Rabu, 06 November 2019

SIKAP AHLUSSUNNAH TERHADAP MASALAH TAKFIR

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah bersama Khalifah Nya

https://goo.gl/search/%D8%A8%D8%B3%D9%85%D9%84%D8%A9
بسملة,


khilafatul muslimin juga mengikuti sebagaimana dasar-dasar yang ditetapkan oleh ulama ulama ahlussunnah Wal jamaah masalah takfir.


Hakikat Iman, Kufur Dan Takfir Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah Dan Menurut Firqah-Firqah Yang Sesat(2)


HAKIKAT IMAN, KUFUR, DAN TAKFIR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DAN MENURUT FIRQAH-FIRQAH YANG SESAT(2)
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
AWAL MUNCULNYA PENGKAFIRAN TANPA DALIL DI TENGAH-TENGAH UMMAT INI DAN BERBAGAI SEBABNYA
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Karenanya, wajib berhati-hati dalam mengkafirkan kaum Muslimin karena berbagai dosa dan kesalahan. Sebab hal itu adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam. Para pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah, dan harta mereka.”[1]
Kelompok yang pertama kali menampakkan pengkafiran tanpa haq (tanpa bukti yang benar) adalah Khawarij. Sebagian besar mereka, dahulunya adalah orang-orang yang bergabung bersama pasukan ‘Ali pada perang Shiffin. Maka tatkala ‘Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma bersepakat untuk melakukan tahkim (yaitu, mengangkat satu orang dari kedua belah pihak sebagai hakim atau penengah) –peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan 37 H– Khawarij mengingkari (menolak) perkara tahkim ini. Mereka melampaui batas dalam pengingkarannya terhadap ‘Ali. Mereka berkata kepadanya: “Engkau telah menjadikan manusia sebagai hakim terhadap Kitabullah, tidak ada hukum kecuali milik Allah,” kemudian secara terang-terangan mereka mengkafirkannya.[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada para sahabatnya mengenai Khawarij dan kemunculannya, dan beliau memotifasi mereka untuk memeranginya. Di dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari hadits ‘Ali Radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ، سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ، يَقُولُوْنَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ، لاَ يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيْتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ، فَإِنَّ فِيْ قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِِ.
Akan keluar suatu kaum di akhir zaman. Mereka berusia muda dan berpemahaman dangkal. Mereka berkata dengan perkataan sebaik-baik makhluk. Iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, laksana anak panah yang melesat menuju buruannya. Maka di mana saja kalian bertemu dengan mereka, bunuhlah mereka. Karena dalam pembunuhan mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi orang yang membunuhnya.[3]
Imam Abu Bakar al-Khallal rahimahullah membawakan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, bahwasanya beliau berkata: “Khawarij adalah satu kaum yang jelek. Aku tidak menyetujui adanya satu kaum yang lebih jelek daripadanya. Telah shahih hadits-hadits tentang mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari sepuluh jalan periwayatan hadits.”[4]
Khawarij adalah kelompok pertama yang dikenal dengan pengkafiran terhadap dosa besar dan pengkafiran terhadap umat Islam tanpa haq (bukti yang benar). Akan tetapi (hal ini) tidak terbatas pada mereka saja, bahkan kaum Rafidhah ikut dengan mereka, mereka lebih jelek daripada Khawarij –dalam hal pengkafiran dan selainnya dari berbagai keyakinan mereka– dimana mereka mengkafirkan orang-orang terpilih dari umat ini, yaitu para sahabat nabi. Mereka meyakini pemurtadan para sahabat (dengan sangkaan mereka) karena meninggalkan atau tidak memilih ‘Ali Radhiyallahu anhu sebagai khalifah.
Disebutkan dalam kitab al-Kafi (kitab induk Syi’ah) yang merupakan kitab paling shahih dan terpercaya menurut mereka, dari Abu Ja’far – ini hanya pengakuan mereka belaka– bahwasanya ia berkata, “Semua manusia menjadi murtad setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kecuali tiga orang”. Saya berkata,“Siapa tiga orang itu?” Ia menjawab,”Al-Miqdad bin al Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.”[5]
Rafidhah adalah ahlul bid’ah yang paling ekstrim dalam pengkafiran, sehingga mereka mengkafirkan setiap orang yang menyelisihinya; karena itulah mereka mengkafirkan sebagian besar para sahabat, Tabi’in dan seluruh imam pemuka agama. Mereka tidak bersikap wara’ (tidak berhati-hati) dalam hal ini, dan hal ini sudah masyhur bagi orang yang mengetahui ‘aqidah mereka serta menelaah kitab-kitab mereka.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,“Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, seluruh kaum Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, yaitu orang-orang yang telah Allah Ta’ala ridhai dan mereka ridha kepada Allah Ta’ala. Dan mereka mengkafirkan sebagian besar ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan orang-orang terdahulu dan kemudian.”[6]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Banyak dari kalangan ahlul bid’ah, seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan Mumatstsilah (Musyabbihah). Mereka berkeyakinan sesat, yang mereka anggap benar dan mereka berpendapat bahwa orang yang telah menyelisihi mereka adalah kafir.”[7]
PENGKAFIRAN YANG TERJADI  PADA ZAMAN INI DAN BERBAGAI SUMBERNYA[8]
Pada zaman ini, sungguh pemikiran takfir telah tersebar begitu dahsyat, melebihi apa yang pernah terjadi pada zaman sebelumnya. Di antara sumber dan sebab tersebarnya adalah, sebagian kelompok dakwah modern yang asasnya bukan Sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan bercampur aduk di dalamnya berbagai bid’ah dan kesesatan, baik dikarenakan buruknya tujuan pendirinya, maupun karena kebodohan mereka tentang agama.
Di antara hasil karya dari jama’ah-jama’ah itu, yaitu munculnya kitab-kitab yang diberi nama dengan “buku-buku pemikiran” yang telah merusak ‘aqidah sebagian besar kaum Muslimin dan menyimpang dari agama yang murni. Buku-buku tersebut memandang masyarakat Islam sekarang ini adalah masyarakat Jahiliyyah yang kafir, yang melemparkan (ajaran) Islam ke belakang dan memeluk kekufuran yang nyata; tidak ada seorang pun yang selamat dari hal itu, baik pemerintah, rakyat, laki-laki dan wanita, orang tua dan pemuda. Yaitu dari apa yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam keberadaan generasi sekarang ini yang terdidik di atas buku-buku ini, maka tumbuhlah di dalam jiwa mereka benih-benih pengkafiran secara umum terhadap masyarakat Islam sekarang ini, sehingga menjadi ‘aqidah yang menancap kuat bagi mereka dan menjadi keyakinan. Hal ini adalah fitnah yang besar dan menimbulkan berbagai kejelekan dan kerusakan di mana-mana.
Saya tidak bermaksud membatasi dan tidak juga memperluas dalam memberikan contoh mengenai apa yang terdapat dalam kitab-kitab ini, berupa ungkapan dan perkataan-perkataan dalam pengkafiran masyarakat Islam sekarang ini. Saya hanya mengisyaratkan pada sebagian contoh dan penguat terhadap apa yang terdapat dalam buku-buku Sayyid Quthb rahimahullah, karena ia adalah pemimpin yang dibesar-besarkan di kalangan Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang terpengaruh dengan manhaj mereka. Juga karena buku-bukunya paling banyak tersebar dan paling banyak memberikan pengaruh daripada selainnya. Sehingga sebagian orang yang menisbatkan diri kepada Sunnah, terkena fitnahnya (mengikuti manhaj Sayyid Quthb). Sesungguhnya kitab-kitab Ikhwanul Muslimin penuh dengan berbagai ibarat (ungkapan) yang mengkafirkan para pemimpin kaum Muslimin dan masyarakat Islam sekarang ini.[9]
Di antara ucapan Sayyid Quthb tentang pengkafiran masyarakat Islami sekarang ini tanpa terkecuali, terdapat dalam kitab Ma’alim fith-Thariq,”Hakikat permasalahannya adalah permasalahan kufur dan iman, permasalahan syirik dan Tauhid, dan permasalahan Jahiliyyah dan Islam; dan ini adalah hal yang harus jelas. Sesungguhnya manusia bukanlah kaum Muslimin -sebagaimana pengakuan mereka- dan mereka hidup di kehidupan Jahiliyyah. Apabila ada di antara mereka yang senang menipu dirinya sendiri atau menipu yang lainnya, lalu ia meyakini bahwa Islam dapat tegak dengan adanya Jahiliyyah ini, maka baginya hal itu. Akan tetapi, ketertipuannya atau penipuannya tidak mengubah sedikit pun hakikat kenyataan yang ada. Ini bukanlah Islam dan mereka bukanlah kaum Muslimin.”[10]
Sebagian pembesar pemimpin Ikhwanul Muslimin meyakini hal ini dan mereka menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka.
Al-Qardhawi berkata,”Pada fase ini telah muncul kitab-kitab asy-Syahid Sayyid Quthb yang menjelaskan fase terakhir dari pengkafirannya, yang berujung pada pengkafiran masyarakat, memutuskan hubungan dengan orang lain dan menyerukan jihad terhadap seluruh manusia.”[11]
‘Ali Juraisyah juga mengatakan, bahwa para takfiriyyin (orang yang gampang mengkafirkan orang lain), pada asalnya adalah dari kelompok Ikhwanul Muslimin, kemudian, mereka memisahkan diri dan mengkafirkan mereka (kelompok Ikhwanul Muslimin).
Sayyid Quthb berkata di dalam kitabnya, Fi Zhilalil Qur`an: “Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana mulanya. Datang agama ini dengan La ilaha illallah, sesungguhnya manusia telah murtad kepada penghambaan kepada hamba sampai pada penyimpangan agama. Mereka telah mundur ke belakang dari kalimat La ilaha illallah . . . manusia seluruhnya termasuk di dalamnya. Orang-orang yang mengumandangkan adzan di timur dan di barat dengan kalimat La ilaha illallah, tidak ada petunjuk, tidak ada kenyataan . . . mereka lebih berat dosanya dan lebih keras siksanya pada hari Kiamat, karena mereka telah murtad menuju penghambaan kepada manusia sesudah jelas petunjuk bagi mereka, dan sesudah mereka berada di dalam agama Allah Ta’ala.”[12]
SEBAB-SEBAB MUNCULNYA PENGKAFIRAN TANPA HAQ DI TENGAH-TENGAH UMMAT ISLAM[13]
1. Bodoh terhadap hakikat agama.
Bodoh tentang agama Islam merupakan sebab yang paling besar dari para takfiriyyun (orang-orang yang suka mengkafirkan) untuk mengkafirkan kaum Muslimin tanpa dalil dan tanpa hujjah dari syari’at.  Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Kebodohan adalah akar segala kerusakan dan kejahatan.”[14]
Ahlul bid’ah, mereka adalah, orang-orang yang bodoh dan zhalim. Sedangkan Ahlus Sunnah adalah orang yang berilmu, adil, dan sayang kepada makhluk.
2. Mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari nash-nash syar’i.
Takfiriyyun, mereka adalah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Padahal Allah Ta’ala melarang mengikuti hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [al-Maidah/5:49].
3. Takwil (penafsiran) yang rusak.
Takwil yang rusak adalah sebab yang hakiki, yang mendorong takfiriyyun mengkafirkan kaum Muslimin dengan tidak benar. Mereka menggunakan dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, kemudian mereka tafsirkan menurut hawa nafsu mereka. Para ulama mengatakan bahwa at-takwil adalah sebab setiap kejelekan dan fitnah di tengah ummat Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,”Khawarij mentakwilkan ayat-ayat al Qur`an, yang mereka meyakininya dan menjadikan orang yang menyalahinya adalah kafir.”[15]
4. Talbis (penyamaran) setan.
Sesungguhnya setan telah menggoda dan menipu takfiriyyin untuk mengkafirkan kaum Muslimin dengan tidak benar.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Majmu’ Fatawa’ (XIII/31).
[2] Lihat al-Farqu Bainal-Firaq (halaman 51-54), al-Bidayah wan-Nihayah (VII/295), Majmu’ Fatawa’ (XIII/208).
[3] HR al Bukhari (no. 6930) dan Muslim (no. 1066).
[4] As-Sunnah, Imam Abu Bakar al-Khallal (I/145).
[5] Ar-Raudhah minal Kafi (VIII/235-236).
[6] Majmu’ Fatawa’ (XXVIII/477).
[7] Majmu’ Fatawa’ (XII/466-467).
[8] Dinukil dengan ringkas dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Darul Imam al-Bukhari, Cetakan I Tahun 1426 H, halaman 37-40.
[9] At-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38.
[10] Ma’alim fith-Thariq, halaman 158. Dinukil dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38-39.
[11] Aulawiyyat Harakah Islamiyyah, halaman 110. Dinukil dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38-39.
[12] Tafsir fi Zhilalil-Qur`an (IV/2122), dinukil dari At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal. 39).
[13] Lihat At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal. 45-48).
[14] Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, halaman 101.
[15] Majmu’ Fatawa’ (XX/164
Dan Saya Selaku Warga Khilafatul Muslimin Pun Mengikuti Jejak Aqidah ASY  'ARIYYAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH DALAM KEHATI HATIAN TERKAIT MASALAH TAKFIR INI


Sikap mudah mengafirkan sesama muslim banyak berjangkit di kalangan umat. Yang paling menonjol adalah pengkafiran terhadap pemerintah muslim karena mereka tidak menerapkan hukum Islam. Tak sedikit di antara mereka yang menjadikan sikap ini sebagai tanda militan atau tidaknya seorang muslim. Siapa yang tidak mengafirkan pemerintah muslim yang tidak berhukum dengan hukum Islam, maka masih diragukan militansinya.

Sejarah Munculnya Fitnah Takfir
Bila menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudah (dalam) mengafirkan seorang muslim ini telah lama ada, yaitu dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Ia adalah fitnah yang telah lama ada, yang dicetuskan oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hlm. 12)
Mereka telah berani mengafirkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dan orang-orang yang bersamanya, mengafirkan orang-orang yang memerangi ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dalam Perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu), dan akhirnya mengafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, 12/296—297)

Sebab Munculnya Fitnah Takfir
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Sejauh apa yang saya pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara:
  1. Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.
  2. (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’i (tidak mengikuti Sabilul Mukminin, jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, –pen.).
Siapa saja menyimpang dari (jalan) jamaah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabdanya dan telah disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala (dalam al-Qur’an), ia telah menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Yang saya maksud adalah firman-Nya,

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥

“Dan barang siapa mengikuti selain jalan orang-orang mukmin[1], kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Kemudian beliau berkata, “Dari sinilah banyak sekali kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang dari jalan as-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hlm. 13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hlm. 19)
Demikian pula asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Zhahiratut- Tabdi’ wat-Tafsiq wat-Takfir wa Dhawabithuha, hlm. 14)

Kehati-hatian Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam Masalah Takfir
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah atau as-Salafiyyun adalah orang-orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir. Merekalah yang sejak dahulu hingga kini memerangi fitnah dan pemikiran tersebut. Kitab-kitab dan fatwa-fatwa para ulama cukup sebagai bukti dan saksi, sehingga sangat ironis apa yang diopinikan oleh musuh-musuh Islam bahwa motor dari fitnah takfir ini adalah as-Salafiyyun.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi diri agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Hendaknya berhatihati dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.” (ad-Durar as-Saniyyah, 8/217, dinukil dari at-Tahdzir Minat Tasarru’ fit Takfir karya Muhammad bin Nashir al-‘Uraini, hlm. 30)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pemberian vonis kafir dan fasiq bukan urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Karena ia termasuk hukum syariah yang referensinya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila al-Qur’an dan as-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Hukum asal bagi seorang muslim yang secara zahir tampak ciriciri keislamannya adalah tetap berada di atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i tentang adanya sesuatu yang menghapusnya. Tidak boleh bermudah-mudahan mengafirkan seorang muslim atau menghukuminya fasiq.” (al-Qawa’idul Mutsla fi Shifatillahi wa Asmaihil Husna, hlm. 87—88)
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah wal Jamaah sangat berbeda dengan orang-orang Khawarij (Jamaah Takfir). Namun hal ini tidak menjadikan mereka seperti Murji’ah yang menyatakan bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sama sekali terhadap keimanan seseorang. Ahlus Sunnah wal Jamaah akan menjatuhkan vonis kafir tersebut (dengan tegas) kepada seseorang, setelah benarbenar terpenuhi syarat-syaratnya[2] dan tidak ada lagi sesuatu yang dapat menghalangi dari vonis tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ada dua syarat[3] (yang harus diperhatikan) untuk memvonis kafir seorang muslim.
  1. Adanya dalil (syar’i) yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekafiran.
  2. Vonis ini harus diberikan (secara tepat) kepada yang berhak mendapatkannya, yaitu seseorang yang benar-benar mengerti (menyadari) bahwa apa yang ia kerjakan merupakan suatu kekafiran dan sengaja mengerjakannya. Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah kekafiran, ia tidak berhak divonis kafir[4]. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥

“Barang siapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِلَّ قَوۡمَۢا بَعۡدَ إِذۡ هَدَىٰهُمۡ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَۚ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga Dia jelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (at-Taubah: 115)

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا ١٥

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), ia tidak diberi uzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya. Sungguh, saat itu ia tidak mendapat uzur.
Namun, jika seseorang tidak bermaksud mengerjakan perbuatan kekafiran, ia tidak divonis kafir. Contohnya:
  • Seseorang yang dipaksa untuk melakukan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.[5]
  • Seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.”[6] Orang ini salah ucap karena sangat gembira.
Namun, bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama).[7] (Majmu’ Fatawa wa Rasail, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125—126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hlm. 70—71)

Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah subhanahu wa ta’ala?
Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Yang benar, berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala (dalam masalah tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya (maksudnya, karena condong kepada selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala, –pen.) ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah subhanahu wa ta’ala, kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam, –pen.).
Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak wajib—dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah subhanahu wa ta’ala—dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam, –pen.). Jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah subhanahu wa ta’ala lalu ia salah dalam memutuskannya, ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran, –pen.).” (Madarijus Salikin, 1/336—337)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat al-Maidah ayat 44, “Berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala termasuk perbuatan orang kafir, terkadang merupakan bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila disertai keyakinan tentang halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam –pen), namun ia pantas mendapatkan azab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hlm. 195)
Beliau juga berkata tentang tafsir Surat al-Maidah ayat 45, “Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, ‘Kufrun duna kufrin (kufur kecil, –pen.), zhulmun duna zhulmin (kezaliman kecil, –pen.), dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil, –pen.).’ Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman, -pen.) di saat ada unsur keyakinan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman, -pen.) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hlm. 196)
Asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kezaliman, dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala sebagai wujud penentangan terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala, maka kezaliman, kefasikan, dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, kekafiran, kezaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari Islam.” (Adhwa-ul Bayan, 2/104).
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala, ia tidak keluar dari empat keadaan:
  1. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,’ dia kafir dengan kekafiran yang besar.
  2. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,’ maka dia kafir dengan kekafiran yang
  3. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini, namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama, namun boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala,’ dia kafir dengan kekafiran yang besar.
  4. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini,’ namun dia yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan, berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya. Namun, dia bermudah-mudahan (dalam hal ini) atau dia kerjakan karena perintah atasannya, dia kafir dengan kekafiran kecil yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar.” (al-Hukmu Bighairima Anzalallahu wa Ushulut Takfir, hlm. 71—72, dinukil dari at-Tahdzir minat Tasarru’ fit Takfir, 21—22)

Mencermati Fenomena Takfir
Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis”, bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya.
Bahkan, fitnah ini pun dijadikan (oleh Jamaah Takfir dari berbagai jenisnya) sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan landasan bolehnya mengadakan pengeboman-pengeboman di negerinegeri kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Betapa ngerinya fitnah ini, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya, “Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya, ‘Wahai orang kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya. Namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” HR . Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, dan 5824)
Buku-buku para tokoh Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyah pun ternyata sangat berperan di dalam memicu berkembangnya fitnah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir al-‘Uraini berkata, “Sesungguhnya di antara media terkuat yang mereka gunakan untuk menyebarkan pemikiran menyimpang lagi menyesatkan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala ini adalah buku-buku yang dihiasi dengan judul-judul yang menarik untuk mengesankan kepada para pembaca bahwa buku itu baik padahal isinya racun yang mematikan.” (at-Tahdzir minat Tasarru’ fit Takfir, hlm. 51)
Di antaranya Sayyid Quthub dalam Ma’alim fith-ThariqFi Zhilalil Qur’anal-‘Adalah al-Ijtima’iyyah, ataupun al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.[8] Hal ini disaksikan oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, seperti:
  • Yusuf al-Qaradhawi, ia berkata, “Pada fase ini telah muncul buku-buku tulisan Sayyid Quthub yang merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran masyarakat dan…, yang demikian itu tampak jelas dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an cetakan ke-2, Ma’alim Fith Thariq yang kebanyakannya diambil dari azh-Zhilal, dan al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.” (Aulawiyyatul Harakah Al-Islamiyyah, hlm. 110. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hlm. 102)
  • Farid Abdul Khaliq, ia berkata, “Telah kami singgung dalam pernyataan yang lalu bahwa pemikiran takfir (dewasa ini) bermula dari sebagian pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang meringkuk di LP al-Qanathir di akhir-akhir tahun lima puluhan dan awal-awal tahun enam puluhan, yang mana mereka terpengaruh dengan pemikiran Sayyid Quthub dan karya-karya tulisnya. Mereka menimba dari karya-karya tulis tersebut bahwa masyarakat ini berada dalam kejahiliahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan mereka terhadap selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala” (al-Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq, hlm. 115. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hlm.103)
Demikian pula tulisan-tulisan Abul A’la al-Maududi dalam al-Usus al-Akhlaqiyyah lil Harakah al-Islamiyyah[9], Muhammad Surur Zainal Abidin dalam Majalah as-Sunnah dan Manhajul Anbiya fid Da’wati Ilallah, Safar al-Hawali dalam Wa’d Kissinger, Salman al-‘Audah dalam kaset Limadza Yakhafuna minal Islam? Humum Fataat Multazimah, Minhuna… Wahunaka[10], dan sebagainya.
Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk menjauhkan diri dari buku-buku dan kaset-kaset tersebut, serta berusaha untuk menimba ilmu dari buku-buku dan kaset-kaset para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bersih dari berbagai syubhat dan pemikiran menyimpang. Demikian pula toko-toko buku hendaknya tidak lagi menjual buku-buku tersebut, sebagaimana yang diserukan oleh asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali di dalam kitabnya al-Irhab wa Atsaruhu ‘Alal Afrad wal Umam, hlm. 128—142.
Di antara hal lain yang perlu dijadikan refleksi adalah tidak dipahaminya perbedaan antara takfir secara mutlak (umum) dengan takfir mu’ayyan (untuk orang tertentu), yang berakibat setiap ada yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran langsung divonis sebagai orang kafir dan dinyatakan telah keluar dari Islam.
Para ulama rahimahumullah membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu’ayyan. Mereka seringkali menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti, “Barang siapa mengatakan atau melakukan perbuatan demikian dan demikian, maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya).” Namun, ketika masuk kepada takfir mu’ayyan (untuk orang-orang tertentu), mereka sangat berhati-hati. Karena tidak semua yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran berhak divonis kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Suatu perkataan kadangkala termasuk bentuk kekafiran, maka pelakunya boleh dikafirkan secara umum, dengan dikatakan, ‘Barang siapa mengatakan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya, –pen.).’ Namun untuk pribadi orang yang mengatakannya tidaklah langsung divonis kafir sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujah.” (Fitnatut Takfir, hlm. 49)
Beliau juga berkata, “Tidaklah setiap yang mengatakan kekafiran harus divonis kafir, sampai benar-benar terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi vonis tersebut. Misalnya seorang yang menyatakan, ‘Sesungguhnya khamr atau riba itu halal,’ karena ia baru masuk Islam (belum tahu ilmunya, –pen.), atau hidup di daerah terpencil (tidak tersentuh dakwah, –pen.). Demikian pula mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu bahwa itu dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…, (orang yang demikian) tidak dikafirkan sampai benar-benar disampaikan kepadanya hujah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ

Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.’ (an-Nisa: 165)
Allah telah mengampuni segala kekeliruan dan kealpaan umat ini.” (Majmu’ Fatawa, 35/165—166)
Demikianlah fenomena fitnah takfir dan bahayanya, berikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menganugerahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita, serta melindungi kita semua dari berbagai fitnah, baik yang tampak maupun tidak.
Amiin, Ya Mujiibas Sailiin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

[1] Al-Imam Ibnu Abi Jamrah al-Andalusi berkata, “Para ulama telah menjelaskan makna firman Allah (di atas), ‘Sesungguhnya yang dimaksud orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama dari umat ini…’.” (al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah hlm. 36)
[2] Syarat-syarat dikafirkannya pelaku perbuatan kekafiran ada empat (lihat Mauqif Ahlis Sunnah): (1) Orang tersebut berakal; (2) Kekafiran tersebut terjadi dengan keinginannya; (3) Telah sampai kepadanya hujah yang dengan menyelisihinya dia dikafirkan; (4) Dia melakukannya bukan karena takwil terhadap nash. Tidak terpenuhinya salah satu dari syarat di atas menghalangi dia dikafirkan.
[3] Syarat di sini ialah syarat terhadap perbuatan atau ucapan kekafiran itu.
[4] Sementara itu, dalam Syarh Kasyfisy Syubuhat (hlm. 57-58), asy-Syakh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa tidak dipersyaratkan ia harus tahu bahwa hal itu adalah kekafiran. Bahkan, cukup apabila ia tahu bahwa perkara itu terlarang (haram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kaffarah terhadap pelaku jima’ pada siang hari bulan Ramadhan apabila ia tahu bahwa hal itu haram meski ia tidak tahu adanya kaffarah. Begitu pula pezina yang muhshan (telah menikah) dihukum rajam apabila ia tahu tentang keharamannya meski dia tidak tahu adanya hukum rajam.
[5] Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat an-Nahl ayat 106.
[6] HR. Muslim no. 2747 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
[7] Dalilnya adalah surat at-Taubah ayat 65-66.
[8] Lihat bantahannya dalam kitab Adhwa Islamiyah ‘ala Aqidati Sayyid Quthub wa Fikrihi karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali (hlm. 71-107).
[9] Lihat bantahannya dalam kitab Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallah fihil Hikmatu wal ‘Aqlu karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali (hlm. 139-152).
[10] Lihat bantahannya dalam kitab al-Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (hlm. 86-100).

Rabu, 23 Oktober 2019

Hukum Allah SWT Dan Surat Himbauan Kholifah

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah BERSAMA KHOLIFAH Nya


KAJIAN TENTANG HUKUM ALLAH VS HUKUM MANUSIA – KITAB AL-IRSYAD ILA SHAHIHIL I’TIQAD
Sudah kita terangkan, syirik dalam hal ketaatan maknanya adalah mentaati aturan selain Allah yang bertolak-belakang dengan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala sekalipun aturan itu ditetapkan oleh ulama, oleh Kiyai, oleh manusia yang kita anggap suci, yang kita anggap luar biasa, tapi isi fatwa, isi aturannya, isi ketetapannya, bertolak-belakang dengan ayat, dengan hadits, lalu kita meninggalkan ayat, meninggalkan hadits dan berpegang-teguh kepada pendapat manusia tadi. Ini termasuk syirik di bidang ketaatan, serupa dengan orang orang Nasrani yang oleh Allah ‘Azza wa Jalla dikatakan, “orang-orang Nasrani itu menjadikan rahib-rahib mereka, pendeta-pendeta mereka sebagai sebagai sesembahan disamping Allah.”

Baca Juga:
Berdoa Hanya kepada Allah Ta'ala (Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas)
Yang dimaksud dengan ibadahnya mereka kepada pendeta, bukan dengan cara menyembah-menyembah ruku’, sujud kepada pendeta, tapi dalam bentuk taat patuh kepada aturan pendeta yang bertolak belakang dengan aturan Allah, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini yang disebut dengan syirik dibidang ketaatan.

Syirik, kita tahu maknanya menduakan Allah dalam hal kesehatan artinya mentaati selain aturan Allah yang bertolak belakang dengan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Padahal berhukum kepada syariat Allah, bukan semata-mata untuk menegakkan keadilan. Hukum Allah adalah hukum teradil, hukum Allah itu pasti benar. Bukan semata-mata di sana, tapi lebih dari itu yaitu sebagai bentuk menunaikan hak Allah atas diri kita.

Berkata Syaikah Shalih Fauzan Hafidzahullahu Ta’ala bahwa berhukum kepada syariat Allah, mentaati aturan Allah, bukan hanya untuk meraih keadilan semata-mata. Tetapi lebih dari itu yaitu lebih tinggi derajatnya dari mencari sekedar keadilan. Yaitu beribadah kepada Allah dengan cara mentaati seluruh aturanNya, itu hak Allah yang wajib kita tunaikan, itulah aqidah kita, keyakinan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa orang yang berhukum kepada hukum yang bukan syariat Allah, hukum yang dibuat-buat oleh manusia, aturan manusia yang isinya bertolak belakang dengan aturan Allah lalu ditaati, maka orang tersebut telah menjadikan pembuat aturan itu sebagai serikat atau sekutu bagi Allah dalam hal ketaatan dan penetapan hukum. Allah berfirman dalam surat Asy-Syura ayat 21:

Baca Juga:
Ihsan kepada Masyarakat - Aktualisasi Akhlak Muslim (Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary, M.A.)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّـهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٢١﴾

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Asy-Syura[42]: 21)

Allah menafikan adanya iman dalam diri seseorang seperti itu. Menafikan itu menyatakan tidak ada iman, kalau orang itu berhukum dengan hukum Allah. Tapi di waktu yang bersamaan, berhukum dengan hukum buatan manusia yang salah satu poin atau beberapa poin dari buatan manusia itu menyimpang dari hukum buatan Allah. Dalam hal yang menguntungkannya pilih aturan Allah, dalam hal yang merugikan pilih aturan yang lain yang menguntungkan dirinya. Allah menyindir orang seperti itu dalam Al-Quran:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa[4]: 60)

Baca Juga:
Pengaruh Makanan Halal terhadap Kebersihan Jiwa (Ustadz Junaedi 'Abdillah)
Hukum thaghut itu hukum yang selain hukum Allah. Padahal mereka sudah diperintahkan untuk kufur kepada thaghut tersebut. Ini teguran Allah ‘Azza wa Jalla. Mengaku beriman kepada Al-Qur’an, kepada hadits, mengaku beriman kepada syariat Islam, tapi kok menyeru orang dan menjadikan diri sebagai pelopor untuk menghukumi segala perkara dengan hukum selain aturan Allah ‘Azza wa Jalla.

Di dalam surah An-Nisa ayat 65 Allah berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٦٥﴾

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa[4]: 65)

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
SURAT NASEHAT DAN HIMBAUAN
Telah berlalu belasan tahun ke-Kholifahan Islam (Khilafatul Muslimin) dimaklumatkan(terlampir) dan untuk kesekian kalinya pada bulan suci Romadhon tahun ini(1437 H) kami sampaikan pada segenap komponen bangsa melalui instansi sipil maupun militer dan seluruh ormas /orpol Islam serta kaum muslimin pada umumnya bahwa kerusakan moral di berbagai dimensi telah sangat memperihatinkan orang-orang yang beriman, sementara kaum muslimin dilanda oleh perpecahan atas nama golongan-golongan Islam, sehingga ketentuan-ketentuan hukum Allah dan Rosul-Nya tidak dapat ditegakkan.

Marilah kita sadari bahwa Allah telah mengancam hamba-Nya yang berpecah-belah dan enggan bersatu apalagi yang menolak syariat, dengan ancaman api Neraka. Sesungguhnya janji dan ancaman Allah itu pasti (Surga itu pasti dan Neraka pun pasti). Akan beranikah seorang hamba yang mengaku beriman menolak ketentuan hukum Allah karena membenarkan sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rosul-Nya?

Adapun terhadap non-muslim kita permaklumkan, bahwa bukanlah aturan buatan manusia /menurut kepandaian orang-orang yang mengaku beriman yang kita kehendaki, akan tetapi aturan Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana Pencipta alam semesta ini yang ingin kita tegakkan berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, dimana secara pasti memerdekakan setiap hamba-Nya untuk menerapkan ajaran agamanya masing-masing berdasarkan kitab yang diyakini kebenarannya. Sungguh Allah itu Maha Kasih Sayang terhadap makhluknya. Maka, jika manusia menginginkan kehidupan sejahtera lahir batin dan mendapatkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, tidaklah terdapat solusinya melainkan hanya dengan kembali bernaung dibawah ketentuan syariat Allah itu sendiri. Firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al A’raf : 96).

Mustahil kiranya akan terdapat aturan hukum di muka bumi ini yang lebih adil dan lebih bijaksana daripada aturan /hukum Allah sampai kapanpun; sebab tidak ada manusia yang lebih hebat dan lebih bijaksana daripada Allah dan Rosul-Nya. Sadarilah bahwa warga Khilafatul Muslimin bukan berambisi kepemimpinan sebab hanya menghendaki keselamatan ummat di negeri yang kita cintai ini melalui kepemimpinan mereka dibawah naungan Islam (rahmatan lil’ alamin) dengan mendapatkan dukungan ABRI yang kuat dan tangguh, demi keutuhan bangsa dan kesejahteraan ummat. Bukankah di dalam negeri kita masih banyak Ulama dan para Cendikiawan?

Semoga para pemimpin bangsa dapat mengutamakan pembelaan terhadap bangsa dan negara demi keselamatan dunia dan akhirat, bukan membela bangsa dan negara dengan menolak /menentang ketentuan hukum Allah dan Rosul-Nya yang diancam Neraka Jahannam. Waspadailah politik adu domba dikalangan kaum muslimin yang disponsori oleh kaum Yahudi sejak jaman dahulu kala sehingga ummat Islam terpecah belah dan gontok-gontokan sesamanya sehingga hilang lenyap kesatuan mereka.

Bersatulah…………….. Bersatulah……………..Bersatulah!  Allahu Akbar !

Bandar Lampung, 01 Ramadhan 1437 H / 06 Juni 2016 M

Khalifah / Amirul Mu’minin

Abdul Qadir Hasan Baraja’

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ في تفسير إبن كثير

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah Bersama Khalifah Nya


وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)

وهذا أيضا مما وبخت به اليهود وقرعوا عليه ، فإن عندهم في نص التوراة : أن النفس بالنفس . وهم يخالفون ذلك عمدا وعنادا ، ويقيدون النضري من القرظي ، ولا يقيدون القرظي من النضري ، بل يعدلون إلى الدية ، كما خالفوا حكم التوراة المنصوص عندهم في رجم الزاني المحصن ، وعدلوا إلى ما اصطلحوا عليه من الجلد والتحميم والإشهار ; ولهذا قال هناك : ( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ) لأنهم جحدوا حكم الله قصدا منهم وعنادا وعمدا ، وقال هاهنا : ( فأولئك هم الظالمون ) لأنهم لم ينصفوا المظلوم من الظالم في الأمر الذي أمر الله بالعدل والتسوية بين الجميع فيه ، فخالفوا وظلموا ، وتعدى بعضهم على بعض .
وقال الإمام أحمد : حدثنا يحيى بن آدم حدثنا ابن المبارك عن يونس بن يزيد عن أبي علي بن يزيد - أخي يونس بن يزيد - عن الزهري عن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأها : ( وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين ) نصب النفس ورفع العين .
وكذا رواه أبو داود والترمذي والحاكم في مستدركه ، من حديث عبد الله بن المبارك وقال الترمذي : حسن غريب .
وقال البخاري : تفرد ابن المبارك بهذا الحديث .
وقد استدل كثير ممن ذهب من الأصوليين والفقهاء إلى أن شرع من قبلنا شرع لنا ، إذا حكي مقررا ولم ينسخ ، كما هو المشهور عن الجمهور ، وكما حكاه الشيخ أبو إسحاق الاسفراييني عن نص الشافعي وأكثر الأصحاب بهذه الآية ، حيث كان الحكم عندنا على وفقها في الجنايات عند جميع الأئمة .
وقال الحسن البصري : هي عليهم وعلى الناس عامة . رواه ابن أبي حاتم .
وقد حكى الشيخ أبو زكريا النووي في هذه المسألة ثلاثة أوجه ثالثها : أن شرع إبراهيم حجة دون غيره ، وصحح منها عدم الحجية ، ونقلها الشيخ أبو إسحاق الاسفراييني أقوالا عن الشافعي ورجح أنه حجة عند الجمهور من
أصحابنا ، فالله أعلم.

Baca Juga Terkait Masalah Ushul Tsalatsah, Syarat-syarat Sholat Dan Qoidah Al Arba' Berikut Dalilnya

وقد حكى الإمام أبو نصر بن الصباغ رحمه الله ، في كتابه " الشامل " إجماع العلماء على الاحتجاج بهذه الآية على ما دلت عليه ، وقد احتج الأئمة كلهم على أن الرجل يقتل بالمرأة بعموم هذه الآية الكريمة ، وكذا ورد في الحديث الذي رواه النسائي وغيره : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب في كتاب عمرو بن حزم : " أن الرجل يقتل بالمرأة " وفي الحديث الآخر : " المسلمون تتكافأ دماؤهم " وهذا قول جمهور العلماء .
وعن أمير المؤمنين علي بن أبي طالب أن الرجل إذا قتل المرأة لا يقتل بها ، إلا أن يدفع وليها إلى أوليائه نصف الدية ; لأن ديتها على النصف من دية الرجل ، وإليه ذهب أحمد في روايته [ عنه ] وحكي [ هذا ] عن الحسن [ البصري ] وعطاء وعثمان البتي ورواية عن أحمد [ به ] أن الرجل إذا قتل المرأة لا يقتل بها ، بل تجب ديتها .
وهكذا احتج أبو حنيفة رحمه الله تعالى ، بعموم هذه الآية على أنه يقتل المسلم بالكافر الذمي ، وعلى قتل الحر بالعبد ، وقد خالفه الجمهور فيهما ، ففي الصحيحين عن أمير المؤمنين علي رضي الله عنه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لا يقتل مسلم بكافر " وأما العبد فعن السلف في آثار متعددة : أنهم لم يكونوا يقيدون العبد من الحر ، ولا يقتلون حرا بعبد ، وجاء في ذلك أحاديث لا تصح ، وحكى الشافعي الإجماع على خلاف قول الحنفية في ذلك ، ولكن لا يلزم من ذلك بطلان قولهم إلا بدليل مخصص للآية الكريمة .
ويؤيد ما قاله ابن الصباغ من الاحتجاج بهذه الآية الكريمة الحديث الثابت في ذلك ، كما قال الإمام أحمد :
حدثنا محمد بن أبي عدي حدثنا حميد عن أنس بن مالك : أن الربيع عمة أنس كسرت ثنية جارية ، فطلبوا إلى القوم العفو ، فأبوا ، فأتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : " القصاص " . فقال أخوها أنس بن النضر : يا رسول الله ، تكسر ثنية فلانة ؟! فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " يا أنس ، كتاب الله القصاص " . قال : فقال : لا والذي بعثك بالحق ، لا تكسر ثنية فلانة . قال : فرضي القوم ، فعفوا وتركوا القصاص ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " إن من عباد الله من لو أقسم على الله لأبره " .
أخرجاه في الصحيحين وقد رواه محمد بن عبد الله بن المثنى الأنصاري في الجزء المشهور من حديثه ، عن حميد عن أنس بن مالك أن الربيع بنت النضر عمته لطمت جارية فكسرت ثنيتها فعرضوا عليهم الأرش ، فأبوا فطلبوا الأرش والعفو فأبوا ، فأتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فأمرهم بالقصاص ، فجاء أخوها أنس بن النضر فقال : يا رسول الله أتكسر ثنية الربيع ؟ والذي بعثك بالحق لا تكسر ثنيتها . فقال النبي صلى الله عليه وسلم : " يا أنس ، كتاب الله القصاص " . فعفا القوم ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " إن من عباد الله من لو أقسم على الله لأبره " . رواه البخاري عن الأنصاري . فأما الحديث الذي رواه أبو داود :
حدثنا أحمد بن حنبل حدثنا معاذ بن هشام حدثنا أبي ، عن قتادة عن أبي نضرة عن عمران بن حصين أن غلاما لأناس فقراء قطع أذن غلام لأناس أغنياء ، فأتى أهله النبي صلى الله عليه وسلم فقالوا : يا رسول الله ، إنا أناس فقراء ، فلم يجعل عليه شيئا . وكذا رواه النسائي عن إسحاق ابن راهويه عن معاذ بن هشام الدستوائي عن أبيه عن قتادة به ، وهذا إسناد قوي رجاله كلهم ثقات فإنه حديث مشكل ، اللهم إلا أن يقال : إن الجاني كان قبل البلوغ ، فلا قصاص عليه ، ولعله تحمل أرش ما نقص من غلام الأغنياء عن الفقراء ، أو استعفاهم عنه .
وقوله تعالى : ( والجروح قصاص ) قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس قال : تقتل النفس بالنفس ، وتفقأ العين بالعين ، ويقطع الأنف بالأنف ، وتنزع السن بالسن ، وتقتص الجراح بالجراح .
فهذا يستوي فيه أحرار المسلمين [ به ] فيما بينهم ، رجالهم ونساؤهم ، إذا كان عمدا في النفس وما دون النفس ، ويستوي فيه العبيد رجالهم ونساؤهم فيما بينهم إذا كان عمدا ، في النفس وما دون النفس ، رواه ابن جرير وابن أبي حاتم .
الجراح تارة تكون في مفصل ، فيجب فيه القصاص بالإجماع ، كقطع اليد والرجل والكف والقدم ونحو ذلك . وأما إذا لم تكن الجراح في مفصل بل في عظم ، فقال مالك رحمه الله : فيه القصاص إلا في الفخذ وشبهها ; لأنه مخوف خطر . وقال أبو حنيفة وصاحباه : لا يجب القصاص في شيء من العظام إلا في السن . وقال الشافعي : لا يجب القصاص في شيء من العظام مطلقا ، وهو مروي عن عمر بن الخطاب وابن عباس . وبه يقول عطاء والشعبي والحسن البصري والزهري وإبراهيم النخعي وعمر بن عبد العزيز . وإليه ذهب سفيان الثوري والليث بن سعد . وهو المشهور من مذهب الإمام أحمد .
وقد احتج أبو حنيفة رحمه الله ، بحديث الربيع بنت النضر على مذهبه أنه لا قصاص في عظم إلا في السن . وحديث الربيع لا حجة فيه ; لأنه ورد بلفظ : " كسرت ثنية جارية " وجائز أن تكون سقطت من غير كسر ، فيجب القصاص - والحالة هذه - بالإجماع . وتمموا الدلالة . بما رواه ابن ماجه من طريق أبي بكر بن عياش عن دهثم بن قران عن نمران بن جارية عن أبيه جارية بن ظفر الحنفي أن رجلا ضرب رجلا على ساعده بالسيف من غير المفصل ، فقطعها ، فاستعدى النبي صلى الله عليه وسلم ، فأمر له بالدية ، فقال : يا رسول الله ، أريد القصاص . فقال : " خذ الدية ، بارك الله لك فيها " . ولم يقض له بالقصاص .
وقال الشيخ أبو عمر بن عبد البر : ليس لهذا الحديث غير هذا الإسناد ودهثم بن قران العكلي ضعيف أعرابي ، ليس حديثه مما يحتج به ونمران بن جارية ضعيف أعرابي أيضا ، وأبوه جارية بن ظفر مذكور في الصحابة .
ثم قالوا : لا يجوز أن يقتص من الجراحة حتى تندمل جراحه المجني عليه ، فإن اقتص منه قبل الاندمال ثم زاد جرحه ، فلا شيء له ، والدليل على ذلك ما رواه الإمام أحمد : حدثنا يعقوب حدثنا أبي ، عن محمد بن إسحاق فذكر حديثا ، قال ابن إسحاق : وذكر عمرو بن شعيب عن أبيه ، عن جده ; أن رجلا طعن رجلا بقرن في ركبته ، فجاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : أقدني . فقال صلى الله عليه وسلم : " لا تعجل حتى يبرأ جرحك " . قال : فأبى الرجل إلا أن يستقيد ، فأقاده رسول الله صلى الله عليه وسلم منه ، قال : فعرج المستقيد وبرأ المستقاد منه ، فأتى المستقيد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له : يا رسول الله ، عرجت وبرأ صاحبي . فقال : " قد نهيتك فعصيتني ، فأبعدك الله وبطل عرجك " . ثم نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يقتص من جرح حتى يبرأ صاحبه . تفرد به أحمد .
فلو اقتص المجني عليه من الجاني ، فمات من القصاص ، فلا شيء عليه عند مالك والشافعي وأحمد بن حنبل وهو قول الجمهور من الصحابة والتابعين وغيرهم . وقال أبو حنيفة : تجب الدية في مال المقتص . وقال عامر الشعبي وعطاء وطاوس وعمرو بن دينار والحارث العكلي وابن أبي ليلى وحماد بن أبي سليمان والزهري والثوري : تجب الدية على عاقلة المقتص له . وقال ابن مسعود وإبراهيم النخعي والحكم بن عتيبة وعثمان البتي : يسقط عن المقتص له قدر تلك الجراحة ، ويجب الباقي في ماله .
وقوله : ( فمن تصدق به فهو كفارة له ) قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس : ( فمن تصدق به فهو كفارة له ) يقول : فمن عفا عنه ، وتصدق عليه فهو كفارة للمطلوب ، وأجر للطالب .
وقال سفيان الثوري عن عطاء بن السائب عن سعيد بن جبير عن ابن عباس : ( فمن تصدق به فهو كفارة له ) قال : كفارة للجارح ، وأجر المجروح على الله عز وجل . رواه ابن أبي حاتم ثم قال : وروي عن خيثمة بن عبد الرحمن ومجاهد وإبراهيم - في أحد قوليه - وعامر الشعبي وجابر بن زيد - نحو ذلك الوجه الثاني ، ثم قال ابن أبي حاتم :
حدثنا حماد بن زاذان حدثنا حرمي - يعني ابن عمارة - حدثنا شعبة عن عمارة - يعني ابن أبي حفصة - عن رجل ، عن جابر بن عبد الله في قول الله عز وجل ( فمن تصدق به فهو كفارة له ) قال : للمجروح . وروى عن الحسن البصري وإبراهيم النخعي - في أحد قوليه - وأبي إسحاق الهمداني نحو ذلك .
وروى ابن جرير عن عامر الشعبي وقتادة مثله .
وقال ابن أبي حاتم : حدثنا يونس بن حبيب حدثنا أبو داود الطيالسي حدثنا شعبة عن قيس - يعني بن مسلم - قال : سمعت طارق بن شهاب يحدث ، عن الهيثم أبي العريان النخعي قال : رأيت عبد الله بن عمرو عند معاوية أحمر شبيها بالموالي ، فسألته عن قول الله [ عز وجل ] ( فمن تصدق به فهو كفارة له ) قال : يهدم عنه من ذنوبه بقدر ما تصدق به .
وهكذا رواه سفيان الثوري عن قيس بن مسلم . وكذا رواه ابن جرير من طريق سفيان وشعبة .
وقال ابن مردويه : حدثني محمد بن علي ، حدثنا عبد الرحيم بن محمد المجاشعي حدثنا محمد بن أحمد بن الحجاج المهري حدثنا يحيى بن سليمان الجعفي حدثنا معلى - يعني ابن هلال - أنه سمع أبان بن تغلب عن أبي العريان الهيثم بن الأسود عن عبد الله بن عمرو - وعن أبان بن تغلب عن الشعبي عن رجل من الأنصار عن النبي صلى الله عليه وسلم في قوله : ( فمن تصدق به فهو كفارة له ) قال : هو الذي تكسر سنه ، أو تقطع يده ، أو يقطع الشيء منه ، أو يجرح في بدنه فيعفو عن ذلك ، وقال فيحط عنه قدر خطاياه ، فإن كان ربع الدية فربع خطاياه ، وإن كان الثلث فثلث خطاياه ، وإن كانت الدية حطت عنه خطاياه كذلك .
ثم قال ابن جرير : حدثنا زكريا بن يحيى بن أبي زائدة حدثنا ابن فضيل عن يونس بن أبي إسحاق عن أبي السفر قال : دفع رجل من قريش رجلا من الأنصار فاندقت ثنيته ، فرفعه الأنصاري إلى معاوية فلما ألح عليه الرجل قال : شأنك وصاحبك . قال : وأبو الدرداء عند معاوية فقال أبو الدرداء : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : " ما من مسلم يصاب بشيء من جسده ، فيهبه ، إلا رفعه الله به درجة ، وحط عنه به خطيئة " . فقال الأنصاري : أنت سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ فقال : سمعته أذناي ووعاه قلبي ، فخلى سبيل القرشي ، فقال معاوية : مروا له بمال .
هكذا رواه ابن جرير ورواه الإمام أحمد فقال : حدثنا وكيع حدثنا يونس بن أبي إسحاق عن أبي السفر قال : كسر رجل من قريش سن رجل من الأنصار فاستعدى عليه معاوية فقال القرشي : إن هذا دق سني ؟ قال معاوية : إنا سنرضيه . فألح الأنصاري ، فقال معاوية : شأنك بصاحبك وأبو الدرداء جالس ، فقال أبو الدرداء سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : " ما من مسلم يصاب بشيء في جسده ، فيتصدق به ، إلا رفعه الله به درجة أو حط عنه بها خطيئة " . فقال الأنصاري : فإني ، يعني : قد عفوت .
وهكذا رواه الترمذي من حديث ابن المبارك وابن ماجه من حديث وكيع كلاهما عن يونس بن أبي إسحاق به ، ثم قال الترمذي : غريب لا نعرفه إلا من هذا الوجه ، ولا أعرف لأبي السفر سماعا من أبي الدرداء .
وقال [ أبو بكر ] بن مردويه : حدثنا دعلج بن أحمد حدثنا محمد بن علي بن زيد حدثنا سعيد بن منصور حدثنا سفيان عن عمران بن ظبيان عن عدي بن ثابت ; أن رجلا هتم فمه رجل ، على عهد معاوية رضي الله عنه ، فأعطي دية ، فأبى إلا أن يقتص ، فأعطي ديتين ، فأبى ، فأعطي ثلاثا ، فأبى ، فحدث رجل من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " من تصدق بدم فما دونه ، فهو كفارة له من يوم ولد إلى يوم يموت " .
وقال الإمام أحمد : حدثنا سريج بن النعمان حدثنا هشيم عن المغيرة عن الشعبي أن عبادة بن الصامت قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : " ما من رجل يجرح من جسده جراحة ، فيتصدق بها ، إلا كفر الله عنه مثل ما تصدق به .
ورواه النسائي عن علي بن حجر عن جرير بن عبد الحميد ورواه ابن جرير عن محمود بن خداش عن هشيم كلاهما عن المغيرة به .
وقال الإمام أحمد : حدثنا يحيى بن سعيد القطان عن مجالد عن عامر عن المحرر بن أبي هريرة عن رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال : " من أصيب بشيء من جسده ، فتركه لله ، كان كفارة له " .
وقوله : ( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون ) قد تقدم عن طاوس وعطاء أنهما قالا كفر دون كفر ، وظلم دون ظلم ، وفسق دون فسق .

تفسير من لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah Bersama Khalifah Nya.

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِن كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)

ثم مدح التوراة التي أنزلها على عبده ورسوله موسى بن عمران فقال : ( إنا أنزلنا التوراة فيها هدى ونور يحكم بها النبيون الذين أسلموا للذين هادوا ) أي : لا يخرجون عن حكمها ولا يبدلونها ولا يحرفونها ( والربانيون والأحبار ) أي : وكذلك الربانيون منهم وهم العباد العلماء ، والأحبار وهم العلماء ( بما استحفظوا من كتاب الله ) أي : بما استودعوا من كتاب الله الذي أمروا أن يظهروه ويعملوا به ( وكانوا عليه شهداء فلا تخشوا الناس واخشون ) أي : لا تخافوا منهم وخافوني ( ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ) فيه قولان سيأتي بيانهما .
سبب آخر لنزول هذه الآيات الكريمة .
قال الإمام أحمد : حدثنا إبراهيم بن العباس حدثنا عبد الرحمن بن أبي الزناد عن أبيه ، عن عبيد الله بن عبد الله عن ابن عباس قال : إن الله أنزل : ( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ) و ( فأولئك هم الظالمون ) [ المائدة : 45 ] ( فأولئك هم الفاسقون ) [ المائدة : 47 ] قال : قال ابن عباس : أنزلها الله في الطائفتين من اليهود كانت إحداهما قد قهرت الأخرى في الجاهلية ، حتى ارتضوا أو اصطلحوا على أن كل قتيل قتلته العزيزة من الذليلة فديته خمسون وسقا ، وكل قتيل قتلته الذليلة من العزيزة فديته مائة وسق ، فكانوا على ذلك حتى قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة ، فذلت الطائفتان كلتاهما ، لمقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ويومئذ لم يظهر ، ولم يوطئهما عليه ، وهو في الصلح ، فقتلت الذليلة من العزيزة قتيلا فأرسلت العزيزة إلى الذليلة : أن ابعثوا لنا بمائة وسق ، فقالت الذليلة : وهل كان هذا في حيين قط دينهما واحد ، ونسبهما واحد ، وبلدهما واحد : دية بعضهم نصف دية بعض . إنما أعطيناكم هذا ضيما منكم لنا ، وفرقا منكم ، فأما إذ قدم محمد فلا نعطيكم ذلك ، فكادت الحرب تهيج بينهما ، ثم ارتضوا على أن يجعلوا رسول الله صلى الله عليه وسلم بينهم ، ثم ذكرت العزيزة فقالت : والله ما محمد بمعطيكم منهم ضعف ما يعطيهم منكم ولقد صدقوا ، ما أعطونا هذا إلا ضيما منا وقهرا لهم ، فدسوا إلى محمد : من يخبر لكم رأيه ، إن أعطاكم ما تريدون حكمتموه وإن لم يعطكم حذرتم فلم تحكموه . فدسوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ناسا من المنافقين ليخبروا لهم رأي رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما جاءوا رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبر الله رسوله صلى الله عليه وسلم بأمرهم كله ، وما أرادوا ، فأنزل الله تعالى : ( يا أيها الرسول لا يحزنك الذين يسارعون في الكفر ) إلى قوله : ( الفاسقون ) ففيهم - والله - أنزل ، وإياهم عنى الله عز وجل .
ورواه أبو داود من حديث ابن أبي الزناد عن أبيه ، بنحوه .
وقال أبو جعفر بن جرير : حدثنا هناد بن السري وأبو كريب قالا : حدثنا يونس بن بكير عن محمد بن إسحاق حدثني داود بن الحصين عن عكرمة عن ابن عباس أن الآيات في " المائدة " ، قوله : ( فاحكم بينهم أو أعرض عنهم ) إلى ( المقسطين ) إنما أنزلت في الدية في بني النضير وبني قريظة وذلك أن قتلى بني النضير كان لهم شرف ، تؤدى الدية كاملة ، وأن قريظة كانوا يودون نصف الدية فتحاكموا في ذلك إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فأنزل الله ذلك فيهم ، فحملهم رسول الله صلى الله عليه وسلم على الحق في ذلك ، فجعل الدية في ذلك سواء - والله أعلم ؛ أي ذلك كان .
ورواه أحمد وأبو داود والنسائي من حديث ابن إسحاق .
ثم قال ابن جرير : حدثنا أبو كريب حدثنا عبيد الله بن موسى عن علي بن صالح عن سماك عن عكرمة عن ابن عباس قال : كانت قريظة والنضير وكانت النضير أشرف من قريظة فكان إذا قتل رجل من قريظة رجلا من النضير قتل به ، وإذا قتل رجل من النضير رجلا من قريظة ودي مائة وسق تمر . فلما بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قتل رجل من النضير رجلا من قريظة فقالوا : ادفعوه إلينا فقالوا : بيننا وبينكم رسول الله صلى الله عليه وسلم . فنزلت : ( وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط )
ورواه أبو داود والنسائي وابن حبان والحاكم في المستدرك ، من حديث عبيد الله بن موسى بنحوه .
وهكذا قال قتادة ومقاتل بن حيان وابن زيد وغير واحد .
وقد روى العوفي وعلي بن أبي طلحة الوالبي عن ابن عباس : أن هذه الآيات نزلت في اليهوديين اللذين زنيا ، كما تقدمت الأحاديث بذلك . وقد يكون اجتمع هذان السببان في وقت واحد ، فنزلت هذه الآيات في ذلك كله ، وأعلم .

Senin, 21 Oktober 2019

KHILAFATUL MUSLIMIN MEMULAI BERSATU DARI LEMAH HINGGA KUAT BUKAN TUNGGU KUAT BARU MEMULAI

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah Bersama Kholifah Nya

بسم الله الرحمن الرحيم

Bismillah

KHILAFATUL MUSLIMIN MEMULAI BERSATU DARI LEMAH HINGGA KUAT, BUKAN TUNGGU KUAT BARU MEMULAI

Allah ﷻ berfirman:

وَاذْكُرُوْۤا اِذْ اَنْـتُمْ قَلِيْلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فِى الْاَرْضِ تَخَافُوْنَ اَنْ يَّتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَاٰوٰٮكُمْ وَاَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهٖ وَرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
"Dan ingatlah ketika kamu (para Muhajirin) masih (berjumlah) sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), dan kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Dia memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki yang baik agar kamu bersyukur."
(QS. Al-Anfal: Ayat 26)

Sejarah membuktikan hanya dengan bersatu yg lemah mampu memenangkan dan menguasai sebahagian dunia...... 

Siapakah yang percaya jika jazirah Arab yang dahulunya gersang dan kering kerontang itu akan memancarkan seberkas cahaya dan keilmuan?
Siapa yang menyangka jika Abu Bakar ra, yang berhati lembut, sering di kritik ummatnya dan membingungkan para pendukungnya itu dalam sehari bisa mengirim belasan pasukan untuk membungkam para pembangkang, meluruskan yang menyimpang, memberi pelajaran pada para pemberontak, menghukum orang-orang yang murtad dan mengembalikan hak Allah dalam zakat dari orang-orang yang tidak mau membayarnya....

Siapa yang percaya jika kelompok lemah dan tersembunyi dari keturunan Ali bin Abu Thalib dan Abbas mampu menyatukan yang telah berselisih sehingga banyak pendukung dalam waktu sekejap, padahal mereka dalam sehari-hari terancam pembunuhan, pengusiran, pengasingan dan terror......!

Siapa yang menyangka jika Shalahuddin Al-ayyubi mampu bertahan bertahun - tahun dari kezhaliman kekuasaan tirani atas kehendak Allah berhasil mengusir kezhaliman Eropa dan sekitarnya, sekali pun para pelaku kezhaliman itu dari segi persenjataan mereka lebih lengkap dan dari jumlah mereka pun lebih banyak hingga dua puluh lima raja dari kerajaan-kerajaan besar bersatu menyerang Sholahuddin Alayyubi .... ?

Itu semua sejarah masa lalu..... 
Membuktikan bahwa yang lemah dapat mencapai kejayaannya dengan bersatu.....

ﻛَﻢْ ﻣِﻦْ ﻓِﺌَﺔٍ ﻗَﻠِﻴﻠَﺔٍ ﻏَﻠَﺒَﺖْ ﻓِﺌَﺔً ﻛَﺜِﻴﺮَﺓً ﺑِﺈِﺫْﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺼَّﺎﺑِﺮِﻳﻦَ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah ayat 249)

Maka dalam sejarah nya, kaum Muslimin yang tidak ingin bersatu dalam sistem Islam halal diperangi sebagaimana Khalifah Ali bin Abi Thalib memerangi Mu'awiyyah. Padahal keduanya sahabat Nabi, kenapa bisa Ali bin Abi Thalib memerangi Mu'awiyyah padahal Mu'awiyah bukan orang kafir atau musyrik? Karena dengan keinginan memecah diri dari kesatuan Kekhalifahan, berarti sama saja telah melakukan tindakan kesyirikan. 

Dalam sejarah pula kita mengetahui kalau Firaun, Namrudz bahkan Abu Jahal adalah orang-orang cerdas.  Namun karena menolak Islam dan hukum Allah mereka pun terhina.
Yang akhirnya kemuliaan akan di dapatkan bagi mereka yang dianggap lemah itu, dan hanya orang-orang yang sombong sajalah yang menghalangi kebenaran walaupun kebenaran itu muncul dari minoritas yang lemah. Dan kehinaan akan ditimpakan diakhirat nanti kepada golongan yang sombong dan merasa kuat atau mayoritas tapi menolak bersatu dalam Kekhalifahan yang dicontohkan Nabiﷺ dan para sahabat radhiyallahu’anhuma. 

Allah ﷻ berfirman:

حَتّٰٓى اِذَا رَاَوْا مَا  يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ اَضْعَفُ نَاصِرًا وَّاَقَلُّ عَدَدًا
"Sehingga apabila mereka melihat (azab) yang diancamkan kepadanya, maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit jumlahnya."
(QS. Al-Jinn: Ayat 24)

Oleh karena itu marilah saudara-saudariku kita berjuang dengan cara bersatu dalam Kekhalifahan (Khilafatul Muslimin) sehingga mampu mengerahkan seluruh potensi kita agar ummat kembali mengamalkan ajaran Allah dan Rasul-Nya secara kaffah dari segala aspek kehidupan semata-mata demi mendapatkan Ridho Allah Subhanahu Wata’ala. 

Jangan ada kemalasan dan ketakutan, apalagi khawatir dengan kemiskinan, karena orang tidak waraspun tetap ada rezekinya dari Allah subhaanahu wa ta'ala.

Semoga Allah memberikan pertolongan Nya kepada orang-orang beriman yang bersatu dalam Kekhilafahan (Khilafatul Muslimin) .. Aamiin

(codit dari intisari Taushiyah Kholifah Abdul Qodir Hasan Baraja')

BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH

BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN

<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >>  اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...