيين احد الشيئين، فبالاستفهام يعلم انه أحاط بأحدهما لا بعينه مسندين أم مسندا إليهما أم من تعلقات الإسناد ومثال ذلك (أقائم زيد أم قعد) احتمل أن يكون المعنى أي الأمرين كان منه، ويكون استفهاما واحدا لطلب التصور كقوله تعالى: ﴿ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ ﴾ "[ص 75][41].
وقد يأتي طلب التصور بالهمزة في طرف المسند إليه ومثال ذلك "(أدبس في الإناء أم عسل)؟ وفي طرف المسند (أفي الخابية دبسك، ام في الزق)؟ وفي الثاني تطلب تفصيل المسند وهو الظرف"[42]، ومن خلال ذلك إن التصور هو "إدراك احد أجزاء الجملة عندما يكون السائل عالما بالحكم ولكنه يجهل احد أجزاء البناء، ولذلك وجب أن يليها المستفهم عنه ويذكر للمستفهم عنه غالبا أم المتصلة وقد يستغنى عن ذلك المعادل إذا وجد ما يدل عليه ولا يكون جواب الاستفهام عندئذ بنعم أو لا، وإنما يكون بتعيين المستفهم عنه، وقد يستغنى عن المعادل إذا دل عليه دليل كما في قوله تعالى ﴿ قَالُوا أَأَنتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ ﴾ [الأنبياء 62].
فالسياق وقرائن الأحوال تدل على أن المسؤول عنه هو الفاعل، حيث أشاروا إلى الفعل (هذا) فهو معلوم لهم والمعنى (أأنت فعلت هذا أم غيرك)؟ وقد أجابهم عليه السلام معينا لهم الفاعل على سبيل التهكم ﴿ قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا يَنطِقُونَ ﴾ "[الأنبياء 63][43].
فإذا يكون "الجواب عنها بتعيين المسؤول عنه من فعل أو فاعل أو غيره، ولا يصح أن يكون الجواب بـ(نعم) أو (لا)"[44].
ويجب أن يكون تعيين المسؤول عنه "موافق لما بعد الهمزة ومن ذلك قوله عز من قائل: ﴿ أَاطَّلَعَ الْغَيْبَ أَمِ اتَّخَذَ عِندَ الرَّحْمَنِ عَهْداً ﴾ [مريم 78]. وقوله: ﴿ قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللّهُ ﴾ [البقرة 140].
حيث تجد إن ما بعد (أم) مماثل لما بعد الهمزة ولذا من الخطأ أن تقول (أزيد أكرمت أم أهنت) لتناقض ما بعد الهمزة مع ما بعد أم المتصلة، وهو ليس تناقض في تركيب العبارة فحسب بل تناقض واضطراب في الإدراك والوعي"[45].
وهنالك من الأمثلة ما يصلح للتصور والتصديق معا في باب الاستفهام بالهمزة "فتقول (أمحمد جاء من السفر)؟ فتجعل ذلك تصديقا للسؤال عن الحكم فتكون الإجابة (بنعم) أو (لا) وبنفس الوقت تدل الجملة على التصور فتقول (أمحمد جاء من السفر أم خالد)؟ فدلت الجملة على التصديق تارة ولا يذكر بعدها أم المعادلة، وللتصور تارة أخرى ويجوز ذكر أم المعادلة بعدها. فالتصور والتصديق إنما ترجع إلى اعتبار المتكلم، وقصده، وغرضه من الكلام، وفهم المتكلم له، وقد يسأل عن الحكم وقد يسأل عن المفرد وقد يقصد هذا وذاك"[46].
وبرغم اعتبارات المتكلم وقصده إلا انه "يوجد فرق واضح بين الاستفهام بالهمزة عن التصور والاستفهام بها عن التصديق من وجهين الأول لفظي: وهو إن الاستفهام عن التصور يقع بعده (أم المتصلة) وأما الاستفهام عن التصديق فلا يصلح إلا بعد (أم المنقطعة). والثاني معنوي: هو إن الاستفهام عن التصديق يكون عن نسبة تردد الذهن فيها بين ثبوتها أو نفيها، والاستفهام عن التصور يكون عند التردد في تعيين احد الشيئين"[47].
ووجد للباحث إن الهمزة ليست الحرف الوحيد الذي يدل على التصور والتصديق وإنما يتبعه في ذلك (أم) فإنها تأتي للتصور والتصديق كما الهمزة، فهي تعد من أقوى الحروف تأثيرا على الجملة الاستفهامية بعد الهمزة، وتأتي (أم) متصلة إذا جاءت بعد همزة التصور بمعنى "إن ما بعدها يكون داخلا في حيز الاستفهام السابق عليها. أما إذا جاءت بعد همزة التصديق أو بعد (هل) التصديق تكون أم في حالتين أما في حالة (همزة التصديق، وهل). أو تقدر منقطعة تأتي بمعنى بل التي تكون للإنتقال من كلام إلى آخر لا يمتد تأثير الاستفهام السابق إليه. وبعبارة أخرى يكون الكلام الذي يلي أم المنقطعة خبرا لا إنشائيا"[48].
القسم الثاني:
ما يستفهم عن التصديق فقط وهو لفظ (هل) فلا يذكر مع المستفهم عنه بها معادل، بخلاف همزة الاستفهام، وهي حرف كالهمزة[49].
لذا يكون جوابك نعم أو لا أي بإفادتك ثبوت النسبة أو نفيها "[50].
وبما أن (هل) اختصت بالتصديق فقد ترتب عليها أحكام منها "امتناع أن يذكر بعدها المعادل بـ(أم المتصلة)"[51].
"فامتنع أن يقال (هل عندك عمرو أم بشر)؟ باتصال (أم) دون (أم عندك بشر)؟ بانقطاعها وقبح (هل زيد عرف)؟ دون هل زيدا عرفته؟ ولم يقبح (أرجل عرف؟ وازيدا عرفت). فبينه وبين هل تدافع" [52]. إضافة إلى ذلك إنه إذا ذكرت "أم يفضي إلى التناقض، فإن ذكرت فهي منقطعة" انظر[53]. وحينئذ يؤدي الجمع بين هل وأم إلى التناقض لأن هل تفيد إن السائل جاهل بالحكم لأنها لطلبه وأم المتصلة تفيد إن السائل عالم به وإنما يطلب تعيين احد الأمرين فإن جاءت أم كذلك كانت منقطعة بمعنى بل التي تفيد الإضراب نحو (هل جاء صديقك أم عدوك) وامتنع (هل زيد قام أم عمرو)؟ وقبح هل زيد ضربت؟ لما سبق إن التقديم يستدعي حصول التصديق بنفس الفعل والشك فيما قدم عليه"[54].
"وإنه يقبح دخول (هل) على جملة يشعر نظمها بمعرفة الحكم، فلا يستحسن أن تقول مثلا (هل فنون البلاغة أحببت)؟ و (هل خالدا أكرمت)؟
لأن هل يستفهم بها معرفة الحكم، فإذا كان نظم الجملة يدل على أن الحكم غير مجهول قبح ذلك"[55].
"فقبح استعمال هل في كل تركيب يتقدم فيه المسند إليه على الخبر الفعلي ووجه القبح عند الجمهور إن التقديم قد يكون للاختصاص والاختصاص يقتضي وقوع النسبة والعلم بها وهل لا يؤتى بها بل هي للتصديق"[56].
وهذا ما ذكره الخطيب القزويني بقوله "وامتنع (هل زيد قام أم عمرو)؟ وقبح هل زيد ضربت؟ لما سبق إن التقديم يستدعي حصول التصديق بنفس الفعل والشك فيما قدم عليه، والجواب نعم أو لا"(الخطيب القزويني، 1999، ص:244). وأما قولك (هل زيد أكرمته؟) فهو صحيح لا قبح فيه لأن الفعل هنا مشغول عن الاسم المنصوب بضميره والكلام على تقدير الفعل الناصب لزيد[57].
ومما تحسن إليه الإشارة إن "ما قبحه البلاغيون كان موجودا في كلام فحول العرب وموجودا حتى في القران الحكيم فقد ورد في قوله تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ﴾ [فاطر 3]. ولهذا كان ينبغي ألا يصف البلاغيون تلك التراكيب بالقبح بل الأولى أن يقال قليلة ونادرة وتنزيه أساليب القران عن مثل هذه الأوصاف"[58].
القسم الثالث:
ما يستفهم به عن التصور فقط، وهي سائر أدوات الاستفهام وهذه جميعها أسماء"[59]. "فيسأل بها عن معناها ولهذا يكون الجواب معها بتعيين المسؤول عنه[60].
"وأسماء الاستفهام هي"(ما ومن وأي وكم وأين وكيف وأنى ومتى وأيان) فهو من نوع طلب حصول التصور"[61].
"وهذا طبيعي لأن المطلوب تعيينه أو تصوره بكل منهما يخالف المطلوب تعيينه وتصوره بأداة أخرى، ولذلك يقتضي الأمر التعرف على حقيقة المسؤول عنه والمطلوب تعيينه وتصوره بكل أداة"[62] "ويرى سيبويه أن العرب تركوا النطق بهمزة الاستفهام مع سائر أدوات الاستفهام لأنهم امنوا الالتباس، فاكتسبت هذه الأدوات معنى الاستفهام بالتداول، وقال ابن مالك في المصباح ماعدا الهمزة نائب عنها"[63].
ولذا لا يلتزم في بناء الجملة معها سوى الضبط العام في النظام الإعرابي لصياغة الجمل، مع مراعاة تصدر تلك الأدوات فليس وراء بناء الجمل مع تلك الأدوات دقائق ينبغي مراعاتها، كما هو الحال بالنسبة للهمزة وهل"[64].
فمن يذكر بعده اسم المؤول عنه كقولنا في جواب (من هذا)؟
هذا محمد أو علي مثلا كما يحصل بالصفة، أي بذكر صفة من صفات المسؤول عنه، كقولنا في جواب السؤال السابق (من هذا)؟ هذا معلم أو طبيب مثلا"[65].
"أي إن الجواب يكون أما بذكر الذات المستفهم عنها، وأما بذكر الأوصاف الخاصة بالمستفهم عنه، والمشخصة له. ومن ذلك قوله تعالى: ﴿ قَالَ فَمَنْ رَبُّكُمَا يَامُوسَى * قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى ﴾ [طه: 49، 50]. فقد أجاب موسى عليه السلام بيان الصفات الخاصة برب العزة المنفرد بها سبحانه وتعالى. وانظر في قوله عز وجل ﴿ قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ * قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ ﴾ [الأنبياء: 59، 60]. وواضح في هذه الآية إن الجواب قد اشتمل على ذكر الذات المستفهم عنها"[66].
الخاتمة:
نستنتج من البحث عدة أمور منها:
1 - إن النحاة لم يذكروا هذين المصطلحين كـ( باب مستقل) بذاته، وإنما شاع هذا المصطلح عند البلاغيين بصورة منطقية معقدة في باديء الامر وبعدها بدت السلاسة والوضوح بارزة عليهما.
2 - لا يوجد تصديق إلا وكان أوله تصورا. إذ إن الحكم لا يأتي إلا إذا توفرت صورة في الذهن.
3 - إن العنصر الأساسي في مفهومي التصور والتصديق هو (الهمزة) لأنها تعد أم الباب في الاستفهام وفي الأحكام التي تتميز بها فقد ذكرها النحاة الأوائل من خلال باب التقديم، وهذا أوقد جذوة الاجتهاد عند البلاغين في التخصص بهذين المصطلحين وتطويرها كعلم منفرد.
4 - قسم العلماء مفهومي التصور والتصديق في القرآن الحكيم عِدة أقسام منها ما يكون من الخالق وهذا لا يأتي إلا مجازا لغرض التوبيخ أو التقرير أو غيرها من الأغراض المجازية، فحاشا لله علام الغيوب أن يطلب تصور من بشر مخلوق. والقسم الثاني أن يكون التصور أو التصديق صادرا من الأنبياء إلى الخالق وهذا جائز أن يكون حقيقي. والقسم الثالث يصدر من المؤمنين إلى الخالق أو الأنبياء والقسم الأخير أن يصدر من الكافرين لاستهزاء أو شك ويجوز في هذا الحقيقة والمجاز.
المصادر والمراجع
1 - ابن منظور، أبي الفضل جمال الدين محمد بن مكرم الأفريقي المصري. (1997) لسان العرب. اعتنى بتصحيحه أمين محمد عبد الوهاب ومحمد الصادق العبيدي. الطبعة الثانية. بيروت: دار إحياء التراث العربي.
2 - بسيوني عبد الفتاح فيود. (2004). علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية لمسائل المعاني مؤسسة المختار. الطبعة الثانية. القاهرة. (دون المطبع).
3 - بكري محمد خليل.(2001). المنطق عند الغزالي. الطبعة الاولى بغداد: بيت الحكمة.
4 - بن أبي بكر الكاف، عمر بن علوي. (2003). البلاغة (المعاني البيان البديع) الطبعة الثالثة. بيروت: دار المنهاج للنشر والتوزيع.
5 - التهانوي، محمد علي بن علي بن محمد الحنفي. (1998). كشاف اصطلاحات الفنون. وضع حواشيه احمد حسن بسج. الطبعة الأولى بيروت: دار الكتب العلمية.
6 - الجرجاني، السيد الشريف علي بن محمد.(2003). التعريفات. الطبعة الاولى. بيروت: دار إحياء التراث العربي.
7 - الحسيني، جعفر باقر. (2007). أساليب المعاني في القرآن. الطبعة الأولى قم: مؤسسة بوستان مطبعة بوستان.
8 - الخطيب القزويني. (1984). الإيضاح في علوم البلاغة. تحقيق د. عبد المنعم الخفاجي. الطبعة الأولى. مصر: نشر المكتبة الأزهرية.
9 - الزمخشري. جار الله أبي القاسم محمود بن عمر. (1994). أساس البلاغة.بيروت: دار الفكر للطباعة والنشر.
10 - السبكي بهاء الدين أبو حامد بن علي بن عبد الكافي. (2002). عروس الأفراح. تحقيق الدكتور خليل ابراهيم خليل. الطبعة الأولى. بيروت: دار الكتب العلمية.
11 - السكاكي، أبو يعقوب يوسف بن أبي بكر محمد بن علي. (1987). مفتاح العلوم. ضبطه وكتب هوامشه وعلق عليه نعيم زرزور. الطبعة الثانية. بيروت: دار الكتب العلمية.
12 - شوقي ضيف.(1965). البلاغة تطور وتاريخ. الطبعة الثانية. مصر: دار المعارف.
13 - عبد العزيز عتيق. (دون سنه). في البلاغة العربية علم المعاني – البيان - البديع. بيروت: دار النهضة العربية للطباعة والنشر.
14 - عبد القادر حسين. (بدون سنة). اثر النحاة في البحث البلاغي. القاهرة: دار نهضة مصر (د. ت).
15 - عبد القاهر الجرجاني. (1994). دلائل الإعجاز في علم المعاني. صحح أصله محمد عبد مفتي الديار المصرية والأستاذ اللغوي محمد محمود التركزي الشنقيطي علق عليه محمد رشيد رضا. الطبعة الأولى. بيروت: دار المعرفة.
16 - علي الجارم ومصطفى أمين. (1995). البلاغة الواضحة (البيان والمعاني والبديع). القاهرة: دار المعارف.
17 - فاضل حسن عباس. (2000). البلاغة فنونها وأفنانها. الطبعة السابعة. عمان:دار الفرقان للطباعة والنشر.
18 - المظفر، محمد رضا. (1321هـ). المنطق. الطبعة الأولى. قم: منشورات الفيروزآبادي.
19 - الميداني، عبد الرحمن حسن حبنكه. (2007). البلاغة العربية أسسها وعلومها وفنونها. الطبعة الثانية. بيروت: دار الشامية.
20 - الهاشمي، احمد. (1999). جواهر البلاغة في المعاني والبيان والبديع. ضبط وتدقيق وتوثيق د. يوسف الصميلي. الطبعة الأولى. بيروت:المكتبة العصرية صيدا.
21 - هلال، ماهر مهدي. (1977). فخر الدين الرازي بلاغيا. العراق: منشورات وزارة الاعلام.
22 - إسماعيل ابراهيم هويدي العاني. (2005). التصور والتصديق في العربية. رسالة ماجستير في اللغة العربية وآدابها. إشراف الدكتوره خديجة الحديثي. مجلس كلية الآداب جامعة بغداد.
يوسف أبو العدوس.(2007). مدخل الى البلاغة العربية. علم المعاني - علم البيان - علم البديع. الطبعة الأولى. عمان: دار الميسرة للنشر والتوزيع.
[1] عبد القادر حسين. اثر النحاة في البحث البلاغي. القاهرة: دار نهضة (بدون سنة): 128.
[2] شوقي ضيف. البلاغة تطور وتاريخ. الطبعة الثانية. مصر. دار المعارف. (1965): 172 - 173.
[3] هلال، ماهر مهدي. فخر الدين الرازي بلاغيا. العراق: منشورات وزارة الاعلام. (1977): 258.
[4] ابن منظور، لسان العرب الطبعة الثانية. بيروت، 1997:ج7/ 438.
[5] الجرجاني، السيد الشريف علي بن محمد.(2003). التعريفات. الطبعة الاولى. بيروت: دار إحياء التراث العربي: 160.
[6] المصدر نفسه: 47.
[7] بكري محمد خليل.(2001). المنطق عند الغزالي. الطبعة الاولى. بغداد: بيت الحكمة:172.
[8] عمر بن علوي. البلاغة(المعاني البيان البديع) الطبعة الثالثة. بيروت (2003).: 99.
[9] علي الجارم ومصطفى أمين. البلاغة الواضحة القاهرة، دار المعارف،(1995):194.
[10] المظفر، محمد رضا. المنطق. الطبعة الأولى. قم، (1321هـ):14.
[11] عمر بن علوي. البلاغة(المعاني البيان البديع) الطبعة الثالثة. بيروت (2003).: 99.
[12] علي الجارم ومصطفى أمين. البلاغة الواضحة القاهرة، دار المعارف،(1995):194.
[13] السكاكي، أبو يعقوب يوسف،، مفتاح العلوم، ضبطه وكتب هوامشه وعلق عليه نعيم زرزور. الطبعة الثانية.بيروت (1987): 308 - 309.
[14] بسيوني عبد الفتاح فيود. علم المعاني دراسة بلاغية نقدية، الطبعة الثانية، القاهرة، (2004): 306.
[15] لسان العرب:307.
[16] الزمخشري، أساس البلاغة، بيروت، (1994): 351.
[17] المنطق: 14.
[18] هناء إسماعيل، التصور والتصديق بغداد،(2005):119.
[19] التهانوي، محمد علي بن علي بن محمد الحنفي. كشاف اصطلاحات الفنون، الطبعة الاولى، بيروت، (1998):ج3/ 64.
[20] البلاغة(المعاني البيان البديع):99.
[21] البلاغة الواضحة:194.
[22] مفتاح العلوم:308 - 309.
[23] بسيوني عبد الفتاح فيود. علم المعاني دراسة بلاغية نقدية، الطبعة الثانية، القاهرة، (2004): 306.
[24] احمد الهاشمي. جواهر البلاغة في المعاني والبيان والبديع، الطبعة الأولى، بيروت(1999):71 - 72.
[25] احمد الهاشمي. جواهر البلاغة في المعاني والبيان والبديع، الطبعة الأولى، بيروت(1999): 72.
[26] التهانوي، محمد علي بن علي بن محمد الحنفي. كشاف اصطلاحات الفنون، الطبعة الاولى، بيروت، (1998):ج3/ 64.
[27] البلاغة(المعاني البيان البديع):99.
[28] الميداني، البلاغة العربية أسسها وعلومها وفنونها، الطبعة الثانية،بيروت،(2007):ج1/ 258.
[29] فاضل حسن عباس، البلاغة فنونها وأفنانها، الطبعة السابعة، عمان (2000): 174.
[30] مفتاح العلوم:308 - 309.
[31] يوسف أبو العدوس، مدخل إلى البلاغة العربية، الطبعة الأولى، عمان (2007): 73.
[32] جواهر البلاغة:70 - 71.
[33] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:306.
[34] مفتاح العلوم:308 - 309.
[35] الخطيب القزويني، الإيضاح، الطبعة الأولى، مصر (1984):284.
[36] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:306.
[37] المصدر نفسه: 306.
[38] البلاغة فنونها وأفنانها: 178.
[39] الإيضاح:243.
[40] جواهر البلاغة:70 - 71.
[41] السبكي، عروس الأفراح، الطبعة الأولى، بيروت، (2002): مج2/ 514 - 515.
[42] مفتاح العلوم: 308.
[43] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:306 - 307.
[44] البلاغة فنونها وأفنانها:178.
[45] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:307.
[46] البلاغة فنونها وأفنانها:179.
[47] الحسيني، أساليب المعاني في القران، الطبعة الأولى، قم (2007):68.
[48] البلاغة العربية علم المعاني البيان البديع:88.
[49] البلاغة العربية أساسها وعلومها وفنونها:258.
[50] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:309.
[51] المصدر نفسه:309.
[52] مفتاح العلوم:308 - 309.
[53] البلاغة فنونها وأفنانها:187.
[54] الإيضاح في علوم البلاغة:244.
[55] البلاغة فنونها وأفنانها: 187.
[56] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:309 - 310.
[57] المصدر نفسه:309 - 310.
[58] المصدر نفسه:309 - 310.
[59] البلاغة العربية أسسها وعلومها وفنونها:258.
[60] جواهر البلاغة:75.
[61] مفتاح العلوم: 310.
[62] عبد العزيزعتيق، في البلاغة العربية علم المعاني - البيان - البديع بيروت: 89.
[63] البلاغة العربية أسسها وعلومها وفنونها: 259.
[64] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:314.
[65] في البلاغة العربية علم المعاني - البيان - البديع:89 - 90.
[66] علم المعاني دراسة بلاغية ونقدية:314.
رابط الموضوع: https://www.alukah.net/sharia/0/6050/#ixzz5gTT2QxoX
Selasa, 05 Februari 2019
Tausiyah Subuh Mabit Pusat 01 Jumadistaani 1440H
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
Tausiyah Subuh Mabit Pusat
01 Jumadistaani 1440H
Penjelasan surat As Shof 61 : 1-14
*Awal surat dimulai dengan pujian Allah kepada diriNya semua yang ada di langit dan di bumi
*Kemudian الله menjelaskan apa yang dimurkai Nya yaitu Kaburo Maqtan ( bicara tapi tak melakukan )
*Lalu الله تعالى menjelaskan juga tentang hal2 yang disukai Nya yaitu BERJIHAD dalam shof-shof yang rapih seperti bangunan yang kokoh, maksudnya adalah tidak ada JIHAD yang paling disukai الله kecuali dalam jamaah
*Surat ini juga menerangkan tentang dua nabi yaitu Musa dan Isa عليهما السلام yang didustakan oleh sebagian besar kaumnya
*Kebencian Orang-orang musyrik itu benar-benar nyata dengan cara mereka selalu memadamkan cahaya Islam
*Tawaran sang Maha Pencipta kita agar selamat dari azab neraka yaitu perniagaan yang menguntungkan yaitu : iman yang benar, dan berjihad dengan amwaal dan anfuus kita, balasannya adalah jannaatu 'adn
*Surat ini ditutup dengan kisah HAWARIYUN (pengikut nabi Isa) yang siap menolong Islam dengan cara mereka berbaiat kepada nabi Isa.
*Hasil dari tarbiyah ini adalah sleksi atau filterisasi dari Nya dalam perjuangan, ada yang istiqomah dalam IQOMATUDDIN dan ada juga mereka yang meninggal kan perjuangan ini dan menjadi MUSUH الله dan rasulNya.
*Janji الله kepada para pejuang ini adalah kemenangan yang dekat di dunia dan kemenangan di akhirat yaitu MATI SYAHID
Baarokallaahu fiikum insya Allah
#Amir Daulah Timur ust Zulkifli Rahman حفظه الله تعالي
Ringkasan Ceramah Syekh Ustadz Abdul Qodir Hasan Baraja Hafizhohullaah Ta'ala
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah
Bismillah
Assalaamu'alaikum wa rahmatullah
01 Jumadistani 1440H Mabit Pusat
Mukhtashor :
* Nabi sekalipun tidak berhak memberikan hidayah atau keimanan kepada manusia walupun mereka adalah keluarga dekat sendiri
* Jika kita sudah mengajak manusia kepada kebenaran mereka menolak, maka berlapang dadalah kita kecuali mereka menghentikan dakwah kita dengan ancaman nyawa, maka yang ada adalah PERANG melawan mereka sampai datangnya syahid insya Allah.
* Jika ada kesempatan waktu dalam keseharian kita ibadah dan di sana ada kesempatan mati SYAHID, jangan ditunda walaupun sesaat!
* Orang beriman akan celaka jika tujuan ibadahnya adalah hanya batas dunia. Lihatlah bapak kita nabi Adam عليه السلام di saat dia tergoda dengan bujukan iblis maka di situlah kerendahan yaitu dunia.
* Ibadah adalah memperaktekkan ajaran-ajaran rasulullah صلي الله عليه وسلم dengan tidak menambah dan mengurangi dan harus sesuai dengan tuntunan baginda.
* Islam sangat sempurna ( Al Maidah 5:3 ) dan sangat lengkap, artinya semua ibadah sudah diajarkan oleh nabi kita Muhammad صلي الله عليه وسلم .
* Ibadah sunnah saja ada contohnya, apalagi ibadah2 yang wajib. Termasuk bagaimana cara bersatu atau Berjama'ah kita ( Ali Imran 3 : 103 ).
* Akan tetapi, nyatanya hari ini sebagian besar kaum muslimin kecuali yang dirahmati الله تعالي mereka bersatu atau berjamaah menggunakan cara atau metode otak mereka sendiri2, walhasil adalah PERPECAHAN.
* Jadi cara bersatu atau berjamaah maka kita lihat praktek nabi dan para sahabat2 رضي الله عنهم . Jaman Rasulullah صلي الله عليه وسلم yaitu kenabian dan setelah beliau wafat maka cara bersatu atau berjamah kaum muslimin adalah di KHILAFAH.
* Tidak berguna kecerdasan para ulama, kepintaran para huffaadz jika sistem hidup mereka adalah sistem SETAN seperti Demokrasi, Kapitalis, Komunis, dan tata cara manusia lainnya yang bersimpangan dengan Islam.
* Bagi warga Khilafah, jangan terpancing dengan manusia2 yang menghina sistem ini, menghina kholifah kita, biarkan saja dan doa kan mereka agar mendapat hidayah.
* Kewajiban kita hanya tabligh/menyampaikan saja.
* Ujian hidup di dunia baik senang atau susah bagi orang beriman adalah pahala.
* Semakin tinggi imannya maka semakin tinggi praktek ibadahnya hatta mereka siap menyabung nyawa2 mereka untuk agama ini. Pahalanya adalah Surga dan dibebaskan dari azab kubur dan neraka, Insyaallah.
* Terus luruskan niat dengan selalu meminta ridho الله تعالى , jangan sampai niat kita menyimpang.
Baarokallaahu fiikum insya Allah
#Kholifah/Amirulmukminin Syaikh Abdul Qadir Hasan Baraja حفظه الله تعالي
Langganan:
Postingan (Atom)
BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH
BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN
<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >> اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...

-
Data Biografi Drs. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid Saya Dapatkan Ini dari akun Facebook Beliau insya Allah Saya Terjemahkan Kedalam bahasa...
-
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah INDONESIA TITIK AWAL KEBANGKITAN ISLAM DUNIA Us...
-
Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah BAI'AT ADALAH TERMASUK SALAH SATU SYARI...