Senin, 11 November 2019

Khilafah tidak wajib???

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah Bersama Fugure Khalifah Nya



KHILAFAH TIDAK WAJIB???


SEUNTAI CATATAN UNTUK BUKU ILUSI NEGARA ISLAM

DALAM BUKU PENUH ILUSI, berjudul ilusi negara Islam, disebutkan oleh tim penulis nya bahwa Khilafah islamiyah dalam Islam tidak memiliki akar sejarah dan dasar ideologis serta yuridis dalam Islam.


Tim penyusun mengatakan itu hasil kajian majelis Bahtsul masa'il-nya Nahdlatul ulama yang melibatkan ratusan ulama.

barangkali tim penyusun mengira dengan mendompleng dan mengatasnamakan ratusan ulama maka pembaca akan percaya begitu saja tanpa mau lagi melakukan kajian.

Dengan segala hormat izinkanlah kami berbeda pendapat dengan mereka.

Kami yakin tim penyusun buku tersebut adalah orang-orang yang terbuka atas perbedaan.bukankah mereka tidak senang dengan sikap merasa paling benar dan memonopoli tafsir kebenaran?


jika mereka menutup diri dari koreksi memaksa pembacanya untuk menerima dan membenarkan pendapat mereka maka mereka telah menantang diri mereka sendiri dan bukan seorang Demokrat.


Tadinya Kami ingin menguraikan berbagai ayat Alquran lalu hadits dan tafsir para ulama ahlussunnah tentang kehujahan Khilafah islamiyah. Tapi dia khawatir akan banyak makan waktu dan tempat. Maka,kami cukupkan satu sisi saja yang kami sampaikan yakni ijma' ulama tentang Khilafah.

ADANYA IMAMAH YANG MENAUNGI SELURUH UMAT ISLAM ADALAH WAJIB MENURUT IJMA'


PARA IMAM TELAH AKLAMASI (IJMA') bahwa wajibnya mengangkat seorang imamatul Uzma bagi seluruh umat Islam. hal ini ditegaskan oleh seorang ulama Mazhab Syafi'i mazhab nya para kyai di Indonesia Imam Abu Hasan Al Mawardi rahimahullahu ta'ala. Tetapi, ahlussunnah menyakini betapa pentingnya imamah dia bukanlah masalah Ushuluddin (Dasar agama dasar) , tetapi masuk zona furu'iyah,maka dari itu para ulama Kuwait memasukkan pembahasan khalifahan dalam al mausu'ah al fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah( ensiklopedi fiqih kwait). Adapun Syiah imamiyah mereka meyakininya sebagai bagian dari aqidah.

Imam Al Mawardi rahimahullah berkata: imamah kepemimpinan merupakan term bagi wakil kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. menegakkannya bagi manusia di tengah-tengah umat adalah wajib menurut ijma kecuali menurut Islam kecuali menurut Al-Ashomm yang telah menyimpang dari mereka . cuma,mereka  berbeda dalam kewajiban ini apakah wajib menurut akal atau syariat?
Lihat Di
👇
( Al ahkam as sulthaniyah halaman 3 mauqi' Al Islam)


Bahkan ijma ini bukan hanya bagi ahlussunnah, tetapi juga menurut kaum murji'ah Syi'ah dan khawarij.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Muhammad bin Hanzm rahimahullah dalam alfashl fil milal sebagai berikut,

Telah sepakat semua ahlussunnah semua murji'ah semua Syiah semua khawarij atas kewajiban adanya imamah dan sesungguhnya hukum mad wajib mengikatkan diri dengan pemimpin yang adil yang dapat menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan membimbing mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu Alaihi wasallam
Lihat Di

👇
(Al Fashl Fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal,1/451. Mawqi' Ruh Al Islam)

Syaekh Dr. Wahbah Az-Zuhaily Juga Menulis Demikian.

" Itu adalah ijma para sahabat dan tabiin telah atas wajibnya imamah hal ini dibuktikan dengan bersegera nya para sahabat secara langsung pada saat wafatnya Rasulullah shallallahu Alaihi wasallam sebelum mengurus jenazahnya.

Lihat Di
👇
(Asy-Syekh Wahbah Az-Zuhaily,Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu,8/278. Maktabah Misykah)

Demikianlah kewajiban Adanya Al Imamah adalah berdasarkan ijma para ulama'.

Apa yang dikatakan oleh Al Imam Al Mawardi dan Imam Ibnu hazm ini adalah dalam konteks kepemimpinan umum bagi umat Islam bukan kepemimpinan RT RW kepala dusun dan lain sebagainya sebab dia mengaitkannya dengan fungsi lembaga kepemimpinan sebagai penjaga agama dan pengatur dunia bagi yang membaca kitab nya ini akan mengerti bahwa Imam Al Mawardi sedang tidak berbicara tentang nation state tetapi Khilafah islamiyah. Ijma' ini sudah berlangsung sejak masa sahabat sebab ketika pengangkatan Abu bakar tak satupun yang menentang institusi kekhalifahan hingga diikuti oleh khalifah selanjutnya sampai runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1924 Masehi.

Walaupun umumnya kita menganggap masa-masa ideal hanya berlangsung pada masa Khulafaur Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz fakta terjemahan adanya Khalifah sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Mawardi Imam Ibnu Hasan dan syekh wahbah az Zuhaili merupakan koreksi atas pernyataan ketua PBNU yang dikutip dalam buku tersebut yaitu ilusii negara Islam,beliau menyebut wacana Khilafah islamiyah adalah gerakan politik bukan gerakan agama ( halaman 262).

dan belum pernah ada pernyataan ulama yang mengatakan bahwa menjalankan ijma merupakan gerakan politik hanya karena kebetulan muatan itu adalah berisi politik!

Dalam sumber pengambilan hukum Islam, ijma' merupakan salah satu sumber Islam yang harus diikuti dan ini sudah menjadi ketetapan para ulama ahlussunnah dari zaman ke zaman dan tentunya ratusan ulama yang disebut oleh tim penyusun bukan tersebut juga mengetahuinya.

Tentunya tim penyusun seharusnya mengetahui pula hal ini. Namun , agak sulit untuk meyakinkan pihak yang Alquran saja dikatakan sebagai produk budaya maka apalagi sikap mereka terhadap ijma'?


Ya, gunakanlah pendapat ulama yang selaras dengan nafsumu tetapi buanglah jauh-jauh pandangan ulama yang bertentangan dengan akal dan nafsu mu walau itu adalah Ijma'.

Kehujjahan ijma telah diakui semua umat Islam kecuali para pengikut hawa nafsu. berkata Imam Ibnu Ibnu Taimiyah,


" Ijma' telah menjadi kesepakatan antara umumnya kaum muslimin baik dari kalangan ahli fiqih sufi ahli hadits dan ahli kalam serta selain mereka secara global dan yang mengingkarinya adalah sebagian dari bid'ah seperti mu'tazilah dan Syiah".

saya tahu Imam Ibnu Taimiyah adalah nama yang tidak disukai oleh kalangan umumnya kyai NU Oleh karena itu tadinya saya enggan mengutipnya tetapi saya sadar bahwa buku ilustri ilusi Negara Islam ini dikeluarkan Atas Restu dan kata pengantar tokoh NU dan Muhammadiyah dan bukankah kelahiran Muhammadiyah disebut sebagai penerus dakwah Imam Ibnu Taimiyah dan syekh Muhammad bin Abdul Wahab? Sehingga, ketika buku ini menyerang Wahabi bukankah sama saja sedang menyerang Muhammadiyah kata bung Karno "jas merah" jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Baiklah,kalaupun tidak mau terima pendapat Imam Ibnu Taimiyah saya akan Kuti paparan seorang ulama madzhab asy-syafi'i mazhabnya para kyai di Indonesia YAITU Al Imam Al hafiz Al khatib Al Baghdadi. Beliau berkata :( Ijma') ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu diantara hujjah-hujjah syara dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan benarnya.

Allah ta'ala memerintahkan agar kita mengikuti ijma' dan bagi penentangnya disebut sebagai orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman yakni dalam firmannya:

" Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan Jalan orang-orang Mukmin kami biarkan ia leluasa terhadap kesehatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ( Quran surat an-nisa ayat :115)

Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Hasyim Asy'ari rahimahullah pendiri NU sebagai kewajiban mengikuti salah satu mazhab yang empat maka mengikuti ijtimak seluruh madzhab adalah lebih layak lagi untuk diwajibkan.

Dalam hadis juga disebutkan:

"SESUNGGUHNYAAllah ta'ala tidaklah menggemakan umatku dalam kesesatan dan tangan Allah bersama Al jamaah"

LIHAT 👇

(HR. At -Tirmidzi no 2255, SHOHIH,Lihat Shohihul Jami' no.1848)


Dan orang-orang yang mengingkari jemaah adalah penghancur dasar-dasar agama, sebagaimana kata Imam Az-Zarkhasih dalam kitab usul-nya, "orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma' sebagai hujjah maka mereka telah membatalkan Ushuluddin  (Dasar-dasar agama ) padahal lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah mereka Maka para mungkirul ijma (Orang Yang Mengingkari ijma' ) orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama."

maka bagaimana bisa keberadaan imamatun uzma khalifah yang telah ijma seluruh kelompok Islam ini dianggap tidak memiliki akar yuridis dalam Islam???

KEWAJIBAN AKAN ADANYA IMAM ATAU ASMA SUDAH TERLIHAT DARI DEFINISINYA

Dalam definisi yang disampaikan oleh Imam Al Mawardi sebenarnya sudah jelas kewajibannya.


Tertulis dalam al mausu'ah al fiqhiyyah Al Kwaitiyah ( ensiklopedi fiqih Kuwait) tentang makna Khilafah

("itu adalah kepemimpinan umum dalam agama dan dunia sebagai wakil dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dinamakan juga Al imamatul kubro")

Lihat 👇
(AL MAUSU'AH AL FIQHIYYAH AL KWAITIYAH,6/196. Wazarat Al Awqaf Wasy Syu'un Al Islamiyah)


Jika agama dan dunia wajib dijaga maka adanya penjaga  keduanya adalah wajib pula, yakni pemimpin (KHOLIFAH) Yang Berlandaskan Ajaran Islam,Al Qur'an dan Hadits,serta Ijma'.

Tertulis pula dalam kitab tersebut bahwa:

أما العامة فالمراد بها الخلافة أو الإمامة الكبرى ،وهي فرض كفايةٍ

"ADAPUN KEPEMIMPINAN UMUM ATAS SELURUH UMMAT ISLAM, MAKSUD NYA ADALAH KEKHILAFAHAN ATAU IMAAMATUL KUBRO, HUKUM NYA FARDHU KIFAYAH."

Lihat 👇
(AL MAUSU'AH AL FIQHIYYAH AL KWAITIYAH,6/196. Wazarat Al Awqaf Wasy Syu'un Al Islamiyah)

YA, DIA MEMANG FARDHU KIFAYAH sebab dalam satu wilayah Islam yang dibutuhkan hanya satu pemimpin besar imamatul kubro untuk semuanya. Keberadaannya adalah sebagai penjaga agama dan dunia mengaturnya dan memakmurkan nya dengan nilai kenabian dan rahmatan lil alamin sebagaimana disebutkan oleh Ad dahlawi ,Al Mawardi dan az-zuhaili, At-Taftazani.

Lihat👇👇👇👇👇
(Asy_ Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu,8/271.)

Ya, tim penyusun buku ilusi negara Islam menyangka bahwa film Islamiyah akan mengancam kemanusiaan dan menghancurkan NKRI, menjadi tempat bagi suburnya terorisme. Itu semua sama sekali tidak berdasar tuduhan tanpa bukti serta fitnah yang keji. Nampaknya pemikiran ini bukan analisa cerdas bukan nalar yang jernih sebagaimana klem yang mereka banggakan dan tidak layak keluar dari hasil kajian melelah kan 2 Tahun lamanya tetapi ini adalah analisa yang bermula dari paranoid akut khas orang liberal dan tendensius yang kelewat batas. Justru inilah ilusi bayangan sebenarnya yang menghantui pemikiran mereka sendiri, yang tidak menemukan bukti objektif apapun dalam kenyataan. Bagaimana mungkin mampu dibuktikan padahal Khilafah nya saja belum ada dan tidak pernah nah diberi kesempatan????


Jika mereka mengambil sampel adalah kekhalifahan masa-masa kekelaman dinasti-dinasti dalam Islam, tentu itu bukan contoh bukan pula obsesi justru itulah ilusi lain yang dibuat oleh mereka sendiri.


ketakutan luar biasa terhadap gerakan Islam dan penerapan Syariah pernah saya sangsikan langsung ketika masih kuliah karena saya sering berinteraksi dengan orang-orang seperti mereka saat itu. Mereka melecehkan jilbab tak peduli dengan adab dan akhlak Islam pergaulan pun lebih dekat ke kalangan kiri sangat mendukung kebebasan tanpa batas kalau bicara porno dan saya tahu benar mereka dahulunya adalah santri. Walau tingkah mereka ini tidak mewakili yang lainnya, dan masih ada yang baik dan tidak neko-neko. Tetapi, tipikal seperti ini selalu ada. Ya, cepat sekali siang menjadi malam.


Jumat, 08 November 2019

Mengapa Musti Muhammad Shalallahu Alaihi wasallam

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah Bersama Khalifah Nya


Andai dia tak mengasingkan diri di atas gunung, barangkali anda akan mengatakan tak ada pertanda mengenai sesuatu yang tak biasa dalam dirinya. Sumber-sumber paling awal menggambarkan dirinya dengan kesamaran yang menyebalkan bagi sebagian dari kita yang membutuhkan gambaran jelas.

"Dia tidak tinggi, juga tidak pendek," kata sumber-sumber itu.

" Tidak berkulit gelap, juga tidak terang,"

"Tidak kurus, juga tidak gemuk," namun, di sana sini, detail-detail menyeruak; dan ketika itu terjadi, berbagai rincian itu menghadirkan kejutan.

Pastinya,sosok laki-laki yang menghabiskan malam demi malam dalam perenungan Solitaire itu akan menjadi kurus , mirip pertapa.

namun jauh dari sosok yang pucat dan lesu dia justru memiliki pipi bulat kemerahan dan raut wajah yang merah berseri. Dia berbadan tegap , hampir berdada bidang,yang barangkali turut menjelaskan gaya berjalannya yang khas, selalu"sedikit agak membungkuk ke depan seolah dia sedang terburu-buru menuju sesuatu."

Dan dia pastinya memiliki leher yang kaku,karena orang-orang akan mengingat bahwa ketika dia berpaling untuk melihat anda dia memutar seluruh tubuhnya, bukan hanya kepalanya. Satu-satunya hal yang membuat dia termasuk sosok yang tampan dalam pengertian umum adalah raut mukanya: hidung paruh elang yang melengkung sudah sejak lama dianggap sebagai tanda kebangsawanan di timur Tengah.

Di permukaan,anda mungkin menyimpulkan bahwa dia adalah seorang penduduk Mekah biasa. Pada usia 40 tahun putra dari seorang ayah yang belum pernah dia lihat,dia berhasil membuat kehidupan yang jauh lebih baik dari apa yang mungkin dia bayangkan. sang anak yang lahir sebagai orang luar dalam masyarakatnya sendiri itu akhirnya berhasil meraih penerimaan dan mengukir kehidupan yang sejahtera meski semua kendala menghalangi jalannya.


dia hidup nyaman seorang duta niaga yang menikah dengan bahagia dan dihormati oleh rekan-rekannya. Kalaupun dia bukan salah satu orang berpengaruh di kota yang makmur ini,persis Hal itulah yang menjadi alasan mengapa orang-orang mempercayainya untuk mewakili kepentingan mereka. Mereka melihat dirinya sebagai sesosok lelaki yang tidak memiliki kepentingan sendiri untuk diperjuangkan,seorang lelaki yang akan mempertimbangkan Sebuah tawaran atau sebuah perselisihan berdasarkan manfaatnya dan membuat keputusan atas dasar hal itu. Dia telah menemukan ceruk nyaman dalam kehidupannya, dan di usia paruh baya Iya sangat berhak untuk duduk santai dan menikmati kehidupannya yang menanjak menuju kemuliaan. Jadi, Apa yang dia lakukan sendirian di atas sana, di salah satu pegunungan yang mengelilingi kota yang terlelap di bawahnya? Mengapa apa seorang lelaki yang bahagia dengan pernikahannya mengisolasi dirinya sendiri dengan cara seperti ini, merenung sepanjang malam???

Barangkali, ada sebuah petunjuk dalam pakaian yang dia kenakan. Pada saat itu dia pastinya sudah mampu memiliki pakaian sutra berbordir rumit yang lazim digunakan kalangan kaya, tetapi yang dia kenakan adalah pakaian sederhana. Sandal yang dipakainya sudah lusuh, terbuat dari kulit yang disamak dan sudah memudar pucat melebihi kulitnya sendiri. Jubah kasar yang dikenakannya sudah tipis dan hampir koyak jika tidak ditambal dengan cermat,dan cukup sulit untuk melindunginya dari dinginnya malam yang menusuk tulang di tengah gurun pasir. Namun, sesuatu dalam caranya berdiri di lereng pegunungan itu membuat hawa dingin tidak lagi penting. Sedikit condong ke depan sekolah bersandar pada angin, cara berdirinya nampak seperti seseorang yang berjarak dari bumi.


Tentu saja, seseorang dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda dari atas sini. Dia dapat menemukan kedamaian dalam keheningan, hanya berteman angin di sela-sela bebatuan,jauh dari segala permusuhan dan desas-desus kehidupan kota dengan segala perselisihan nya memperebutkan uang dan kekuasaan. Di sini,seorang manusia hanyalah sebuah noktah di tengah landscape pegunungan, benaknya beban untuk berfikir dan merenung, dan menyerahkan diri sepenuhnya pada keluasan semesta.


Lihatlah lebih dekat dan anda mungkin mendapati bayangan kesepian di sudut matanya, sesuatu mendekam di sana, jejak dari dirinya yang dulu sebagai orang luar, seolah dia sedang dihantui oleh kesadaran bahwa setiap saat segala sesuatu yang sudah susah payah dan begitu lama dia perjuangkan bisa saja terenggut. anda mungkin melihat kilasan perpaduan yang sama antara kerentanan dan keteguhan dimulutnya, bibir nan penuh yang sedikit terbuka saat dia berbisik pada kegelapan. Dan kemudian mungkin anda akan bertanya mengapa rasa puas saja tidaklah cukup. apakah kenyataan bahwa rasa itu diraihnya dengan usaha yang begitu keras membuatnya tak bisa menerima perasaan itu begitu saja, membuatnya tak pernah tentram akan haknya atas rasa itu???

Namun kalau begitu, apa yang akan membuatnya tenang? Apa yang sedang dia cari? Barangkali, sejenis kedamaian tertentu dalam batinnya? Atau apakah yang dicarinya adalah sesuatu yang lebih___ sebuah kilasan, atau mungkin hanya sebuah isyarat, akan sesuatu yang lebih besar? Satu hal yang pasti: berdasarkan penuturan Muhammad sendiri,dia benar-benar tidak siap menghadapi kebesaran sesuatu yang akan dialami tepat pada malam itu, pada 610 Masehi.

Seorang manusia berjumpa Tuhan: bagi kaum rasionalis, ini bukanlah fakta melainkan fiksi yang dibuat-buat. Jadi,seandainya Muhammad bersikap dengan cara seperti yang biasa kita duga setelah perjumpaan pertamanya di gua Hira akan masuk akal lah jika kita menyebut ceritanya itu demikian: sebuah fabel yang diramu dari keshalehan atau keimanan.

Namun, dia tidak bersikap begitu.

Dia tidak melayang menuruni gunung seolah berjalan di udara. Dia tidak berlari turun sembari berseru "HALELUYA" DAN "TERPUJILAH TUHAN".
DIA TIDAK MEMANCARKAN CAHAYA DAN KEGEMBIRAAN.

Tak ada paduan suara malaikat, tak ada musik surgawi. Tak ada sukacita meluap-luap, tak ada ekstase, tak ada aura keemasan mengitarinya. Tidak ada kesan perihal perannya yang mutlak, sudah ditakdirkan, dan tak bisa disangsikan sebagai utusan Tuhan.

Bahkan keseluruhan Alquran belum seutuhnya diwahyukan, hanya beberapa ayat pendek.  Singkatnya,Muhammad tidak melakukan apapun yang barangkali tampak sangat penting bagi legenda Tentang Seseorang yang baru saja melakukan hal yang mustahil dan menyeberangi perbatasan antara dunia ini Dan Dunia Lain___Tak ada hal yang bisa jadi membuat kita mudah untuk mencerca, untuk menuduh keseluruhan kisahnya itu sebagai sebuah karangan, sebuah samaran untuk menutupi sesuatu yang bersifat duniawi seperti delusi atau ambisi pribadi.

Sebaliknya: dia meyakini bahwa apa yang baru saja dia alami itu tidak mungkin nyata. Paling banter, itu pastilah sebuah halusinasi: tipuan mata atau telinga, atau pikirannya sendiri yang telah mengelabui nya. Paling buruk, itu adalah kerasukan, dan dirinya telah dirasuki oleh sesosok jin jahat, roh gentayangan yang hendak memperdayainya, bahkan hendak merenggut jiwanya. Bahkan, dia begitu yakin bahwa dirinya hanyalah seorang majnun, yang secara harfiah berarti dirasuki jin, sehingga ketika dia mendapati dirinya masih hidup, naluri pertamanya adalah endak membereskan sendiri urusannya,melompat dari tebing tinggi dan melarikan diri dari kengerian yang baru saja di alami dengan mengakhiri seluruh pengalaman hidupnya.

Maka, lelaki yang melarikan diri dari gua Hira itu gemetar bukan dengan sukacita melainkan dengan penuh ketakutan yang purba dan amat sangat. Dia dikuasai bukan oleh keyakinan melainkan oleh kebingungan dan kebimbangan. Dia hanya yakin akan satu hal : apapun Yang Terjadi, hal itu bukan ditakdirkan untuk terjadi pada.  Bukan kepada seorang laki-laki paruh baya yang paling banter mengharapkan sebuah momen anugerah yang sederhana, bukannya beban Wahyu yang luarbiasa menyilaukan.

Kalaupun dia tidak lagi mengkhawatirkan jiwanya, dia pasti menghawatirkan kewarasannya,karena dia sangat menyadari bahwa terlalu banyak menghabiskan malam merenung sendiri mungkin saja telah mendorongnya melewati ambang kewarasan.


Apapun yang terjadi di gua Hira di atas sana, reaksi Muhammad yang benar-benar manusiawi itu barangkali merupakan argumen paling kuat bagi kebenaran historis peristiwa tersebut. entah anda berpikir bahwa kata-kata yang didengarnya berasal dari dalam dirinya atau dari luar, jelas bahwa Muhammad benar-benar mengalaminya,dan dengan sebuah kekuatan yang akan menghancurkan kesadaran tentang diri dan dunianya. Rasa ngeri adalah satu-satunya tanggapan yang waras. Pengertian dan penyangkalan. Dan Jika reaksi ini bagi kita sekarang terlihat sebagai sesuatu yang tak terduga, bahkan sangat tidak terduga,itu hanyalah cerminan betapa kita telah disesatkan oleh gambaran umum mengenai kebahagiaan mistik yang meluap-luap.


Kesampingkan gagasan praduga semacam itu untuk sejenak, dan anda mungkin akan melihat bahwa kengerian Muhammad mengungkapkan pengalaman yang nyata. Kedengarannya sangat manusiawi--terlalu manusiawi bagi sebagian orang,seperti para teolog muslim konservatif yang berpendapat bahwa riwayat mengenai percobaan bunuh dirinya Bahkan tak boleh disebut-sebut meskipun nyatanya hal itu tercantum dalam karya-karya Biografi Islam paling awal. Mereka bersikeras bahwa dia tidak pernah ragu sedikitpun apa lagi putus asa. Karena menuntut kesempurnaan,mereka tidak dapat menoleransi ketidak sempurnaan manusiawi.

barangkali inilah alasan mengapa bisa begitu sulit untuk melihat siapa sosok Muhammad sesungguhnya. Kemurnian kesempurnaan menafikan kompleksitas kehidupan. Bagi umat muslim di seluruh dunia, Muhammad adalah manusia ideal, sang nabi, utusan Tuhan; dan meskipun dia berkali-kali dalam Alquran diperintahkan untuk mengatakan

 " aku hanyalah salah satu dari kalian semua"

___hanya manusia biasa__rasa takzim dan cinta tak bisa melawan hasrat untuk, seolah-olah, mengenakan jubah emas dan perak kepadanya.

Ada perasaan memiliki terhadap dirinya,sikap melindungi yang sengit semakin menguat ketika Islam itu sendiri berada di bawah pengamatan yang intens di dunia barat.

Namun berlakulah hukum konsekuensi yang tak dikehendaki. Mengidealkan seseorang, dalam arti tertentu juga berarti menghilangkan kemanusiawian nya; karena itu meski jutaan jika bukan miliaran kata yang ditulis tentang Muhammad,bisa jadi sulit untuk mendapatkan kesan sebenarnya mengenai sosok sang manusia itu sendiri. Semakin banyak Anda membaca,semakin besar kemungkinan Anda diliputi perasaan bahwa sementara anda mungkin tahu banyak tentang Muhammad, anda masih tidak mengenal siapa dia sesungguh nya. Seolah-olah dia telah terselubungi oleh timbunan kata-kata itu.


Meski legenda-legenda pengagungan mengenai dirinya seringkali luar biasa, mereka berfungsi seperti semua legenda lainnya: menghamburkan lebih banyak hal ketimbang yang mereka singkapkan,dan Muhammad menjadi lebih merupakan sebuah simbol ketimbang sesosok manusia. Bahkan pada saat Islam dengan pesat menyusul Kristen sebagai agama terbesar dunia kita hanya memiliki sedikit pemahaman yang nyata mengenai seorang lelaki yang dalam Alquran diperintahkan sebanyak 3 kali untuk menyebut dirinya

*Muslim pertama*

tak diragukan lagi hidupnya merupakan salah satu kehidupan paling berpengaruh yang pernah dijalani, namun dengan segala kekuatan ikonik yang terkandung dalam namanya saja - atau barangkali karena hal itulah-hidupnya adalah kehidupan yang masih perlu digali.

Bagaimana lelaki ini yang semasa kanak-kanak nya tersisih ke pinggiran masyarakatnya sendiri ("seorang yang tidak penting," demikian musuh-musuhnya memanggil dirinya dalam Alquran)

Berhasil merevolusi dunianya?

bagaimana sang bayi yang dijauhkan dari keluarganya itu tumbuh dewasa untuk mengubah seluruh konsep keluarga dan suku menjadi sesuatu yang jauh lebih besar: umat, kaum atau masyarakat Islam? Bagaimana seorang saudagar menjadi seorang pemikir radikal baik mengenai Tuhan maupun masyarakat, menantang secara langsung tatanan sosial dan politik yang sudah mapan? Bagaimana laki-laki yang terusir dari Mekah mengubah pengasingan menjadi awal yang baru dan penuh kemenangan, untuk disambut kembali hanya 8 tahun kemudian sebagai pahlawan? Bagaimana dia berhasil menghadapi segala rintangan itu?

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi kita perlu menggunakan hak istimewa sekaligus tujuan sejenis penulis biografi, yang tidak sekedar menelusuri apa yang terjadi tetapi mengungkap makna dan relevansi yang terkandung dalam hiruk piruk peristiwa. Ini berarti menganyam berbagai unsur kehidupan Muhammad yang kompleks, dan sembari mengembangkannya, menciptakan potret tiga dimensi yang tidak begitu bertentangan dengan gambaran versi "Resmi".

Dalam The Idea Of History, filsuf dan sejarawan besar Inggris R.G. COLLINGWOOD menyatakan bahwa untuk menulis sosok historis dengan baik kita membutuhkan empati sekaligus imajinasi. dengan hal ini dia tidak memaksudkan mengarang-ngarang cerita dari khayalan belaka tetapi mengambil apa yang sudah diketahui dan memeriksanya dalam konteks ruang dan waktu secara utuh menelusuri nelayan-nelayan cerita sampai semuanya mulai terjalin dan membentuk anyaman realitas yang rapat.

Jika kita ingin mendalami dinamika dari apa yang hanya bisa digambarkan, dengan banyak penyederhanaan, sebagai kehidupan yang luar biasa---kehidupan yang secara radikal akan mengubah dunianya dan masih membentuk dunia kita-kita harus membiarkan Muhammad menyatu dengan realitas dan memandang dirinya secara utuh.

kisahnya merupakan sebuah penyatuan yang luar biasa dari manusia zaman dan budaya dan hal itu menimbulkan sebuah pertanyaan kelihatannya sederhana:

( "kenapa harus dia???)

Kenapa mesti Muhammad pada abad ke-7 di jazirah Arab???

Memikirkan pendekatan itu saja sudah menarik sekaligus menggetarkan. di satu sisi pertanyaan-pertanyaan ini pengaruh langsung menuju ladang ranjau virtual berupa keyakinan yang Teguh prasangka yang tak disadari dan berbagai asumsi budaya.

Di sisi lain, Ia memungkinkan kita untuk memandang Muhammad dengan jernih,dan memahami bagaimana dia menuntaskan perjalanannya dari ketidakberdayaan menuju kekuasaan, dari bukan siapa-siapa menjadi orang ternama,dari sosok yang remeh menjadi sosok yang berpengaruh sepanjang masa.

Pemandu tetap dalam menelusuri kehidupan Muhammad adalah 2 karya sejarah Islam awal:biografi panjang dirinya yang ditulis pada abad ke-8 di damaskus oleh Ibnu Ishaq yang setidaknya diklaim menjadi dasar bagi setiap penulisan biografi berikutnya, dan sejarah awal Islam yang lebih fokus secara politik karya Ath-Thobari, ditulis pada penghujung abad ke-9 di baghdad, sebuah karya agung yang hadir dalam 39 volume terjemahan, empat diantaranya dikhususkan membahas masa hidup Muhammad.

Para sejarawan awal ini teliti dan bersungguh-sungguh  keotoritatif mereka terletak pada sikap inklusif mereka.

Mereka menulis menelusuri fakta, bekerja dengan sejarah lisan dalam kesadaran penuh betapa waktu dan kesolehan cenderung menyesatkan ingatan, mengaburkan batas antara Apa yang sebenarnya dan apa yang seharusnya. Jika pun mereka keliru, secara di sengaja kesalahan itu terkait dengan sisi ketelitian bukan soal penilaian. Membaca keduanya kita akan merasakan kesadaran bahwa diri mereka sedang berjalan di atas garis tipis antara tanggung jawab mereka pada sejarah di satu sisi lain dan tanggung jawab pada tradisi di sisi lainnya. Tindakan penyeimbangan yang rumit antara sejarah dan keimanan ini beriringan dengan pengakuan mereka atas peliknya fakta yang definitif--sesuatu atau suatu kualitas yang sama licinnya baik dalam yang terdokumentasi secara berlebihan dewasa ini maupun dalam tradisi lisan milik mereka di masa lalu. Karena itulah ahli-ahli berupaya menjadi serba tahu, mereka memasukkan berbagai riwayat yang saling bertentangan dan membiarkan para pembaca untuk memutuskan sendiri meskipun tetap menunjukkan sudut pandang mereka. Di sepanjang karya Ibnu Ishaq, misalnya, terdapat frasa seperti " diduga bahwa" dan "demikianlah aku di beritahu".
Bahkan, ketika beberapa laporan saksi mata tampaknya bertentangan satu sama lain,dia seringkali meringkas dengan

 " mengenai manakah diantara semua ini yang benar , Hanya Tuhanlah yang mengetahui dengan pasti" --suatu pernyataan yang mendekati ungkapan ketakberdayaan"Hanya Tuhan lah yang mengetahui!"

Barangkali,satu-satunya kisah hidup lain yang telah ditulis begitu banyak tetapi tetap saja diliputi misteri adalah kehidupan Yesus. Namun , berkat upaya kelompok-kelompok sarjana seperti yesus seminar, berbagai studi baru dalam beberapa dekade terakhir telah menggali melampaui gambaran harfiah Alkitab demi menciptakan bukan hanya potret dari Yesus yang lebih manusiawi,namun juga pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengaruh yang dibawanya. Para sarjana ini menggali melewati teologi ke dalam sejarah, ilmu politik, perbandingan agama, dan psikologi, menyoroti relevansi politik yang radikal dari ajaran Yesus. Dengan memandang Yesus adalah konteks zamannya secara utuh,mereka tidak membuat sosoknya kurang relevan bagi masa kita; sebaliknya ia justru menjadi lebih relevan.


Kesejajaran antara Muhammad dan Yesus sangat mencolok. Keduanya terdorong oleh rasa keadilan sosial yang kuat;keduanya menekankan hubungan tanpa perantara pada Tuhan; keduanya menantang tatanan kekuasaan yang mapan di zaman mereka. Seperti yang terjadi pada Yesus,teologi dan sejarah berjalan berdampingan dalam semua kisah hidup Muhammad, kadang-kadang dekat rel kereta api, dan di waktu lain saling menjauh.


kisah kisah mukjizat berlimpah dalam tradisi sakral yang terus bertambah yang dikembangkan oleh orang-orang yang memuja apa yang seharusnya terjadi bahkan meski hal itu tidak benar-benar terjadi meskipun Alquran dengan tegas mengingkari keajaiban tampaknya terdapat kebutuhan yang sangat manusiawi akan hal itu dan kebutuhan bagi teologi untuk menuntut iman terhadap sesuatu yang tak mungkin yang mustahil sebagai ujian atas komitmen. karena itulah tradisi Islam konservatif menyatakan bahwa Muhammad telah ditakdirkan sejak awal untuk menjadi utusan Tuhan. Namun, jika demikian, maka akan ada kisah tentang hidupnya. Artinya, hidupnya menjadi urusan pengejawantahan kehendak ilahi yang tak terelakkan, dan dengan demikian kehilangan semua konflik atau ketegangan. Bagi sebagian penganut yang taat, ini sudah lebih dari cukup; keistimewaan bawaan sang nabi adalah sesuatu yang harus diterima, dan biografi apa pun tidaklah relevan. Namun, bagi banyak penganut lainnya, yang menarik bukanlah apa yang ajaib melainkan apa yang mungkin Secara manusiawi. kehidupan Muhammad adalah salah satu dari kehidupan langka yang lebih dramatis dalam kenyataan ketimbang dalam legenda. Bahkan, semakin sedikit kita melibatkan keajaiban semakin luar biasa kehidupannya. apa yang muncul adalah sesuatu yang lebih agung persis karena ia manusiawi,hingga ke tingkatan dimana hidupnya yang nyata memunculkan diri sebagai sesuatu yang layak menyandang kata "*LEGENDARIS*"

KISAHNYA MENGIKUTI LINTASAN KLASIK YANG DISEBUT JOSEPH CAMPBELL sebagai "perjalanan sang pahlawan",

Dari awal nan sederhana menuju keberhasilan yang luar biasa. Namun perjalanan ini tak pernah mudah. Iya melibatkan perjuangan, bahaya dan konflik, dalam diri sendiri maupun dengan orang lain. Karena itu,menghilangkan berbagai unsur yang lebih kontroversial dari kehidupan Muhammad tidak akan menguntungkan nya.

Sebaliknya jika kita ingin menyematkan kepadanya vitalitas dan kompleksitas sosok manusia sepenuhnya, kita perlu melihatnya secara utuh. Ini berarti mengambil apa yang barangkali bisa disebut sikap Agnostik, mengesampingkan kesalehan dan rasa takzim di satu sisi dan mengabaikan stereotip dan penggalian di sisi lainnya , apalagi selubung kehati-hatian yang melumpuhkan di tengah tengah nya. Ini ini berarti menemukan narasi yang sangat manusiawi mengenai seorang laki-laki yang melangkah di antara idealisme dan pragmatisme, keimanan dan politik, non kekerasan dan kekerasan, perangkap pujian berlebihan sekaligus bahaya penolakan.

titik penting dalam kehidupannya tak diragukan lagi adalah sebuah malam itu di gua Hira. Itulah saat ketika dia melangkah menuju apa yang oleh banyak orang anggap sebagai takdirnya, dan karena itulah umat Islam menyebutnya Lailatul Qadar, malam kekuasaan . Sudah pasti malam itu adalah tempat di mana dia memasuki panggung sejarah, meski istilah ini pun dapat menyesatkan. Kata ini menyiratkan bahwa kisah Muhammad adalah milik masa lalu,padahal Ia terus berpengaruh begitu besar sehingga ia harus dianggap sebagai peristiwa masa kini sekaligus peristiwa sejarah. Apa yang terjadi " saat itu" merupakan bagian Tak terpisahkan dari apa yang masih terjadi hingga kini, sebuah faktor penting dalam arena yang luas dan seringkali mengerikan dimana politik dan agama bersinggungan.


Bagaimanapun untuk mulai memahami sosok lelaki ini yang bergumul dengan malaikat di puncak gunung dan turun dalam keadaan terbakar oleh perjumpaan itu, kita perlu bertanya tidak hanya mengenai apa yang terjadi malam itu di gua Hira dan akibat apa yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai apa yang menonton Muhammad ke sana.

Terutama karena sejak awal, terlepas dari berbagai legenda tampak tidak menjanjikan. bahkan pengamat objektif yang manapun barangkali akan menyimpulkan bahwa Muhammad adalah calon yang paling tidak mungkin untuk mengemban kenabian karena bintang apapun Yang menaungi kelahirannya tidak tampak benderang .

By. Lesley Hazleton.

Rabu, 06 November 2019

BERHATI HATILAH TERHADAP SIKAP TAKFIRI

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah Bersama Khalifah Nya

Keyakinan Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari Terkait Masalah Takfir

Di antara dasar aqidah salaf shalih ahlussunnah Wal jamaah bahwa mereka tidak mengkafirkan orang tertentu dari kaum muslimin yang melakukan sesuatu yang dinilai sebagai kekafiran kecuali setelah adanya iqoomatulhujjah, yang menjadikan kafir Siapa yang meninggalnya dengan membawa keyakinan Itu Hingga. Syarat-syarat nya harus terpenuhi, tidak ada halangan halangan, dan tidak ada Subhat dari orang yang bodoh atau orang yang menakwilkan. seperti dimaklumi bahwa itu merupakan perkara tersembunyi yang memerlukan pengkajian dan penjelasan berbeda dengan hal-hal yang bersifat Zahir, misalnya mengingkari keberadaan Allah azza wa jalla,mendustakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengingkari risalahnya secara umum dan posisinya sebagai penutup kenabian. Ahlussunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa, jika hatinya merasa tentram dengan keimanannya.

Mereka Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin karena segala dosa, walaupun dosa-dosa tersebut termasuk dosa-dosa besar selain syirik.
Mereka tidak menghukum yg pelakunya sebagai kafir, tetapi menghukuminya sebagai fasik dan kurang iman selagi ia tidak menganggap halal dosanya. Karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
القرآن الكريم - تفسير الطبري - تفسير سورة النساء - الآية 48

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًۢا http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura4-aya48.htmlبَعِيدًا



Hindari Tuduhan Kafir/Musyrik Kepada Saudaramu

Nusantaramengaji.com. - Dalam Islam, menuduh kafir/musyrik sesama muslim merupakan tuduhan yang serius yang berakibat pada penuduhnya sendiri. Seorang muslim tidak boleh mengkafirkan sudaranya selama belum jelas kemurtadan atau kekafirannya.  Karena itu, takfir/pengkafiran merupakan sikap yang wajib dihindari selama mengaku dirinya muslim.
Kafir dan Musyrik adalah dua dosa besar dalam Islam. Kafir memiliki banyak bentuk, dimana setiap seseorang berbuat kekafiran maka hilanglah keimanannya. Artinya Kafir adalah lawan kata dari Iman. Maka jika seseorang tidak mempercayai rukun iman yang 6, atau ingkar pada rukun Islam yang 5 dan lainnya, maka ia disebut Kafir. Sedangkan Musyrik hanya ada 1 kriteria, yaitu berkeyakinan ada Tuhan selain Allah atau meyakini adanya Tuhan bersama Allah. (Abu Hilal al-'Askari, al-Furuq al-Lughawiyyah 454)
Fenomena menuduh kafir tidak hanya terjadi belakngan ini, tapi sudah terjadi sejak dahulu. Misalnya Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M), beliau pun pernah dituduh kafir oleh kelompok yang anti dengan tasawwufnya Imam al-Ghazali. Maka beliau memberi bantahan dengan mengarang sebuah kitab yang bernama Faishal at-Tafriqah yang intinya melarang menuduh kafir kepada orang lain lantaran perbedaan madzhab. Menurut beliau orang yang disebut Kafir adalah orang yang inkar (tidak percaya) dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadis.
Tuduhan kafir/musyrik akan berakibat pada penuduhnya sebagaimana dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Nabi SAW bersabda:
إذا كفر الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما
Artinya: Apabila seorang pria mengafirkan saudaranya maka tuduhan itu akan kembali pada salah satunya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 2/49, meriwayatkan versi lain dari hadits di atas sebagai berikut:
أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال ، وإلا رجعت عليه
Artinya: Siapapun yang berkata pada saudaranya, "Hai kafir!" maka tuduhan itu kembali pada salah satunya apabila ia sebagaimana yang dikatakan. Apabila tidak, maka tuduhan itu kembali pada penuduh.
Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda:
ليس من رجل ادعى لغير أبيه ، وهو يعلمه إلا كفر . ومن ادعى ما ليس له فليس منا ، وليتبوأ مقعده من النار . ومن دعا رجلا بالكفر ، أو قال : عدو الله ، وليس كذلك ، إلا حار عليه
Artinya: Tidak ada orang yang mengaku pada selain ayahnya, padahal ia tahu, kecuali kufur. Barangsiapa yang mengaku sesuatu yang bukan miliknya, maka dia bukanlah bagian dari kita dan siaplah tempatnya di neraka. Barangsiapa yang menuduh seorang lelaki dengan kufur, atau berkata, "Musuh Allah" padahal kenyataannya tidak seperti itu maka tuduhan itu akan kembali pada penuduh.
Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 2/49, ada lima penafsiran para ulama tentang maksud hadits di atas. Dua di antaranya adalah sebagai berikut:
معناه رجعت عليه نقيصته لأخيه ومعصية تكفيره
Pertama, tuduhan itu kembali pada si penuduh dan maksiatnya mengkafirkan sesama.
معناه فقد رجع عليه تكفيره ; فليس الراجع حقيقة الكفر بل التكفير ; لكونه جعل أخاه المؤمن كافرا ; فكأنه كفر نفسه ; إما لأنه كفر من هو مثله ، وإما لأنه كفر من لا يكفره إلا كافر يعتقد بطلان دين الإسلام
Kedua, arti kalimat "pengafirannya kembali padanya (si penuduh)" adalah kembali bukan dalam makna kufur hakiki tapi takfirnya itu. Karena ia telah menuduh saudaranya sebagai kafir maka seakan dia mengafirkan dirinya sendiri, baik karena sikap sudaranya yang seperti orang kafir atau karena saudaranya itu memang sudah betul-betul kafir yang berkeyakinan batalnya agama Islam.
Inti dari penjelasan dari Imam Nawawi ini adalah bahwa hadits di atas tidak menghukumi orang yang menuduh kafir sebagai kafir juga. Tetapi hadits itu hanya menceritakan fakta bahwa orang yang menuduh kafir itu terkadang tuduhannya benar adanya -yakni yang dituduh memang murtad-terkadang tidak sesuai fakta. Dan apabila tidak sesuai fakta, maka hukumnya berdosa.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 10/466, memperjelas pendapat Imam Nawawi di atas:
والحاصل أن المقول له ان كان كافرا كفرا شرعيا فقد صدق القائل وذهب بها المقول له وإن لم يكن رجعت وإن لم يكن رجعت للقائل معرة ذلك القول وإثمه. كذا اقتصر على هذا التأويل في رجع، وهو من أعدل الأجوبة
Artinya: Alhasil apabila orang yang dituduh itu memang betul-betul kafir secara syariah maka tuduhan si penuduh benar... Apabila tuduhannya tidak benar maka keburukan dan dosa tuduhan itu kembali pada yang mengatakan. Inilah ringkasan pemahaman kata "raja'a" (kembali). Ini adalah jawaban yang paling adil.
Kesimpulan dari uraian di atas dapat difahami secara lebih jelas dan tegas dari penyataan Ibnu Abdil Bar dalam Al-Istidzkar, hlm. 8/548 sebagai berikut:
قال أبو عمر: باء بها، أي احتمل وزرها. ومعناه أن الكافر إذا قيل له يا كافر فهو حامل وزر كفره، ولا حرج على قائل ذلك له، وكذلك القول للفاسق يا فاسق. وإذا قيل للمؤمن يا كافر فقد باء قائل ذلك بوزر الكلمة واحتمل إثما مبينا وبهتانا عظيما، إلا أنه لا يكفر بذلك؛ لأن الكفر لا يكون إلا بترك ما يكون به الإيمان. وفائدة هذا الحديث النهي عن تكفير المؤمن وتفسيقه
Artinya: Abu Umar berkata: "Tuduhannya kembali" maksudnya dia menanggung dosanya. Maknanya, bahwa orang kafir apabila dikatakan padanya "Hai kafir!" maka dia (si kafir) menanggung dosa kufurnya. Dan tidak berdosa bagi yang mengatakannya. Begitu juga (tidak berdosa) ucapan pada orang fasiq "Hai Fasiq!" Apabila dikatakan pada orang muslim "Hai kafir!" maka yang mengatakan perkataan itu kembali dengan dosa perkataan tersebut dan menanggung dosa yang besar. Namun dia tidak kafir. Karena kekafiran itu tidak terjadi kecuali dengan meninggalkan keimanan. Faidah hadits ini adalah larangan mengafirkan dan memfasikkan sesama muslim.
Intinya, orang muslim yang menyebut sesama muslim dengan sebutan 'kafir' hukumnya berdosa besar tapi statusnya tetap muslim, tidak menjadi kafir atau murtad. Janganlah karena kita merasa memiliki pendapat tertentu dan diakui kesalehannya di hadapan manusia lantas dengan mudah menuduh kafir/musyrik orang yang tidak sepaham dengann kita.
Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya yang paling Aku takutkan bagi kalian adalah seseorang yang membaca al-Quran, sehingga ketika dia terlihat kebesarannya, pembelaannya untuk Islam, kemudian ia terlepas dan mencampakkannya di belakangnya, membawa pedang kepada tetangganya dan menuduhnya syirik. Saya (Khudzaifah) bertanya: Ya Nabiyyallah, siapakah di antaranya yang lebih berhak pada kesyirikan, yang dituduh ataukah yang menuduh? Rasulullah Saw menjawab: Yang menuduh" (HR Ibnu Hibban 1/282 dari Khudzaifah, dengan sanad yang hasan)
Oleh karena itu, jika ada sikap atau menjumpai saudara kita yang menurut pandangan kita cenderung mirip atau mengarah pada kekafiran maka yang sangat dianjurkan adalah dengan tetap memberi penilaian yang menetapkan dia seorang muslim. Selagi ada pendapat ulama yang meringankan atas status seorang muslim, ambil pendapat tersebut. Ali Al-Qari dalam Syarah Al-Syifa, hlm. 2/499, berkata:
قال علماؤنا، إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى إبقائه على إسلامه فينبغي للمفتى والقاضي أن يعملا بذلك الوجه، وهو مستفاد من قوله عليه السلام: ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم، فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله، فإن الأمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة. رواه الترمذي والحاكم
Artinya: Ulama menyatakan: Apabila ada 99 pendapat yang mengindikasikan kafirnya seorang muslim namun ada satu pendapat yang menyatakan keislamannya maka hendaknya bagi mufti dan hakim untuk mengambil pendapat yang satu tersebut. Ini berdasarkan pada sabda Nabi: Laksanakan had semampumu. Apabila terdapat jalan keluar, maka bebaskan dia. Imam yang salah dalam memaafkan itu lebih baik daripada salah dalam menghukum. (Hadits riwayat Tirmidzi dan Hakim)
  • Dengan demikian, janganlah ringan lidah menuduh saudara muslim lainnya dengan kata-kata/stigma kafir/musyrik selama belum jelas kemurtadannya karena hal tersebut berakibat pada dosa dan kembali pada penuduhnya. Kafir dan tidaknya seseorang itu hanya Allah yang tahu, kita tidak punya hak untuk menghakiminya selama ia bersyahadat maka ia seorang muslim kecuali ada dalil qath’iy yang mengindikasikan ia betul-betul sudah kafir/musyrik(tidak muli tafsir). Seorang muslim bagaimanapun juga sikapnya (sekalipun fasik) selama belum meyatakan keluar dari Islam maka ia tetap muslim dan tidak boleh diganggu harta dan jiwanya. Wallahu A’lam bisshowab...

SIKAP AHLUSSUNNAH TERHADAP MASALAH TAKFIR

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah bersama Khalifah Nya

https://goo.gl/search/%D8%A8%D8%B3%D9%85%D9%84%D8%A9
بسملة,


khilafatul muslimin juga mengikuti sebagaimana dasar-dasar yang ditetapkan oleh ulama ulama ahlussunnah Wal jamaah masalah takfir.


Hakikat Iman, Kufur Dan Takfir Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah Dan Menurut Firqah-Firqah Yang Sesat(2)


HAKIKAT IMAN, KUFUR, DAN TAKFIR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DAN MENURUT FIRQAH-FIRQAH YANG SESAT(2)
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
AWAL MUNCULNYA PENGKAFIRAN TANPA DALIL DI TENGAH-TENGAH UMMAT INI DAN BERBAGAI SEBABNYA
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Karenanya, wajib berhati-hati dalam mengkafirkan kaum Muslimin karena berbagai dosa dan kesalahan. Sebab hal itu adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam. Para pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah, dan harta mereka.”[1]
Kelompok yang pertama kali menampakkan pengkafiran tanpa haq (tanpa bukti yang benar) adalah Khawarij. Sebagian besar mereka, dahulunya adalah orang-orang yang bergabung bersama pasukan ‘Ali pada perang Shiffin. Maka tatkala ‘Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma bersepakat untuk melakukan tahkim (yaitu, mengangkat satu orang dari kedua belah pihak sebagai hakim atau penengah) –peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan 37 H– Khawarij mengingkari (menolak) perkara tahkim ini. Mereka melampaui batas dalam pengingkarannya terhadap ‘Ali. Mereka berkata kepadanya: “Engkau telah menjadikan manusia sebagai hakim terhadap Kitabullah, tidak ada hukum kecuali milik Allah,” kemudian secara terang-terangan mereka mengkafirkannya.[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada para sahabatnya mengenai Khawarij dan kemunculannya, dan beliau memotifasi mereka untuk memeranginya. Di dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari hadits ‘Ali Radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ، سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ، يَقُولُوْنَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ، لاَ يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيْتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ، فَإِنَّ فِيْ قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِِ.
Akan keluar suatu kaum di akhir zaman. Mereka berusia muda dan berpemahaman dangkal. Mereka berkata dengan perkataan sebaik-baik makhluk. Iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, laksana anak panah yang melesat menuju buruannya. Maka di mana saja kalian bertemu dengan mereka, bunuhlah mereka. Karena dalam pembunuhan mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi orang yang membunuhnya.[3]
Imam Abu Bakar al-Khallal rahimahullah membawakan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, bahwasanya beliau berkata: “Khawarij adalah satu kaum yang jelek. Aku tidak menyetujui adanya satu kaum yang lebih jelek daripadanya. Telah shahih hadits-hadits tentang mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari sepuluh jalan periwayatan hadits.”[4]
Khawarij adalah kelompok pertama yang dikenal dengan pengkafiran terhadap dosa besar dan pengkafiran terhadap umat Islam tanpa haq (bukti yang benar). Akan tetapi (hal ini) tidak terbatas pada mereka saja, bahkan kaum Rafidhah ikut dengan mereka, mereka lebih jelek daripada Khawarij –dalam hal pengkafiran dan selainnya dari berbagai keyakinan mereka– dimana mereka mengkafirkan orang-orang terpilih dari umat ini, yaitu para sahabat nabi. Mereka meyakini pemurtadan para sahabat (dengan sangkaan mereka) karena meninggalkan atau tidak memilih ‘Ali Radhiyallahu anhu sebagai khalifah.
Disebutkan dalam kitab al-Kafi (kitab induk Syi’ah) yang merupakan kitab paling shahih dan terpercaya menurut mereka, dari Abu Ja’far – ini hanya pengakuan mereka belaka– bahwasanya ia berkata, “Semua manusia menjadi murtad setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kecuali tiga orang”. Saya berkata,“Siapa tiga orang itu?” Ia menjawab,”Al-Miqdad bin al Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.”[5]
Rafidhah adalah ahlul bid’ah yang paling ekstrim dalam pengkafiran, sehingga mereka mengkafirkan setiap orang yang menyelisihinya; karena itulah mereka mengkafirkan sebagian besar para sahabat, Tabi’in dan seluruh imam pemuka agama. Mereka tidak bersikap wara’ (tidak berhati-hati) dalam hal ini, dan hal ini sudah masyhur bagi orang yang mengetahui ‘aqidah mereka serta menelaah kitab-kitab mereka.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,“Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, seluruh kaum Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, yaitu orang-orang yang telah Allah Ta’ala ridhai dan mereka ridha kepada Allah Ta’ala. Dan mereka mengkafirkan sebagian besar ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan orang-orang terdahulu dan kemudian.”[6]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Banyak dari kalangan ahlul bid’ah, seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan Mumatstsilah (Musyabbihah). Mereka berkeyakinan sesat, yang mereka anggap benar dan mereka berpendapat bahwa orang yang telah menyelisihi mereka adalah kafir.”[7]
PENGKAFIRAN YANG TERJADI  PADA ZAMAN INI DAN BERBAGAI SUMBERNYA[8]
Pada zaman ini, sungguh pemikiran takfir telah tersebar begitu dahsyat, melebihi apa yang pernah terjadi pada zaman sebelumnya. Di antara sumber dan sebab tersebarnya adalah, sebagian kelompok dakwah modern yang asasnya bukan Sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan bercampur aduk di dalamnya berbagai bid’ah dan kesesatan, baik dikarenakan buruknya tujuan pendirinya, maupun karena kebodohan mereka tentang agama.
Di antara hasil karya dari jama’ah-jama’ah itu, yaitu munculnya kitab-kitab yang diberi nama dengan “buku-buku pemikiran” yang telah merusak ‘aqidah sebagian besar kaum Muslimin dan menyimpang dari agama yang murni. Buku-buku tersebut memandang masyarakat Islam sekarang ini adalah masyarakat Jahiliyyah yang kafir, yang melemparkan (ajaran) Islam ke belakang dan memeluk kekufuran yang nyata; tidak ada seorang pun yang selamat dari hal itu, baik pemerintah, rakyat, laki-laki dan wanita, orang tua dan pemuda. Yaitu dari apa yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam keberadaan generasi sekarang ini yang terdidik di atas buku-buku ini, maka tumbuhlah di dalam jiwa mereka benih-benih pengkafiran secara umum terhadap masyarakat Islam sekarang ini, sehingga menjadi ‘aqidah yang menancap kuat bagi mereka dan menjadi keyakinan. Hal ini adalah fitnah yang besar dan menimbulkan berbagai kejelekan dan kerusakan di mana-mana.
Saya tidak bermaksud membatasi dan tidak juga memperluas dalam memberikan contoh mengenai apa yang terdapat dalam kitab-kitab ini, berupa ungkapan dan perkataan-perkataan dalam pengkafiran masyarakat Islam sekarang ini. Saya hanya mengisyaratkan pada sebagian contoh dan penguat terhadap apa yang terdapat dalam buku-buku Sayyid Quthb rahimahullah, karena ia adalah pemimpin yang dibesar-besarkan di kalangan Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang terpengaruh dengan manhaj mereka. Juga karena buku-bukunya paling banyak tersebar dan paling banyak memberikan pengaruh daripada selainnya. Sehingga sebagian orang yang menisbatkan diri kepada Sunnah, terkena fitnahnya (mengikuti manhaj Sayyid Quthb). Sesungguhnya kitab-kitab Ikhwanul Muslimin penuh dengan berbagai ibarat (ungkapan) yang mengkafirkan para pemimpin kaum Muslimin dan masyarakat Islam sekarang ini.[9]
Di antara ucapan Sayyid Quthb tentang pengkafiran masyarakat Islami sekarang ini tanpa terkecuali, terdapat dalam kitab Ma’alim fith-Thariq,”Hakikat permasalahannya adalah permasalahan kufur dan iman, permasalahan syirik dan Tauhid, dan permasalahan Jahiliyyah dan Islam; dan ini adalah hal yang harus jelas. Sesungguhnya manusia bukanlah kaum Muslimin -sebagaimana pengakuan mereka- dan mereka hidup di kehidupan Jahiliyyah. Apabila ada di antara mereka yang senang menipu dirinya sendiri atau menipu yang lainnya, lalu ia meyakini bahwa Islam dapat tegak dengan adanya Jahiliyyah ini, maka baginya hal itu. Akan tetapi, ketertipuannya atau penipuannya tidak mengubah sedikit pun hakikat kenyataan yang ada. Ini bukanlah Islam dan mereka bukanlah kaum Muslimin.”[10]
Sebagian pembesar pemimpin Ikhwanul Muslimin meyakini hal ini dan mereka menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka.
Al-Qardhawi berkata,”Pada fase ini telah muncul kitab-kitab asy-Syahid Sayyid Quthb yang menjelaskan fase terakhir dari pengkafirannya, yang berujung pada pengkafiran masyarakat, memutuskan hubungan dengan orang lain dan menyerukan jihad terhadap seluruh manusia.”[11]
‘Ali Juraisyah juga mengatakan, bahwa para takfiriyyin (orang yang gampang mengkafirkan orang lain), pada asalnya adalah dari kelompok Ikhwanul Muslimin, kemudian, mereka memisahkan diri dan mengkafirkan mereka (kelompok Ikhwanul Muslimin).
Sayyid Quthb berkata di dalam kitabnya, Fi Zhilalil Qur`an: “Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana mulanya. Datang agama ini dengan La ilaha illallah, sesungguhnya manusia telah murtad kepada penghambaan kepada hamba sampai pada penyimpangan agama. Mereka telah mundur ke belakang dari kalimat La ilaha illallah . . . manusia seluruhnya termasuk di dalamnya. Orang-orang yang mengumandangkan adzan di timur dan di barat dengan kalimat La ilaha illallah, tidak ada petunjuk, tidak ada kenyataan . . . mereka lebih berat dosanya dan lebih keras siksanya pada hari Kiamat, karena mereka telah murtad menuju penghambaan kepada manusia sesudah jelas petunjuk bagi mereka, dan sesudah mereka berada di dalam agama Allah Ta’ala.”[12]
SEBAB-SEBAB MUNCULNYA PENGKAFIRAN TANPA HAQ DI TENGAH-TENGAH UMMAT ISLAM[13]
1. Bodoh terhadap hakikat agama.
Bodoh tentang agama Islam merupakan sebab yang paling besar dari para takfiriyyun (orang-orang yang suka mengkafirkan) untuk mengkafirkan kaum Muslimin tanpa dalil dan tanpa hujjah dari syari’at.  Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Kebodohan adalah akar segala kerusakan dan kejahatan.”[14]
Ahlul bid’ah, mereka adalah, orang-orang yang bodoh dan zhalim. Sedangkan Ahlus Sunnah adalah orang yang berilmu, adil, dan sayang kepada makhluk.
2. Mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari nash-nash syar’i.
Takfiriyyun, mereka adalah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Padahal Allah Ta’ala melarang mengikuti hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [al-Maidah/5:49].
3. Takwil (penafsiran) yang rusak.
Takwil yang rusak adalah sebab yang hakiki, yang mendorong takfiriyyun mengkafirkan kaum Muslimin dengan tidak benar. Mereka menggunakan dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, kemudian mereka tafsirkan menurut hawa nafsu mereka. Para ulama mengatakan bahwa at-takwil adalah sebab setiap kejelekan dan fitnah di tengah ummat Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,”Khawarij mentakwilkan ayat-ayat al Qur`an, yang mereka meyakininya dan menjadikan orang yang menyalahinya adalah kafir.”[15]
4. Talbis (penyamaran) setan.
Sesungguhnya setan telah menggoda dan menipu takfiriyyin untuk mengkafirkan kaum Muslimin dengan tidak benar.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Majmu’ Fatawa’ (XIII/31).
[2] Lihat al-Farqu Bainal-Firaq (halaman 51-54), al-Bidayah wan-Nihayah (VII/295), Majmu’ Fatawa’ (XIII/208).
[3] HR al Bukhari (no. 6930) dan Muslim (no. 1066).
[4] As-Sunnah, Imam Abu Bakar al-Khallal (I/145).
[5] Ar-Raudhah minal Kafi (VIII/235-236).
[6] Majmu’ Fatawa’ (XXVIII/477).
[7] Majmu’ Fatawa’ (XII/466-467).
[8] Dinukil dengan ringkas dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Darul Imam al-Bukhari, Cetakan I Tahun 1426 H, halaman 37-40.
[9] At-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38.
[10] Ma’alim fith-Thariq, halaman 158. Dinukil dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38-39.
[11] Aulawiyyat Harakah Islamiyyah, halaman 110. Dinukil dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38-39.
[12] Tafsir fi Zhilalil-Qur`an (IV/2122), dinukil dari At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal. 39).
[13] Lihat At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal. 45-48).
[14] Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, halaman 101.
[15] Majmu’ Fatawa’ (XX/164
Dan Saya Selaku Warga Khilafatul Muslimin Pun Mengikuti Jejak Aqidah ASY  'ARIYYAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH DALAM KEHATI HATIAN TERKAIT MASALAH TAKFIR INI


Sikap mudah mengafirkan sesama muslim banyak berjangkit di kalangan umat. Yang paling menonjol adalah pengkafiran terhadap pemerintah muslim karena mereka tidak menerapkan hukum Islam. Tak sedikit di antara mereka yang menjadikan sikap ini sebagai tanda militan atau tidaknya seorang muslim. Siapa yang tidak mengafirkan pemerintah muslim yang tidak berhukum dengan hukum Islam, maka masih diragukan militansinya.

Sejarah Munculnya Fitnah Takfir
Bila menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudah (dalam) mengafirkan seorang muslim ini telah lama ada, yaitu dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Ia adalah fitnah yang telah lama ada, yang dicetuskan oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hlm. 12)
Mereka telah berani mengafirkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dan orang-orang yang bersamanya, mengafirkan orang-orang yang memerangi ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dalam Perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu), dan akhirnya mengafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, 12/296—297)

Sebab Munculnya Fitnah Takfir
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Sejauh apa yang saya pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara:
  1. Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.
  2. (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’i (tidak mengikuti Sabilul Mukminin, jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, –pen.).
Siapa saja menyimpang dari (jalan) jamaah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabdanya dan telah disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala (dalam al-Qur’an), ia telah menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Yang saya maksud adalah firman-Nya,

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥

“Dan barang siapa mengikuti selain jalan orang-orang mukmin[1], kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Kemudian beliau berkata, “Dari sinilah banyak sekali kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang dari jalan as-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hlm. 13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hlm. 19)
Demikian pula asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Zhahiratut- Tabdi’ wat-Tafsiq wat-Takfir wa Dhawabithuha, hlm. 14)

Kehati-hatian Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam Masalah Takfir
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah atau as-Salafiyyun adalah orang-orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir. Merekalah yang sejak dahulu hingga kini memerangi fitnah dan pemikiran tersebut. Kitab-kitab dan fatwa-fatwa para ulama cukup sebagai bukti dan saksi, sehingga sangat ironis apa yang diopinikan oleh musuh-musuh Islam bahwa motor dari fitnah takfir ini adalah as-Salafiyyun.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi diri agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Hendaknya berhatihati dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.” (ad-Durar as-Saniyyah, 8/217, dinukil dari at-Tahdzir Minat Tasarru’ fit Takfir karya Muhammad bin Nashir al-‘Uraini, hlm. 30)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pemberian vonis kafir dan fasiq bukan urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Karena ia termasuk hukum syariah yang referensinya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila al-Qur’an dan as-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Hukum asal bagi seorang muslim yang secara zahir tampak ciriciri keislamannya adalah tetap berada di atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i tentang adanya sesuatu yang menghapusnya. Tidak boleh bermudah-mudahan mengafirkan seorang muslim atau menghukuminya fasiq.” (al-Qawa’idul Mutsla fi Shifatillahi wa Asmaihil Husna, hlm. 87—88)
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah wal Jamaah sangat berbeda dengan orang-orang Khawarij (Jamaah Takfir). Namun hal ini tidak menjadikan mereka seperti Murji’ah yang menyatakan bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sama sekali terhadap keimanan seseorang. Ahlus Sunnah wal Jamaah akan menjatuhkan vonis kafir tersebut (dengan tegas) kepada seseorang, setelah benarbenar terpenuhi syarat-syaratnya[2] dan tidak ada lagi sesuatu yang dapat menghalangi dari vonis tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ada dua syarat[3] (yang harus diperhatikan) untuk memvonis kafir seorang muslim.
  1. Adanya dalil (syar’i) yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekafiran.
  2. Vonis ini harus diberikan (secara tepat) kepada yang berhak mendapatkannya, yaitu seseorang yang benar-benar mengerti (menyadari) bahwa apa yang ia kerjakan merupakan suatu kekafiran dan sengaja mengerjakannya. Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah kekafiran, ia tidak berhak divonis kafir[4]. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥

“Barang siapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِلَّ قَوۡمَۢا بَعۡدَ إِذۡ هَدَىٰهُمۡ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَۚ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga Dia jelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (at-Taubah: 115)

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا ١٥

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), ia tidak diberi uzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya. Sungguh, saat itu ia tidak mendapat uzur.
Namun, jika seseorang tidak bermaksud mengerjakan perbuatan kekafiran, ia tidak divonis kafir. Contohnya:
  • Seseorang yang dipaksa untuk melakukan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.[5]
  • Seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.”[6] Orang ini salah ucap karena sangat gembira.
Namun, bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama).[7] (Majmu’ Fatawa wa Rasail, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125—126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hlm. 70—71)

Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah subhanahu wa ta’ala?
Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Yang benar, berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala (dalam masalah tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya (maksudnya, karena condong kepada selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala, –pen.) ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah subhanahu wa ta’ala, kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam, –pen.).
Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak wajib—dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah subhanahu wa ta’ala—dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam, –pen.). Jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah subhanahu wa ta’ala lalu ia salah dalam memutuskannya, ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran, –pen.).” (Madarijus Salikin, 1/336—337)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat al-Maidah ayat 44, “Berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala termasuk perbuatan orang kafir, terkadang merupakan bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila disertai keyakinan tentang halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam –pen), namun ia pantas mendapatkan azab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hlm. 195)
Beliau juga berkata tentang tafsir Surat al-Maidah ayat 45, “Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, ‘Kufrun duna kufrin (kufur kecil, –pen.), zhulmun duna zhulmin (kezaliman kecil, –pen.), dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil, –pen.).’ Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman, -pen.) di saat ada unsur keyakinan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman, -pen.) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hlm. 196)
Asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kezaliman, dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala sebagai wujud penentangan terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala, maka kezaliman, kefasikan, dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, kekafiran, kezaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari Islam.” (Adhwa-ul Bayan, 2/104).
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala, ia tidak keluar dari empat keadaan:
  1. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,’ dia kafir dengan kekafiran yang besar.
  2. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,’ maka dia kafir dengan kekafiran yang
  3. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini, namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama, namun boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala,’ dia kafir dengan kekafiran yang besar.
  4. Dia berkata, ‘Aku berhukum dengan hukum ini,’ namun dia yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan, berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya. Namun, dia bermudah-mudahan (dalam hal ini) atau dia kerjakan karena perintah atasannya, dia kafir dengan kekafiran kecil yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar.” (al-Hukmu Bighairima Anzalallahu wa Ushulut Takfir, hlm. 71—72, dinukil dari at-Tahdzir minat Tasarru’ fit Takfir, 21—22)

Mencermati Fenomena Takfir
Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis”, bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya.
Bahkan, fitnah ini pun dijadikan (oleh Jamaah Takfir dari berbagai jenisnya) sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan landasan bolehnya mengadakan pengeboman-pengeboman di negerinegeri kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Betapa ngerinya fitnah ini, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya, “Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya, ‘Wahai orang kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya. Namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” HR . Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, dan 5824)
Buku-buku para tokoh Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyah pun ternyata sangat berperan di dalam memicu berkembangnya fitnah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir al-‘Uraini berkata, “Sesungguhnya di antara media terkuat yang mereka gunakan untuk menyebarkan pemikiran menyimpang lagi menyesatkan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala ini adalah buku-buku yang dihiasi dengan judul-judul yang menarik untuk mengesankan kepada para pembaca bahwa buku itu baik padahal isinya racun yang mematikan.” (at-Tahdzir minat Tasarru’ fit Takfir, hlm. 51)
Di antaranya Sayyid Quthub dalam Ma’alim fith-ThariqFi Zhilalil Qur’anal-‘Adalah al-Ijtima’iyyah, ataupun al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.[8] Hal ini disaksikan oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, seperti:
  • Yusuf al-Qaradhawi, ia berkata, “Pada fase ini telah muncul buku-buku tulisan Sayyid Quthub yang merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran masyarakat dan…, yang demikian itu tampak jelas dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an cetakan ke-2, Ma’alim Fith Thariq yang kebanyakannya diambil dari azh-Zhilal, dan al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.” (Aulawiyyatul Harakah Al-Islamiyyah, hlm. 110. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hlm. 102)
  • Farid Abdul Khaliq, ia berkata, “Telah kami singgung dalam pernyataan yang lalu bahwa pemikiran takfir (dewasa ini) bermula dari sebagian pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang meringkuk di LP al-Qanathir di akhir-akhir tahun lima puluhan dan awal-awal tahun enam puluhan, yang mana mereka terpengaruh dengan pemikiran Sayyid Quthub dan karya-karya tulisnya. Mereka menimba dari karya-karya tulis tersebut bahwa masyarakat ini berada dalam kejahiliahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan mereka terhadap selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala” (al-Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq, hlm. 115. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hlm.103)
Demikian pula tulisan-tulisan Abul A’la al-Maududi dalam al-Usus al-Akhlaqiyyah lil Harakah al-Islamiyyah[9], Muhammad Surur Zainal Abidin dalam Majalah as-Sunnah dan Manhajul Anbiya fid Da’wati Ilallah, Safar al-Hawali dalam Wa’d Kissinger, Salman al-‘Audah dalam kaset Limadza Yakhafuna minal Islam? Humum Fataat Multazimah, Minhuna… Wahunaka[10], dan sebagainya.
Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk menjauhkan diri dari buku-buku dan kaset-kaset tersebut, serta berusaha untuk menimba ilmu dari buku-buku dan kaset-kaset para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bersih dari berbagai syubhat dan pemikiran menyimpang. Demikian pula toko-toko buku hendaknya tidak lagi menjual buku-buku tersebut, sebagaimana yang diserukan oleh asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali di dalam kitabnya al-Irhab wa Atsaruhu ‘Alal Afrad wal Umam, hlm. 128—142.
Di antara hal lain yang perlu dijadikan refleksi adalah tidak dipahaminya perbedaan antara takfir secara mutlak (umum) dengan takfir mu’ayyan (untuk orang tertentu), yang berakibat setiap ada yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran langsung divonis sebagai orang kafir dan dinyatakan telah keluar dari Islam.
Para ulama rahimahumullah membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu’ayyan. Mereka seringkali menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti, “Barang siapa mengatakan atau melakukan perbuatan demikian dan demikian, maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya).” Namun, ketika masuk kepada takfir mu’ayyan (untuk orang-orang tertentu), mereka sangat berhati-hati. Karena tidak semua yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran berhak divonis kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Suatu perkataan kadangkala termasuk bentuk kekafiran, maka pelakunya boleh dikafirkan secara umum, dengan dikatakan, ‘Barang siapa mengatakan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya, –pen.).’ Namun untuk pribadi orang yang mengatakannya tidaklah langsung divonis kafir sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujah.” (Fitnatut Takfir, hlm. 49)
Beliau juga berkata, “Tidaklah setiap yang mengatakan kekafiran harus divonis kafir, sampai benar-benar terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi vonis tersebut. Misalnya seorang yang menyatakan, ‘Sesungguhnya khamr atau riba itu halal,’ karena ia baru masuk Islam (belum tahu ilmunya, –pen.), atau hidup di daerah terpencil (tidak tersentuh dakwah, –pen.). Demikian pula mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu bahwa itu dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…, (orang yang demikian) tidak dikafirkan sampai benar-benar disampaikan kepadanya hujah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ

Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.’ (an-Nisa: 165)
Allah telah mengampuni segala kekeliruan dan kealpaan umat ini.” (Majmu’ Fatawa, 35/165—166)
Demikianlah fenomena fitnah takfir dan bahayanya, berikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menganugerahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita, serta melindungi kita semua dari berbagai fitnah, baik yang tampak maupun tidak.
Amiin, Ya Mujiibas Sailiin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

[1] Al-Imam Ibnu Abi Jamrah al-Andalusi berkata, “Para ulama telah menjelaskan makna firman Allah (di atas), ‘Sesungguhnya yang dimaksud orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama dari umat ini…’.” (al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah hlm. 36)
[2] Syarat-syarat dikafirkannya pelaku perbuatan kekafiran ada empat (lihat Mauqif Ahlis Sunnah): (1) Orang tersebut berakal; (2) Kekafiran tersebut terjadi dengan keinginannya; (3) Telah sampai kepadanya hujah yang dengan menyelisihinya dia dikafirkan; (4) Dia melakukannya bukan karena takwil terhadap nash. Tidak terpenuhinya salah satu dari syarat di atas menghalangi dia dikafirkan.
[3] Syarat di sini ialah syarat terhadap perbuatan atau ucapan kekafiran itu.
[4] Sementara itu, dalam Syarh Kasyfisy Syubuhat (hlm. 57-58), asy-Syakh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa tidak dipersyaratkan ia harus tahu bahwa hal itu adalah kekafiran. Bahkan, cukup apabila ia tahu bahwa perkara itu terlarang (haram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kaffarah terhadap pelaku jima’ pada siang hari bulan Ramadhan apabila ia tahu bahwa hal itu haram meski ia tidak tahu adanya kaffarah. Begitu pula pezina yang muhshan (telah menikah) dihukum rajam apabila ia tahu tentang keharamannya meski dia tidak tahu adanya hukum rajam.
[5] Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat an-Nahl ayat 106.
[6] HR. Muslim no. 2747 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
[7] Dalilnya adalah surat at-Taubah ayat 65-66.
[8] Lihat bantahannya dalam kitab Adhwa Islamiyah ‘ala Aqidati Sayyid Quthub wa Fikrihi karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali (hlm. 71-107).
[9] Lihat bantahannya dalam kitab Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallah fihil Hikmatu wal ‘Aqlu karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali (hlm. 139-152).
[10] Lihat bantahannya dalam kitab al-Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (hlm. 86-100).

BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH

BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN

<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >>  اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...