AQIDAH Ahli Sunnah NU Terkait Allah SWT Ber Istiwa' Di Atas Arsy
ILMU TAUHID
Bolehkah Mengatakan Allah Bersemayam di Atas Arasy?
Ahad 26 Agustus 2018 12:30 WIB

Memiliki maklum dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah bahwa Allah mengizinkan jisimatau eksistensi fisikal yang memiliki volume. Tak dapat dihitung jumlah ulama yang memustahilkan makna fisikal ( jismiyah ) dari Allah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan sepenuhnya mengatakan:
إن الأسماء مأخوذة من الشريعة واللغة, وأهل اللغة وضعوا هذا الاسم - أي الجسم - على ذي طول وعرض وسمك وتركيب وصورة وتأليف, والله خارج عن ذلك كله - أي منزه عنه - فلم يجز أن يسمى جسما لخروجه عن معنى الجسمية, ولم يجىء في الشريعة ذلك فَبَطلَ
"Sesungguhnya istilah-istilah yang diambil dari peristilahan syariah dan peristilahan, bahasa ahli ahli yang berlaku istilah ini (jisim) untuk sesuatu yang memiliki panjang, lebar, tebal, susunan, bentuk dan hubungan, Allah yang berbeda dari itu semua. Maka dari itu, tidak boleh mengatakan bahwa Allah adalah jisim sebab Allah tak punya makna jismiyah . Dan, istilah itu juga tidak ada dalam istilah syariat, maka batal menyifati Allah demikian " (Abu al-Fadl at-Tamimy, I'tiqâd al-Imam al-Munabbal Ahmad bin Hanbal, 45).
Lalu bagaimana dengan suatu pertanyaan yang terbilang lumrah di telinga penduduk Indonesia bahwa Allah bersemayam di atas Arasy? Bolehkah mengatakan Allah bersemayam sementara bersemayam adalah tindakan fisikal yang hanya bisa dilakukan oleh jism (materi)?
Jika kita membaca Al-Qur'an terjemahan Kementerian Agama dari surat at-Taha ayat 5 berikut:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Maka akan kita dapati terjemahannya adalah: "Tuhan Yang Mahapemurah yang bersemayam di atas 'Arasy". “Bersemayam di atas 'Arasy adalah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya”. (Lihat: Al Qur'an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama)
Bila kita terima begitu saja terjemahan ini jelas sekali: Ya, Allah bersemayam. Sederhana saja, tak sesederhana ini. Kita tidak dapat membahas masalah aqidah hanya berdasarkan pada terjemahan saja alasan dapat membuat terjemahannya tidak tepat. Dan, tentu saja cara seseorang menerjemah tergantung pada mazhab yang ia anut sehingga terjemahan satu orang bisa berbeda dengan yang lain, ditambahkan ini terkait dengan ayat Al-Qur'an yang memang kaya makna.
Ayat ini menggunakan redaksi istawayang diterjemahkan sebagai "bersemayam". Bila kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersemayam berarti: duduk, berkediaman, tinggal atau jika konteksnya adalah bersemayam dalam hati, maka maknanya adalah terpatri dalam hati. Dengan demikian, dapat dipahami dalam bahasa Indonesia, kalimat “bersemayam di atas 'Arasy” artinya duduk, berdiam atau tinggal di atas Arasy. Kesemua makna ini tanpa diragukan adalah makna jismiyah yang dibutuhkan jauh-jauh dari Allah karena tak pantas bagi kesucian-Nya.
Makna duduk sendiri dikecam sangat keras oleh Imam Syafi'i, bahkan hingga level yang dianggap kafir. Imam Syafi'i menerbitkan diriwayatkan oleh Qadli Husain menjelaskan apa yang dianggap sebagai berikut:
ومن كفرناه من أهل القبلة: كالقائلين بخلق القرآن, وبأنه لا يعلم المعدومات قبل وجودها, ومن لا يؤمن بالقدر, وكذا من يعتقد أن الله جالس على العرش; كما حكاه القاضي الحسين هنا عن نص الشافعي.
“Orang yang kami kafirkan dari kalangan orang yang shalat adalah: mereka yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah hasil dari, bahwa Allah tak mengerti apa yang terjadi sebelumnya, juga orang yang tak percaya takdir, demikian juga orang yang mengatakan bahwa Allah duduk di atas Arasy . Seperti diriwayatkan oleh Qadli Husain dari diskusi literal Imam Syafi'i. ”(Ibnu ar-Rif'ah, Kifâyat al-Nabîh untuk Syarh at-Tanbîh , juz IV, halaman 23).
Tentang vonis kafir terhadap aliran sesat di atas sebenarnya merupakan hal yang disetujui di tengah-tengah ulama, namun semua yang ada di atas adalah sesat. Bagaimana tidak sesat, katakanlah Allah duduk di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah telah menyetujui yang melekat di atas Arasy; mengatakan Allah tinggal atau berdiam di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah punya volume dan ukuran fisik sehingga pasti Allah juga menciptakan. Kesemuanya sama sekali berhasil bagi Allah dan Maha Suci Allah dari semua itu.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mengatakan Allah bersemayam di atas Arasy adalah persetujuan yang tidak tepat. “Bersemayam di atas 'Arasy adalah salah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya” dapat ditanyakan bagaimana bersemayam yang mereka maksudkan bersemayam dalam arti duduk, tinggal atau berdiam yang kesemuanya tidak layak bagi kebesaran dan kesucian Allah, tetapi makna lain yang layak bagi-Nya.
Namun demikian, harus dipilih yang diksi yang dipilih oleh tim penerjemah Kementerian Agama ini kurang tepat sebab kata bersemayam tak punya arti lain dalam kamus bahasa Indonesia selain makna jismiyah tersebut. Diksi yang kurang tepat ini memunculkan salah paham bagi orang awam. Padahal, dalam bahasa Arab kata istawa tak selalu berisi jismiyah , namun bisa diartikan bermacam-macam sesuai konteksnya.
Hal ini berbeda kasusnya dengan kata " yad " yang oleh Kementerian Agama diterjemahkan sebagai "tangan". Meskipun kata "tangan" juga berkonotasi jismiyah , namun dalam KBBI kata ini tak hanya membahas tangan sebagai organ tubuh tetapi juga bisa juga sebagai non- jismiyah seperti arti kekuasaan, meminta dan memperbolehkan penerjemahan kata " yad " menjadi "tangan" lebih bisa dimaklumi. Yang sebaliknya paling aman adalah tidak menerjemah kata-kata yang membentuk sifat khabariyah ini, tetapi menerima apa adanya yang lalu yang berisi catatan tentang berbagai makna yang pantas bagi Allah.
Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember
Tag:
SABTU 25 AGUSTUS 2018 17: 0 WIB
Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah
Seluruh kaum muslimin mendukung bahwa Allah Mahabesar. Kemahabesaran Allah diucapkan berkali-kali dalam sehari dengan bacaan “ Allahu Akbar ” yang menunjukkan ikrar yang tak lebih besar dari Allah. Tapi bagaimanaakah kemahabesaran ini harus dimaknai?
Salah Satu kaidah hearts membahas Sifat Allah Adalah larangan membahasnya seperti membahas TENTANG materi ( Jism ). Kemahabesaran Allah adalah salah satu sifat Allah yang berhak milik-Nya yang dapat diperbandingkan dengan perbandingan dengan komposisi mana pun. Allah sudah Mahabesar sejak waktu belum berjalan dan sejak seluruh alam tercipta, tetap Mahabesar saat penciptaan-penciptaan tercipta dan tetap Mahabesar sampai kapanpun. Kemahabesaran Allah tidak dapat dimaknai sebagai ukuran fisik yang dapat kita memaknai seluruh hal di jagat raya ini yang semuanya serba material.
Jika kita membahas materi, maka materi mana saja yang bisa dikompilasi ukurannya lebih besar daripada lebih banyak menghabiskan ruang dibandingkan materi lain. Dari sinilah muncul rasio perbandingan antara materi yang satu dengan materi yang lain. Kita bisa membandingkan rasio antara mikroba dengan manusia, antara manusia dan planet bumi, antara planet bumi dengan sistem tata surya, antara sistem tata surya dengan galaksi, antara ini dan itu. Demikianlah cara kita membahas kebesaran seluruh materi di dunia ini; seluruhnya dari perspektif ukuran fisikal atau volume.
Namun apa mulianya yang besar dalam arti ukuran fisik? Apakah semua ukuran itu merupakan batasan? Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan mengenai masalah "besar". Kita tahu bahwa secara fisik tak perlu lebih dari sekadar volume tanpa kemuliaannya, sebagaimana yang diharapkan untuk disembah. Jika sesuatu berhak diagungkan dan disembah hanya karena ukurannya yang besar, maka tentu mikroba dibenarkan untuk menyembah manusia; Manusia juga dibenarkan kompilasi menyembah matahari dan bintang-bintang sebab hal itu memang jauh lebih besar atau dengan kata lain Mahabesar “rasio ukurannya” dibandingkan manusia. Tapi dikembalikan, semua ini salah setuju menurut Al-Qur'an dan Hadits yang memvonis semua yang ukurannya besar sebagai sesat. Sebesar apapun entitas fisik ( jism ),
Bila kita memaknai kebesaran Tuhan dengan perspektif material ini, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah memiliki ukuran dari ujung ke ujung. Kalau Allah punya ukuran yang lalu lalu siapa yang menentukan ukurannya atau yang mendesainnya seperti itu? Bila yang menentukan ukurannya adalah entitas lain artinya Allah punya sekutu, bahkan punya Tuhan yang membentuknya. Bila yang menentukan adalah diri-Nya sendiri maka berarti Allah berevolusi. Bila berevolusi berarti pastilah bukan Tuhan. Ini pertanyaan yang diajukan mengada-ada, pertanyaan yang diajukan naluriah seperti yang diminta al-Qur'an agar kaum muslimin kritis terhadap berbagai objek wisata
Ibnu Mandhur, pakar bahasa terkemuka dalam kitab Lisân al-'Arab-nya mengartikan batasan fisik ( hadd ) sebagai berikut:
وَمُنْتَهَى كُلِّ شَيْءٍ: حَدُّه
"Ujung segala sesuatu adalah hadd / batasannya". (Ibnu Mandhur, Lisân al-'Arab, juz III, 140)
Lantas jika demikian pengertiannya, apakah Allah punya batasan fisik? Ahlusussunnah Wal Jama'ah menyetujui mengatakan: Tidak !. Imam Ahmad, mengumumkan dinukil oleh Syaikh Abu Fadl at-Tamimi yang menjadi salah satu Imam Hanabilah di masanya, yang mengatakan:
والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش, وكان ينكر- الإمام أحمد - على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلها محدودة.
Allah Ta'ala mengambil alih perubahan dan pergantian. Juga tidak memiliki batasan-batasan fisik sebelum Arasy terciptanya dan tidak juga setelah Arasy terciptanya. Imam ahmad juga mengingkari orang yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di segala tempat sebab semua tempat terbatas "(Abu Fadl at-Tamimi, I'tiqâd Imam Ahmad , 41)
Senada dengan itu, Imam di-Thahawi ini yang merupakan rujukan standar Ulama Asy'ariyah (Ahlussunnah Wal Jamaah) juga melibatkan:
وتعالى عن الحدود والغايات ، والأركان والأعضاء والأدوات ، لا تحويه الجهات كسائر المبتدعات
"Maha Suci Allah dari batas-batas ukuran dan ujung-ujung, juga dari segi tak-tak dan anggota badan. Dia tak diliputi berbagai arah seperti halnya menemukan seluruh hal yang baru". (at-Thahawi, Matn al-'Aqîdah at-Thahâwiyah )
Banyak sekali para ulama yang juga menafikan keberadaan fisik, baik besar atau kecil, atas Allah. Di antara mereka ada Imam ar-Razi, al-Baji, Ibnul Arabi, Ibnul Jauzi, al-Qurthuby, al-Baidhawi, an-Nawawi dan lain-lain yang merupakan rujukan umat.
Lalu diputuskan kemahabesaran Allah tidak bisa diselesaikan dalam perspektif ukuran yang pasti terbatas, lalu bagaimana Ahlussunnah memahaminya? Berikut penjelasan Imam al-Ghazali dalam al-Maqshad al-Asna tentang makna sifat al-Kabir :
الْكَبِير هُوَ ذُو الْكِبْرِيَاء والكبرياء عبارَة عَن كَمَال الذَّات وأعني بِكَمَال الذَّات كَمَال الووج
" Al-Kabîr (Mahabesar) maksudnya adalah yang harus keagungan ( kibriya ' ). Keagungan sendiri harus sesuai dengan kesempurnaan dzat. Yang saya maksud kesempurnaan Dzat adalah kesempurnaan eksistensi". (Imam al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnâ , 109)
Kesempurnaan Dzat atau eksistensi diterima oleh Imam al-Ghazali yang melengkapi dua pengertian sebagai berikut:
Sebuah. Al-Kabar dalam arti sudah lama ada. Dalam konteks manusia, mereka disebut kabîr kompilasi wujudnya sudah lama atau dengan kata lain sudah tua. Dalam arti inilah istilah " syaikhun kabîr " dalam al-Qur'an 28:23, maksudnya adalah orang yang sudah tua. Ketika kompilasi membahas Allah, maka makna ini lebih berarti dengan sifat al-Qadîm atau al-Awwal , yaitu membahas-Nya jauh sekali sudah ada sebelumnya semua yang terkait sebab Allah memang tidak punya awal mula. Dalam makna ini, Allah jelas adalah Akbar (paling kabîr ) dari semua hal di jagat ini, dalam artian paling lama sesuai dengannya.
b. Al-Kabar dalam arti hebat. Istilah ini dipakai dalam peristilahan berbagai bahasa di dunia. Istilah "orang besar" dalam bahasa Indonesia dimaksudkannya adalah orang hebat. Demikian juga dengan istilah "bos besar" dalam bahasa Inggris. Buat ini juga yang diusulkan oleh QS. Yusuf: 80, yang mana kata " kabîruhum " di sana bukan yang paling penting fisiknya atau yang paling tua umurnya, tetapi yang paling hebat ilmu dan akalnya. Besar dalam makna ini sama sekali tidak ada yang disetujui dengan ukuran fisik. Dalam makna ini, sudah jelas bahwa Allah adalah Akbar (paling Kabîr ) dari semua hal yang ada, dalam artian paling hebat dan paling berkuasa.
Demikianlah makna kemahabesaran Allah dalam perspektif Aswaja. Berbeda dengan orang-orang yang memaknai kata besar secara fisik, artinya ini sekali tak punya cacat, baik dengan nash, bahasa penuh atau akal. Wallahu a'lam
Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember
JUMAT 24 AGUSTUS 2018 16:30 WIB
Maksud 'Keterpisahan Allah dari Seluruh Makhluk'
Dalam banyak pernyataan ulama salaf, ditemukan suatu keterangan bahwa Allah ﷻ terpisah ( bâ'in ) dari seluruh penemuan. Beberapa orang salah paham dengan makna kata “terpisah” ini. Mereka menyangka yang terpisah secara fisik atau ada jarak secara fisikal antara Tuhan dan makhluk. Di antara yang salah paham adalah Syekh Ibnu Taymiyah yang menyatakan:
وقد اتفق سلف الأمة وأئمتها: على أن الخالق تعالى بائن من مخلوقاته ليس في ذاته شيء من مخلوقاته ولا في مخلوقاته شيء من ذاته. والسلف والأئمة كفروا الجهمية لما قالوا إنه في كل مكان وكان مما أنكروه عليهم: أنه كيف يكون في البطون والحشوش والأخلية? تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ. فَكَيْفَ بِمَنْ يَجْعَلُهُ نَفْسَ وُجُودِ الْبُطُونِ وَالْحُشُوشِ والأخلية وَالنَّجَاسَات
"Sudah menjadi kesepakatan umat dan ulama salaf bahwa Allah Ta'ala terpisah dari penciptaannya. Tak ada dalam Dzat-Nya sesuatu pun dari koleksi-hasil dan tak ada dalam koleksi-temuannya sesuatu dari Dzat-Nya. Para Salaf dan para Imam mengafirkan Jahmiyah tatkala mereka mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat. Dan, di antara argumen mereka untuk menentang Jahmiyah adalah: Bagaimana Allah bisa berada di perut, kebun dan toilet? Maha Suci Allah dari itu semua. Lalu bagaimana dengan orang yang menjadikan Allah sebagai perut, kebun, toilet, najis dan kotoran itu sendiri? ”. (Ibnu Taymiyah, Majmû 'al-Fatâwâ , juz II, halaman 126)
Jadi, dalam pandangan Ibnu Taymiyah di atas, dan juga pandangan kelompok pendaku salafi dewasa ini, keterpisahan ( mubâyanah ) Allah adalah keterpisahan secara fisik antara Dzat Allah dan Dzat rupa. Dalam benak mereka, bila Allah mengambil terpisah dari arti Allah yang ada di dalam diri menciptakan, termasuk di dalam toilet, dalam kotoran dan yang diperlukan bagi Allah. Pengertian Penyanyi tentu bermasalah sebab Berarti Allah dianggap sebagai Jism (Susunan materi) sehingga can terpisah Beroperasi Fisik DENGAN Makhluk Yang Seluruhnya Berbentuk Fisik pula. Hanya dua jism yang mampu membuat jarak satu sama lain sehingga bisa disebut terpisah.
Sementara Ahlussunnah wal Jama'ah sama sekali menolak makna demikian alasan ini merupakan kemustahilan bagi Allah. Seperti dibahas sebelumnya, Allah tak can dikatakan tersambung ATAU terpisah DENGAN alam sebab Allah bukanlah Jism sehingga tak relevan mengatakan ITU. Secara khusus tentang sifat keterpisahan ( mubâyanah ) ini, Imam al-Baihaqi (458 H) menukil dan membenarkan sesuai ketentuan yang ditentukan berikut:
والقديم سبحانه عال على عرشه لا قاعد ولا قائم ولا مماس ولا مباين عن العرش, يريد به: مباينة الذات التي هي بمعنى الاعتزال أو التباعد, لأن المماسة والمباينة التي هي ضدها, والقيام والقعود من أوصاف الأجسام, والله عز وجل أحد صمد لم يلد ولم يولد وَلَمْ [ص: 309] يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ، فَلَا يَجُوزُ عَلَيْهِ مَا يَجُوزُ عَلَى الْأَََََِِِِِْ
"Allah Yang Maha Qadim, Tinggi di atas Arasy, tidak duduk dan tak berdiri, tak diatur dan tak terpisah dari Arasy. Yang dia maksud adalah keterpisahan Dzat dalam makna yang terpisah dan terpisah karena kebalikannya, begitu pula berdiri dan duduk adalah sifat-sifat jism . Sementara Allah Maha Esa, tak beranak dan tak diperanakkan dan tak ada yang setara dengan pun-Nya. Maka tak bisa dikembalikan diberikan apa pun yang boleh diberikan untuk jism ”. (Imam al-Baihaqi, al-Asmâ 'wa as-Shifât , juz 2, halaman 308)
Bagi yang tidak terbiasa dengan kajian ilmu tauhid, tentu saja hal ini agak disetujui. Untuk menyederhanakan masalah, sebenarnya kata بائن atau مباينة dalam bahasa Arab memiliki dua arti yang berbeda. Arti pertama adalah terpisah secara fisik. Makna yang ditolak oleh Ahlussunnah wal Jamaah karena Allah tidak membentuk fisik. Arti kedua berbeda dalam arti betul-betul tak sama. Makna kedua inilah yang dikehendaki ulama salaf dari kalangan Ahlussunnah kompilasi mereka mengatakan bahwa Allah bâ'in 'an al-khalq (terpisah / berbeda dari hasil).
Syekh Ibnu Khaldun (808 H), menjelaskan perbedaan makna dalam kitab Târîkh -nya sebagai berikut:
إنّ المباينة تقال لمعنيين: أحدهما المباينة في الحيّز والجهة ، ويقابله الاتّصال. ونشعر هذه المقابلة على هذه التّقيّد بالمكان إمّا صريحا وهو تجسيم ، أو لزوما وهو تشبيه من قبيل الله وقد نقل مثله عن بعض علماء السلف من التّصريح بهذه المباينة ، فيحتمل غير هذا المعنى. ومن أجل ذلك أنكر المتكلمون هذه المباينة وقالوا: لا يقال في البارئ أنه مباين مخلوقاته, ولا متصل بها, لأن ذلك إنما يكون للمتحيزات ... وأما المعنى الآخر للمباينة, فهو المغايرة والمخالفة فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويته ووجوده وصفاته. ويقابله الاتّحاد والامتزاج والاختلاط. وهذه المباينة هي مذهب أهل الحقّ كلّهم من جمهور السّلف وعلماء الشّرائع والمتكلّمين والمتصوّفنامان
“Sesungguhnya mubâyanah disetujui bagi dua makna. Makna yang pertama adalah keterpisahan dalam batasan dan arah, ini adalah lawan kata dari ketersambungan fisik. Kita menyadari Ungkapan Penyanyi Dari keterkaitannya DENGAN Tempat, apabila Beroperasi gamblang dinyatakan Maka Berarti tajsîm (meyakini Allah Adalah Jism ). Atau hanya terdiri dari perubahan , maka itu adalah tasybîh dari sisi yang ditentukan sebagai Arah untuk Tuhan. Telah dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan mubâyanah ini, maka dikeluarkan bukan makna yang diminta. Karena berhubungan, para ahli kalam mengingkari mubâyanahdalam arti ini dan berkata: Allah tak boleh dibiarkan terpisah dari peran-Nya dan tak juga terkait dengan sebab-sebab hal itu hanya berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan fisik. ... Menjadi makna yang berbeda bagi mubâyanah adalah perbedaan dan ketidaksamaan. Karena itu diberikan Allah yang berbeda dari koleksi-koleksi-Nya dalam hal Dzat, hakikat, dan sifat-sifatnya. Makna ini adalah lawan kata menyatu, bercampur, dan larut. Mubâyanah dalam arti ini adalah mazhab orang-orang yang benar, adalah dari antara yang bersengketa salaf, ulama ahli fikih, ahli kalam, dan ahli tasawuf yang awal-awal seperti pengarang kitab Risâlah (Imam al-Qusyairi) dan orang-orang yang dicari-cari ” (Ibnu Khaldun, Târîkh Ibnu Khaldûn , juz I, halaman 615).
Dengan demikian, jelaslah yang menyatakan bahwa Allah “terpisah” dari perbedaan pendapat tentang Allah yang berbeda dalam hal Dzat, hakikat, dan sifat-sifatnya dari setiap temuan yang ada. Bukan berarti ada jarak fisik yang bisa ditentukan dengan satuan jarak (seperti kilometer, mil, dan sebagainya) antara Allah dan membuat. Begitu pula, dengan arguentasi yang sama, keyakinan sebagian kecil orang yang menyangka bahwa Allah menyatu dengan manusia adalah keyakinan yang keliru. Wallahu a'lam.
Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember
KAMIS 23 AGUSTUS 2018 15:30 WIB
Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya?
Ada satu pertanyaan yang populer di kalangan para teolog Muslim. Pertanyaan ini menjadi kontroversi karena berkaitan dengan aqidah dan bahkan menjadi salah satu poin pembeda antara Ahlussunnah wal Jama'ah dan golongan lain. Pertanyaannya adalah: Apakah Allah berada di luar alam ataukah di dalam?
Pertanyaan ini sebenarnya adalah jebakan yang dijawab dengan salah satu dari jawaban yang tersedia, maka pasti akan salah. Jika kita mengatakan bahwa Allah berada di alam, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah bertempat dan bercampur dengan-Nya di alam dunia ini. Akan tetapi kompilasi kita mengatakan bahwa Allah di luar alam, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah terbatas di dalam ruang dan arah tertentu. Jadi, kedua jawaban ini dapat dipastikan salah dan dikembalikan untuk Tuhan yang diminta-Nya tidak terbatas dalam ruang atau waktu.
Karena merupakan para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah mengatakan bahwa Allah tidak di alam luar dan tidak juga di dalamnya. Imam Ibnul Jauzi (597 H) menjelaskan:
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه لأن الدخول والخروج من لوازم المتحيزات
“Demikian juga dibahas tentang Allah yang tidak berada di dalam alam dan juga tidak berada di luarnya karena di dalam atau di luar yang termasuk dalam kaitannya dengan perbedaan-perbedaan”. (Imam Ibnul Jauzi, Daf'u Syubahi at-Tasybîh , 130)
Senada dengan itu, Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini (471 H) juga mengatakan:
وأن تعلم أن الحركة والسكون والاتصال والانفصال ..
"Engkau harus tahu tentang gerakan, diam, bersambung, berpisah sepenuhnya tidak mungkin bagi Allah Ta'ala sebab semua itu mewujud akibat perbatasan dan ujung". (Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini, at-Tabshîr fî ad-Dîn , 97)
Meskipun banyak ulama yang menjelaskannya, namun banyak juga orang yang tidak dapat menjelaskan penjelasan di atas sehingga menyangka ucapan "tak di dalam dan tak di luar" dirancang pada penafian terhadap eksistensi Tuhan. Bagi mereka, jika tak di dalam alam dan tak di luarnya berarti sama dengan mengatakan tak ada. Akhirnya mereka membantah ini sekuat tenaga, seperti yang juga dilakukan oleh Salafi di era modern ini dalam buku-buku mereka.
Sebenarnya bukan hanya orang yang bingung, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (504 H) menjelaskan bahwa di masanya juga ada orang yang bingung dengan istilah ini sehingga menolaknya. Dia berkata:
إن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الأقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل ولا منفصل عنه; قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته
“Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Suci dari tempat, ujung, arah dan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luarnya. Tidak juga Ia bersambung dan tidak juga terpisah dari alam. Akal sebagian besar kelompok menjadi bingung karena mereka tidak mampu mendengar dan mengetahuinya ”. (Imam Al-Ghazali, Ihyâ 'Ulûm ad-Dîn , juz IV, halaman 434)
Meskipun mengetahui bahwa Allah tidak berada di alam atau di luarnya adalah aqidah yang sangat penting, namun ulama Ahlussunnah wal Jama'ah tetap memaklumi orang-orang pada umumnya yang tidak paham, sebab ini adalah perkara yang memang dapat digunakan oleh orang-orang dengan dukungan rasio yang standar. Imam Izzuddin bin Abdissalam (660 H), yang terkenal dengan julukan Sultanul Ulama, mengatakan:
فإن اعتقاد موجود ليس بمتحرك ولا ساكن ولا منفصل عن العالم ولا متصل به, ولا داخل فيه ولا خارج عنه لا يهتدي إليه أحد بأصل الخلقة في العادة, ولا يهتدي إليه أحد إلا بعد الوقوف على أدلة صعبة المدرك عسرة الفهم فلأجل هذه المشقة عفا الله عنها في حَقِّ الْعَادِي.
“Sesungguhnya percayaini ada eksistensi yang tidak bergerak juga tidak, tidak bertempat di dalam dan juga tidak terpisah dari alam, tidak bersambung dengan alam, tidak diikatkan dan tidak juga di luarnya, adalah ucapan yang tidak dapat diakses oleh orang lain dengan dukungan yang dapat dilihatnya. Juga takkan ada yang mengerti kecuali setelah memahami dalil-dalil yang sulit dipahami dan dipahami. Karena kesulitan inilah, maka Allah mengampuni orang pada umumnya yang tak mengerti ”. (Izzuddin bin Abdissalam, Qawâ'id al-Ahkâm untuk Mashâlih al-Anâm , juz I, halaman 201)
Sementara jika mau berpikir sederhana saja, tidak ada yang rumit dari istilah ini. Allah tidak bisa mengungkapkan di alam atau di alam luar atau bersambung atau terpisah dengan sebab alam Allah memang bukan jism (materi) sehingga tidak relevan mengatakan itu semua yang menjadi ciri khas jism .
Ini sama saja dengan pertanyaan "apakah batu sebongkah adalah lelaki atau perempuan?" Sama juga dengan pertanyaan “Apakah suka kambing cerdas atau bodoh?” Menjawab cerdas atau bodoh dua-duanya salah sebab kambing memang tidak punya rasio. Jadi, yang salah dari semua ini adalah pertanyaannya. Andai sejak Awal dipahami bahwa Allah ﷻ Bukan Jism , Maka Pertanyaan seperti ITU tak akan membingungkan. Wallahu a'lam .
Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamu 'Alaikum. Kepada seluruh Pengunjung Blog Saya Ini,Saya Berharap Kepada Ikhwan Atau Akhwat Untuk Kira nya Bersedia Meluruskan Kesalahan2 Yang Mungkin Tidak Saya Sengaja,Dan Saya Berharap Semoga Kiranya Ikhwan Dan Akhwat Mau Mendo'akan Agar Allah Mengampuni Kesalahan2 Yang Saya Lakukan Baik Yang Saya Sengaja Atau pun Tidak Saya Sengaja.TERIMA KASIH Wassalaamu 'Alaikum.