Rabu, 09 Oktober 2019

Aqidah Tentang Isytiwa'-Nya Allah SWT

AQIDAH Ahli Sunnah NU Terkait Allah SWT Ber Istiwa' Di Atas Arsy

ILMU TAUHID

Bolehkah Mengatakan Allah Bersemayam di Atas Arasy?

Ahad 26 Agustus 2018 12:30 WIB
Bagikan:
Bolehkah Mengatakan Allah Bersemayam di Atas Arasy?
Memiliki maklum dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah bahwa Allah mengizinkan jisimatau eksistensi fisikal yang memiliki volume. Tak dapat dihitung jumlah ulama yang memustahilkan makna fisikal ( jismiyah ) dari Allah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan sepenuhnya mengatakan:

إن الأسماء مأخوذة من الشريعة واللغة, وأهل اللغة وضعوا هذا الاسم - أي الجسم - على ذي طول وعرض وسمك وتركيب وصورة وتأليف, والله خارج عن ذلك كله - أي منزه عنه - فلم يجز أن يسمى جسما لخروجه عن معنى الجسمية, ولم يجىء في الشريعة ذلك فَبَطلَ

"Sesungguhnya istilah-istilah yang diambil dari peristilahan syariah dan peristilahan, bahasa ahli ahli yang berlaku istilah ini (jisim) untuk sesuatu yang memiliki panjang, lebar, tebal, susunan, bentuk dan hubungan, Allah yang berbeda dari itu semua. Maka dari itu, tidak boleh mengatakan bahwa Allah adalah jisim sebab Allah tak punya makna jismiyah . Dan, istilah itu juga tidak ada dalam istilah syariat, maka batal menyifati Allah demikian " (Abu al-Fadl at-Tamimy, I'tiqâd al-Imam al-Munabbal Ahmad bin Hanbal, 45).

Lalu bagaimana dengan suatu pertanyaan yang terbilang lumrah di telinga penduduk Indonesia bahwa Allah bersemayam di atas Arasy? Bolehkah mengatakan Allah bersemayam sementara bersemayam adalah tindakan fisikal yang hanya bisa dilakukan oleh jism (materi)?

Jika kita membaca Al-Qur'an terjemahan Kementerian Agama dari surat at-Taha ayat 5 berikut:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

Maka akan kita dapati terjemahannya adalah: "Tuhan Yang Mahapemurah yang bersemayam di atas 'Arasy". “Bersemayam di atas 'Arasy adalah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya”. (Lihat: Al Qur'an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama)

Bila kita terima begitu saja terjemahan ini jelas sekali: Ya, Allah bersemayam. Sederhana saja, tak sesederhana ini. Kita tidak dapat membahas masalah aqidah hanya berdasarkan pada terjemahan saja alasan dapat membuat terjemahannya tidak tepat. Dan, tentu saja cara seseorang menerjemah tergantung pada mazhab yang ia anut sehingga terjemahan satu orang bisa berbeda dengan yang lain, ditambahkan ini terkait dengan ayat Al-Qur'an yang memang kaya makna.

Ayat ini menggunakan redaksi istawayang diterjemahkan sebagai "bersemayam". Bila kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersemayam berarti: duduk, berkediaman, tinggal atau jika konteksnya adalah bersemayam dalam hati, maka maknanya adalah terpatri dalam hati. Dengan demikian, dapat dipahami dalam bahasa Indonesia, kalimat “bersemayam di atas 'Arasy” artinya duduk, berdiam atau tinggal di atas Arasy. Kesemua makna ini tanpa diragukan adalah makna jismiyah yang dibutuhkan jauh-jauh dari Allah karena tak pantas bagi kesucian-Nya.

Makna duduk sendiri dikecam sangat keras oleh Imam Syafi'i, bahkan hingga level yang dianggap kafir. Imam Syafi'i menerbitkan diriwayatkan oleh Qadli Husain menjelaskan apa yang dianggap sebagai berikut:

ومن كفرناه من أهل القبلة: كالقائلين بخلق القرآن, وبأنه لا يعلم المعدومات قبل وجودها, ومن لا يؤمن بالقدر, وكذا من يعتقد أن الله جالس على العرش; كما حكاه القاضي الحسين هنا عن نص الشافعي.

“Orang yang kami kafirkan dari kalangan orang yang shalat adalah: mereka yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah hasil dari, bahwa Allah tak mengerti apa yang terjadi sebelumnya, juga orang yang tak percaya takdir, demikian juga orang yang mengatakan bahwa Allah duduk di atas Arasy . Seperti diriwayatkan oleh Qadli Husain dari diskusi literal Imam Syafi'i. ”(Ibnu ar-Rif'ah, Kifâyat al-Nabîh untuk Syarh at-Tanbîh , juz IV, halaman 23).

Tentang vonis kafir terhadap aliran sesat di atas sebenarnya merupakan hal yang disetujui di tengah-tengah ulama, namun semua yang ada di atas adalah sesat. Bagaimana tidak sesat, katakanlah Allah duduk di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah telah menyetujui yang melekat di atas Arasy; mengatakan Allah tinggal atau berdiam di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah punya volume dan ukuran fisik sehingga pasti Allah juga menciptakan. Kesemuanya sama sekali berhasil bagi Allah dan Maha Suci Allah dari semua itu. 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mengatakan Allah bersemayam di atas Arasy adalah persetujuan yang tidak tepat. “Bersemayam di atas 'Arasy adalah salah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya” dapat ditanyakan bagaimana bersemayam yang mereka maksudkan bersemayam dalam arti duduk, tinggal atau berdiam yang kesemuanya tidak layak bagi kebesaran dan kesucian Allah, tetapi makna lain yang layak bagi-Nya.

Namun demikian, harus dipilih yang diksi yang dipilih oleh tim penerjemah Kementerian Agama ini kurang tepat sebab kata bersemayam tak punya arti lain dalam kamus bahasa Indonesia selain makna jismiyah tersebut. Diksi yang kurang tepat ini memunculkan salah paham bagi orang awam. Padahal, dalam bahasa Arab kata istawa tak selalu berisi jismiyah , namun bisa diartikan bermacam-macam sesuai konteksnya. 

Hal ini berbeda kasusnya dengan kata " yad " yang oleh Kementerian Agama diterjemahkan sebagai "tangan". Meskipun kata "tangan" juga berkonotasi jismiyah , namun dalam KBBI kata ini tak hanya membahas tangan sebagai organ tubuh tetapi juga bisa juga sebagai non- jismiyah seperti arti kekuasaan, meminta dan memperbolehkan penerjemahan kata " yad " menjadi "tangan" lebih bisa dimaklumi. Yang sebaliknya paling aman adalah tidak menerjemah kata-kata yang membentuk sifat khabariyah ini, tetapi menerima apa adanya yang lalu yang berisi catatan tentang berbagai makna yang pantas bagi Allah.


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember

Tag:
Bagikan:
SABTU 25 AGUSTUS 2018 17: 0 WIB
Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah
Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah
Seluruh kaum muslimin mendukung bahwa Allah Mahabesar. Kemahabesaran Allah diucapkan berkali-kali dalam sehari dengan bacaan “ Allahu Akbar ” yang menunjukkan ikrar yang tak lebih besar dari Allah. Tapi bagaimanaakah kemahabesaran ini harus dimaknai?

Salah Satu kaidah hearts membahas Sifat Allah Adalah larangan membahasnya seperti membahas TENTANG materi ( Jism ). Kemahabesaran Allah adalah salah satu sifat Allah yang berhak milik-Nya yang dapat diperbandingkan dengan perbandingan dengan komposisi mana pun. Allah sudah Mahabesar sejak waktu belum berjalan dan sejak seluruh alam tercipta, tetap Mahabesar saat penciptaan-penciptaan tercipta dan tetap Mahabesar sampai kapanpun. Kemahabesaran Allah tidak dapat dimaknai sebagai ukuran fisik yang dapat kita memaknai seluruh hal di jagat raya ini yang semuanya serba material.

Jika kita membahas materi, maka materi mana saja yang bisa dikompilasi ukurannya lebih besar daripada lebih banyak menghabiskan ruang dibandingkan materi lain. Dari sinilah muncul rasio perbandingan antara materi yang satu dengan materi yang lain. Kita bisa membandingkan rasio antara mikroba dengan manusia, antara manusia dan planet bumi, antara planet bumi dengan sistem tata surya, antara sistem tata surya dengan galaksi, antara ini dan itu. Demikianlah cara kita membahas kebesaran seluruh materi di dunia ini; seluruhnya dari perspektif ukuran fisikal atau volume.

Namun apa mulianya yang besar dalam arti ukuran fisik? Apakah semua ukuran itu merupakan batasan? Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan mengenai masalah "besar". Kita tahu bahwa secara fisik tak perlu lebih dari sekadar volume tanpa kemuliaannya, sebagaimana yang diharapkan untuk disembah. Jika sesuatu berhak diagungkan dan disembah hanya karena ukurannya yang besar, maka tentu mikroba dibenarkan untuk menyembah manusia; Manusia juga dibenarkan kompilasi menyembah matahari dan bintang-bintang sebab hal itu memang jauh lebih besar atau dengan kata lain Mahabesar “rasio ukurannya” dibandingkan manusia. Tapi dikembalikan, semua ini salah setuju menurut Al-Qur'an dan Hadits yang memvonis semua yang ukurannya besar sebagai sesat. Sebesar apapun entitas fisik ( jism ),

Bila kita memaknai kebesaran Tuhan dengan perspektif material ini, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah memiliki ukuran dari ujung ke ujung. Kalau Allah punya ukuran yang lalu lalu siapa yang menentukan ukurannya atau yang mendesainnya seperti itu? Bila yang menentukan ukurannya adalah entitas lain artinya Allah punya sekutu, bahkan punya Tuhan yang membentuknya. Bila yang menentukan adalah diri-Nya sendiri maka berarti Allah berevolusi. Bila berevolusi berarti pastilah bukan Tuhan. Ini pertanyaan yang diajukan mengada-ada, pertanyaan yang diajukan naluriah seperti yang diminta al-Qur'an agar kaum muslimin kritis terhadap berbagai objek wisata

Ibnu Mandhur, pakar bahasa terkemuka dalam kitab Lisân al-'Arab-nya mengartikan batasan fisik ( hadd ) sebagai berikut:

وَمُنْتَهَى كُلِّ شَيْءٍ: حَدُّه

"Ujung segala sesuatu adalah hadd / batasannya". (Ibnu Mandhur, Lisân al-'Arab, juz III, 140)

Lantas jika demikian pengertiannya, apakah Allah punya batasan fisik? Ahlusussunnah Wal Jama'ah menyetujui mengatakan: Tidak !. Imam Ahmad, mengumumkan dinukil oleh Syaikh Abu Fadl at-Tamimi yang menjadi salah satu Imam Hanabilah di masanya, yang mengatakan:

والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش, وكان ينكر- الإمام أحمد - على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلها محدودة. 

Allah Ta'ala mengambil alih perubahan dan pergantian. Juga tidak memiliki batasan-batasan fisik sebelum Arasy terciptanya dan tidak juga setelah Arasy terciptanya. Imam ahmad juga mengingkari orang yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di segala tempat sebab semua tempat terbatas "(Abu Fadl at-Tamimi, I'tiqâd Imam Ahmad , 41)

Senada dengan itu, Imam di-Thahawi ini yang merupakan rujukan standar Ulama Asy'ariyah (Ahlussunnah Wal Jamaah) juga melibatkan:

وتعالى عن الحدود والغايات ، والأركان والأعضاء والأدوات ، لا تحويه الجهات كسائر المبتدعات

"Maha Suci Allah dari batas-batas ukuran dan ujung-ujung, juga dari segi tak-tak dan anggota badan. Dia tak diliputi berbagai arah seperti halnya menemukan seluruh hal yang baru". (at-Thahawi, Matn al-'Aqîdah at-Thahâwiyah )

Banyak sekali para ulama yang juga menafikan keberadaan fisik, baik besar atau kecil, atas Allah. Di antara mereka ada Imam ar-Razi, al-Baji, Ibnul Arabi, Ibnul Jauzi, al-Qurthuby, al-Baidhawi, an-Nawawi dan lain-lain yang merupakan rujukan umat.

Lalu diputuskan kemahabesaran Allah tidak bisa diselesaikan dalam perspektif ukuran yang pasti terbatas, lalu bagaimana Ahlussunnah memahaminya? Berikut penjelasan Imam al-Ghazali dalam al-Maqshad al-Asna tentang makna sifat al-Kabir :

الْكَبِير هُوَ ذُو الْكِبْرِيَاء والكبرياء عبارَة عَن كَمَال الذَّات وأعني بِكَمَال الذَّات كَمَال الووج 

Al-Kabîr (Mahabesar) maksudnya adalah yang harus keagungan ( kibriya ' ). Keagungan sendiri harus sesuai dengan kesempurnaan dzat. Yang saya maksud kesempurnaan Dzat adalah kesempurnaan eksistensi". (Imam al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnâ , 109)

Kesempurnaan Dzat atau eksistensi diterima oleh Imam al-Ghazali yang melengkapi dua pengertian sebagai berikut:

Sebuah. Al-Kabar dalam arti sudah lama ada. Dalam konteks manusia, mereka disebut kabîr kompilasi wujudnya sudah lama atau dengan kata lain sudah tua. Dalam arti inilah istilah " syaikhun kabîr " dalam al-Qur'an 28:23, maksudnya adalah orang yang sudah tua. Ketika kompilasi membahas Allah, maka makna ini lebih berarti dengan sifat al-Qadîm atau al-Awwal , yaitu membahas-Nya jauh sekali sudah ada sebelumnya semua yang terkait sebab Allah memang tidak punya awal mula. Dalam makna ini, Allah jelas adalah Akbar (paling kabîr ) dari semua hal di jagat ini, dalam artian paling lama sesuai dengannya.

b. Al-Kabar dalam arti hebat. Istilah ini dipakai dalam peristilahan berbagai bahasa di dunia. Istilah "orang besar" dalam bahasa Indonesia dimaksudkannya adalah orang hebat. Demikian juga dengan istilah "bos besar" dalam bahasa Inggris. Buat ini juga yang diusulkan oleh QS. Yusuf: 80, yang mana kata " kabîruhum " di sana bukan yang paling penting fisiknya atau yang paling tua umurnya, tetapi yang paling hebat ilmu dan akalnya. Besar dalam makna ini sama sekali tidak ada yang disetujui dengan ukuran fisik. Dalam makna ini, sudah jelas bahwa Allah adalah Akbar (paling Kabîr ) dari semua hal yang ada, dalam artian paling hebat dan paling berkuasa.

Demikianlah makna kemahabesaran Allah dalam perspektif Aswaja. Berbeda dengan orang-orang yang memaknai kata besar secara fisik, artinya ini sekali tak punya cacat, baik dengan nash, bahasa penuh atau akal. Wallahu a'lam


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember


JUMAT 24 AGUSTUS 2018 16:30 WIB
Maksud 'Keterpisahan Allah dari Seluruh Makhluk'
Maksud 'Keterpisahan Allah dari Seluruh Makhluk'
Dalam banyak pernyataan ulama salaf, ditemukan suatu keterangan bahwa Allah ﷻ terpisah ( bâ'in ) dari seluruh penemuan. Beberapa orang salah paham dengan makna kata “terpisah” ini. Mereka menyangka yang terpisah secara fisik atau ada jarak secara fisikal antara Tuhan dan makhluk. Di antara yang salah paham adalah Syekh Ibnu Taymiyah yang menyatakan:

وقد اتفق سلف الأمة وأئمتها: على أن الخالق تعالى بائن من مخلوقاته ليس في ذاته شيء من مخلوقاته ولا في مخلوقاته شيء من ذاته. والسلف والأئمة كفروا الجهمية لما قالوا إنه في كل مكان وكان مما أنكروه عليهم: أنه كيف يكون في البطون والحشوش والأخلية? تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ. فَكَيْفَ بِمَنْ يَجْعَلُهُ نَفْسَ وُجُودِ الْبُطُونِ وَالْحُشُوشِ والأخلية وَالنَّجَاسَات

"Sudah menjadi kesepakatan umat dan ulama salaf bahwa Allah Ta'ala terpisah dari penciptaannya. Tak ada dalam Dzat-Nya sesuatu pun dari koleksi-hasil dan tak ada dalam koleksi-temuannya sesuatu dari Dzat-Nya. Para Salaf dan para Imam mengafirkan Jahmiyah tatkala mereka mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat. Dan, di antara argumen mereka untuk menentang Jahmiyah adalah: Bagaimana Allah bisa berada di perut, kebun dan toilet? Maha Suci Allah dari itu semua. Lalu bagaimana dengan orang yang menjadikan Allah sebagai perut, kebun, toilet, najis dan kotoran itu sendiri? ”. (Ibnu Taymiyah, Majmû 'al-Fatâwâ , juz II, halaman 126)

Jadi, dalam pandangan Ibnu Taymiyah di atas, dan juga pandangan kelompok pendaku salafi dewasa ini, keterpisahan ( mubâyanah ) Allah adalah keterpisahan secara fisik antara Dzat Allah dan Dzat rupa. Dalam benak mereka, bila Allah mengambil terpisah dari arti Allah yang ada di dalam diri menciptakan, termasuk di dalam toilet, dalam kotoran dan yang diperlukan bagi Allah. Pengertian Penyanyi tentu bermasalah sebab Berarti Allah dianggap sebagai Jism (Susunan materi) sehingga can terpisah Beroperasi Fisik DENGAN Makhluk Yang Seluruhnya Berbentuk Fisik pula. Hanya dua jism yang mampu membuat jarak satu sama lain sehingga bisa disebut terpisah.

Sementara Ahlussunnah wal Jama'ah sama sekali menolak makna demikian alasan ini merupakan kemustahilan bagi Allah. Seperti dibahas sebelumnya, Allah tak can dikatakan tersambung ATAU terpisah DENGAN alam sebab Allah bukanlah Jism sehingga tak relevan mengatakan ITU. Secara khusus tentang sifat keterpisahan ( mubâyanah ) ini, Imam al-Baihaqi (458 H) menukil dan membenarkan sesuai ketentuan yang ditentukan berikut:

والقديم سبحانه عال على عرشه لا قاعد ولا قائم ولا مماس ولا مباين عن العرش, يريد به: مباينة الذات التي هي بمعنى الاعتزال أو التباعد, لأن المماسة والمباينة التي هي ضدها, والقيام والقعود من أوصاف الأجسام, والله عز وجل أحد صمد لم يلد ولم يولد وَلَمْ [ص: 309] يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ، فَلَا يَجُوزُ عَلَيْهِ مَا يَجُوزُ عَلَى الْأَََََِِِِِْ

"Allah Yang Maha Qadim, Tinggi di atas Arasy, tidak duduk dan tak berdiri, tak diatur dan tak terpisah dari Arasy. Yang dia maksud adalah keterpisahan Dzat dalam makna yang terpisah dan terpisah karena kebalikannya, begitu pula berdiri dan duduk adalah sifat-sifat jism . Sementara Allah Maha Esa, tak beranak dan tak diperanakkan dan tak ada yang setara dengan pun-Nya. Maka tak bisa dikembalikan diberikan apa pun yang boleh diberikan untuk jism ”. (Imam al-Baihaqi,  al-Asmâ 'wa as-Shifât , juz 2, halaman 308)

Bagi yang tidak terbiasa dengan kajian ilmu tauhid, tentu saja hal ini agak disetujui. Untuk menyederhanakan masalah, sebenarnya kata بائن atau مباينة dalam bahasa Arab memiliki dua arti yang berbeda. Arti pertama adalah terpisah secara fisik. Makna yang ditolak oleh Ahlussunnah wal Jamaah karena Allah tidak membentuk fisik. Arti kedua berbeda dalam arti betul-betul tak sama. Makna kedua inilah yang dikehendaki ulama salaf dari kalangan Ahlussunnah kompilasi mereka mengatakan bahwa Allah bâ'in 'an al-khalq (terpisah / berbeda dari hasil).

Syekh Ibnu Khaldun (808 H), menjelaskan perbedaan makna dalam kitab Târîkh -nya sebagai berikut:

إنّ المباينة تقال لمعنيين: أحدهما المباينة في الحيّز والجهة ، ويقابله الاتّصال. ونشعر هذه المقابلة على هذه التّقيّد بالمكان إمّا صريحا وهو تجسيم ، أو لزوما وهو تشبيه من قبيل الله وقد نقل مثله عن بعض علماء السلف من التّصريح بهذه المباينة ، فيحتمل غير هذا المعنى. ومن أجل ذلك أنكر المتكلمون هذه المباينة وقالوا: لا يقال في البارئ أنه مباين مخلوقاته, ولا متصل بها, لأن ذلك إنما يكون للمتحيزات ... وأما المعنى الآخر للمباينة, فهو المغايرة والمخالفة فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويته ووجوده وصفاته. ويقابله الاتّحاد والامتزاج والاختلاط. وهذه المباينة هي مذهب أهل الحقّ كلّهم من جمهور السّلف وعلماء الشّرائع والمتكلّمين والمتصوّفنامان

“Sesungguhnya mubâyanah disetujui bagi dua makna. Makna yang pertama adalah keterpisahan dalam batasan dan arah, ini adalah lawan kata dari ketersambungan fisik. Kita menyadari Ungkapan Penyanyi Dari keterkaitannya DENGAN Tempat, apabila Beroperasi gamblang dinyatakan Maka Berarti tajsîm (meyakini Allah Adalah Jism ). Atau hanya terdiri dari perubahan , maka itu adalah tasybîh dari sisi yang ditentukan sebagai Arah untuk Tuhan. Telah dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan mubâyanah ini, maka dikeluarkan bukan makna yang diminta. Karena berhubungan, para ahli kalam mengingkari mubâyanahdalam arti ini dan berkata: Allah tak boleh dibiarkan terpisah dari peran-Nya dan tak juga terkait dengan sebab-sebab hal itu hanya berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan fisik. ... Menjadi makna yang berbeda bagi mubâyanah adalah perbedaan dan ketidaksamaan. Karena itu diberikan Allah yang berbeda dari koleksi-koleksi-Nya dalam hal Dzat, hakikat, dan sifat-sifatnya. Makna ini adalah lawan kata menyatu, bercampur, dan larut. Mubâyanah dalam arti ini adalah mazhab orang-orang yang benar, adalah dari antara yang bersengketa salaf, ulama ahli fikih, ahli kalam, dan ahli tasawuf yang awal-awal seperti pengarang kitab Risâlah (Imam al-Qusyairi) dan orang-orang yang dicari-cari ” (Ibnu Khaldun,  Târîkh Ibnu Khaldûn , juz I, halaman 615).

Dengan demikian, jelaslah yang menyatakan bahwa Allah “terpisah” dari perbedaan pendapat tentang Allah yang berbeda dalam hal Dzat, hakikat, dan sifat-sifatnya dari setiap temuan yang ada. Bukan berarti ada jarak fisik yang bisa ditentukan dengan satuan jarak (seperti kilometer, mil, dan sebagainya) antara Allah dan membuat. Begitu pula, dengan arguentasi yang sama, keyakinan sebagian kecil orang yang menyangka bahwa Allah menyatu dengan manusia adalah keyakinan yang keliru. Wallahu a'lam.


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember

KAMIS 23 AGUSTUS 2018 15:30 WIB
Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya?
Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya?
Ada satu pertanyaan yang populer di kalangan para teolog Muslim. Pertanyaan ini menjadi kontroversi karena berkaitan dengan aqidah dan bahkan menjadi salah satu poin pembeda antara Ahlussunnah wal Jama'ah dan golongan lain. Pertanyaannya adalah: Apakah Allah berada di luar alam ataukah di dalam?

Pertanyaan ini sebenarnya adalah jebakan yang dijawab dengan salah satu dari jawaban yang tersedia, maka pasti akan salah. Jika kita mengatakan bahwa Allah berada di alam, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah bertempat dan bercampur dengan-Nya di alam dunia ini. Akan tetapi kompilasi kita mengatakan bahwa Allah di luar alam, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah terbatas di dalam ruang dan arah tertentu. Jadi, kedua jawaban ini dapat dipastikan salah dan dikembalikan untuk Tuhan yang diminta-Nya tidak terbatas dalam ruang atau waktu.

Karena merupakan para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah mengatakan bahwa Allah tidak di alam luar dan tidak juga di dalamnya. Imam Ibnul Jauzi (597 H) menjelaskan:

وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه لأن الدخول والخروج من لوازم المتحيزات 

“Demikian juga dibahas tentang Allah yang tidak berada di dalam alam dan juga tidak berada di luarnya karena di dalam atau di luar yang termasuk dalam kaitannya dengan perbedaan-perbedaan”. (Imam Ibnul Jauzi, Daf'u Syubahi at-Tasybîh , 130)

Senada dengan itu, Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini (471 H) juga mengatakan:

وأن تعلم أن الحركة والسكون والاتصال والانفصال .. 

"Engkau harus tahu tentang gerakan, diam, bersambung, berpisah sepenuhnya tidak mungkin bagi Allah Ta'ala sebab semua itu mewujud akibat perbatasan dan ujung". (Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini, at-Tabshîr fî ad-Dîn , 97) 

Meskipun banyak ulama yang menjelaskannya, namun banyak juga orang yang tidak dapat menjelaskan penjelasan di atas sehingga menyangka ucapan "tak di dalam dan tak di luar" dirancang pada penafian terhadap eksistensi Tuhan. Bagi mereka, jika tak di dalam alam dan tak di luarnya berarti sama dengan mengatakan tak ada. Akhirnya mereka membantah ini sekuat tenaga, seperti yang juga dilakukan oleh Salafi di era modern ini dalam buku-buku mereka.

Sebenarnya bukan hanya orang yang bingung, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (504 H) menjelaskan bahwa di masanya juga ada orang yang bingung dengan istilah ini sehingga menolaknya. Dia berkata:

إن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الأقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل ولا منفصل عنه; قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته 

“Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Suci dari tempat, ujung, arah dan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luarnya. Tidak juga Ia bersambung dan tidak juga terpisah dari alam. Akal sebagian besar kelompok menjadi bingung karena mereka tidak mampu mendengar dan mengetahuinya ”. (Imam Al-Ghazali,  Ihyâ 'Ulûm ad-Dîn , juz IV, halaman 434)

Meskipun mengetahui bahwa Allah tidak berada di alam atau di luarnya adalah aqidah yang sangat penting, namun ulama Ahlussunnah wal Jama'ah tetap memaklumi orang-orang pada umumnya yang tidak paham, sebab ini adalah perkara yang memang dapat digunakan oleh orang-orang dengan dukungan rasio yang standar. Imam Izzuddin bin Abdissalam (660 H), yang terkenal dengan julukan Sultanul Ulama, mengatakan:

فإن اعتقاد موجود ليس بمتحرك ولا ساكن ولا منفصل عن العالم ولا متصل به, ولا داخل فيه ولا خارج عنه لا يهتدي إليه أحد بأصل الخلقة في العادة, ولا يهتدي إليه أحد إلا بعد الوقوف على أدلة صعبة المدرك عسرة الفهم فلأجل هذه المشقة عفا الله عنها في حَقِّ الْعَادِي.

“Sesungguhnya percayaini ada eksistensi yang tidak bergerak juga tidak, tidak bertempat di dalam dan juga tidak terpisah dari alam, tidak bersambung dengan alam, tidak diikatkan dan tidak juga di luarnya, adalah ucapan yang tidak dapat diakses oleh orang lain dengan dukungan yang dapat dilihatnya. Juga takkan ada yang mengerti kecuali setelah memahami dalil-dalil yang sulit dipahami dan dipahami. Karena kesulitan inilah, maka Allah mengampuni orang pada umumnya yang tak mengerti ”. (Izzuddin bin Abdissalam,  Qawâ'id al-Ahkâm untuk Mashâlih al-Anâm , juz I, halaman 201)

Sementara jika mau berpikir sederhana saja, tidak ada yang rumit dari istilah ini. Allah tidak bisa mengungkapkan di alam atau di alam luar atau bersambung atau terpisah dengan sebab alam Allah memang bukan jism (materi) sehingga tidak relevan mengatakan itu semua yang menjadi ciri khas jism .

Ini sama saja dengan pertanyaan "apakah batu sebongkah adalah lelaki atau perempuan?" Sama juga dengan pertanyaan “Apakah suka kambing cerdas atau bodoh?” Menjawab cerdas atau bodoh dua-duanya salah sebab kambing memang tidak punya rasio. Jadi, yang salah dari semua ini adalah pertanyaannya. Andai sejak Awal dipahami bahwa Allah ﷻ Bukan Jism , Maka Pertanyaan seperti ITU tak akan membingungkan. Wallahu a'lam .


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember

Geliat Dakwah Dan Syi'ar Khilafatulmuslimin

A"Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah"


INSTRUKTUR POLITEKNIK ILMU PELAYARAN MAKASAR BERGABUNG DENGAN KHILAFATUL MUSLIMIN

Geliat dakwah dan syi’ar Kekhalifahan kaum muslimin (Khilafatul Muslimin) semakin hari semakin mendapat dukungan ummat Islam di berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Kali ini terjaadi di daerah Makasar.

Pada 06 Muharam 1441 H masih di momen tahun baru Islam, seorang Instruktur Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) bapak Indra setelah memahami visi dan misi Khilafatul Muslimin dalam menyatukan ummat Islam dengan jalan dakwah yang rahmatan lil ‘alamin akhirnya beliau siap bergabung ke dalam shaf Kekhalifahan dan mengikrarkan bai’at.

Prosesi bai’at di saksikan oleh warga Khilafah di Makasar, semua yang hadir berharap semoga Allah memberikan keistiqomahan serta kesabaran kepadanya dan kepada semua yang hadir. Aaamiin..! (red, Agus Habib, Makasar).
Tim Analisis Berita Khilafatulmuslimin
By.Tubagus Herzamli

Sabtu, 14 September 2019

Tafsir Ayat Kepemimpinan Islam

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah

Dalil-dalil al-Quran

Berikut  ini    ayat- ayat  al-Quran  yang  menunjukkan  dengan  jelas  larangan  memilih pemimpin non Muslim bagi wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang artinya:

Pertama;

لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah  orang-orang  mukmin  mengambil  orang-orang  kafir  menjadi  WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS:  Ali Imron [3]: 28)

Kedua;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS:  An Nisa’ [4]: 144)

Ketiga;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Hai   orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  mengambil  orang-orang  yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu).  Dan  bertakwalah kepada Allah  jika  kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS:  Al-Ma’aidah [5]: 57)

Keempat;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu   menjadi   WALI   (pemimpin/pelindung)   jika   mereka   lebih   mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)

Lima;

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa  puas terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa  sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS:  Al Mujaadalah [58] : 22)

Enam;

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً

الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً

“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)

Masih ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menegaskan larangan memilih non Muslim (kafir) sebagai bagi kaum Muslimin yang juga menggunakan pilihan kata WALI sebagaimana ayat di atas. Di antara ayat-ayat tersebut adalah : QS. Al Maidah: 51, QS Al-Maidah: 80-81, QS Al-Mumtahanah: 1 dsb

Dan Dalam Surat Al_Ahzab Menggambarkan tentang penyesalan kaum kafir dan MUSYRIKIN Berkenaan Dengan Perihal Kepemimpinan Mereka Di dunia

Kalau Kita Renungkan Sudah Barang tentu Ayat Ini Berbicara Kepada Kaum Ini(Baca: Kita Semua Kaum Muslimin)


Surat Al-Ahzab Ayat 68 رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا Arab-Latin: Rabbanā ātihim ḍi'faini minal-'ażābi wal'an-hum la'nang kabīrā Terjemah Arti: Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". Terjemahan Makna Bahasa Indonesia (Isi Kandungan) 67-68. Orang-orang kafir berkata di Hari Kiamat, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami menaati imam-imam kami dalam kesesatan dan tokoh-tokoh kami dalam kesyirikan, lalu mereka menyelewengkan kami dari jalan petunjuk dan iman. Wahai Tuhan kami, siksalah mereka dengan siksa dua kali lipat siksaan yang Engkau timpakan kepada kami dan usirlah mereka dengan keras dari rahmatMu.” Ini merupakan dalil bahwa taat kepada selain Allah, menyelisihi perintah Allah dan perintah Rasulullah menyebabkan murka Allah dan hukumanNya, dan bahwa orang yang mengikuti dan diikuti sama-sama berserikat dalam siksa. Maka hendaknya setiap Muslim mewaspadai hal ini. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 68. Wahai Rabb kami! Berikanlah kepada para pemimpin dan pembesar yang telah menyesatkan kami dari jalan yang lurus siksa dua kali lipat dari siksa yang Engkau timpakan kepada kami karena mereka telah menyesatkan kami dan usirlah mereka dari rahmat-Mu dengan pengusiran yang paling jauh.” Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram

68. رَبَّنَآ ءَاتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ (Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat) Yakni dua kali lipat azab yang Engkau berikan kepada kami. Atau azab kekafiran mereka dan azab telah menyesatkan kami. وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا(dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”) Yakni laknat yang besar dan memberatkan. Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

68. Wahai Tuhan kami, maka berikanlah kepada mereka seperti azab yang kuterima ini dua kali lipat, yaitu azab untuk kekufuran dan azab untuk kesesatan mereka. Hempaskanlah mereka dengan hebat dari anugerah rahmat-Mu. Itulah laknat yang paling dahsyat dan agung. Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili Maka ketika orang-orang kafir paam bahwa mereka tidak akan mungkin selamat, mereka berkata : Wahai Rabb kami timpakanlah kepada mereka yang menyesatkan kami dengan adzab dua kali lipat, dan berikan siksaan yang keras kepadanya, laknatlah mereka, karena mereka adalah sebab kami berada di sini.
Surat Al-Ahzab Ayat 66

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

Arab Latin:

 Yauma tuqallabu wujụhuhum fin-nāri yaqụlụna yā laitanā aṭa'nallāha wa aṭa'nar-rasụlā Terjemah Arti: Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Terjemahan Makna Bahasa Indonesia (Isi Kandungan) 64-66. Sesungguhnya Allah mengusir orang-orang kafir dari rahmatNya di dunia dan akhirat, menyiapkan untuk mereka di akhirat api neraka yang menyala-nyala dan sangat panas, mereka tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya, mereka tidak menemukan pelindung yang mengurusi mereka dan membela mereka, tidak pula penolong yang membantu mereka lalu mengentaskan mereka dari api neraka. Saat itu wajah orang-orang kafir dibolak-balik di neraka, mereka pun berkata dengan penuh penyesalan dan kebingungan, “Duhai, seandainya dulu kami taat kepada Allah dan kepada RasulNya, niscaya kami termasuk penghuni surga.”

Kata Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
عليكم بسنّتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
Kalau Ayat Di atas Kita Kaitkan dengan Hadits Ini , JADI MAFHUMNYA ADALAH
KITA HARUS PUNYA KHALIFAH,,, KARENA PERINTAH

NABI " HENDAKLAH KALIAN BERPEGANG TEGUH PADA SUNNAH KU, DAN SUNNAH NYA KHULAFAUR RASYIDIN,,,
MUDAH MUDAHAN,KITA BUKAN TERMASUK ORANG YANG SALAH DALAM MEMBERIKAN WALA KITA KEPADA MANUSIA,,,DAN JANGAN SAMPAI PULA KITA SALAH DALAM MEMBERIKAN KETHA'ATAN....

YG JELAS DI BUMI ALLAH INI BELUM ADA YG BISA MENERAPKAN HUKUM ALLAH SECARA KAFFAH , SELAIN SISTEM KHILAFAH, YANG MANA TELAH KITA KENAL... DALAM SEJARAH
Surat An-Nisa Ayat 65 

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

 Fa lā wa rabbika lā yu`minụna ḥattā yuḥakkimụka fīmā syajara bainahum ṡumma lā yajidụ fī anfusihim ḥarajam mimmā qaḍaita wa yusallimụ taslīmā 

Artinya:" Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Terjemahan Makna Bahasa Indonesia (Isi Kandungan) Allah telah bersumpah dengan DzatNYa yang maha mulia, bahwa mereka itu tidak beriman dengan sebenarnya sampai mau menjadikanmu sebagai hakim penengah dalam perselisihan yang terjadi antara mereka saat kamu masih hidup, dan berhukum dengan petunjuk sunnahmu setelah kematianmu, kemudian mereka tidak mendapati rasa sesak dalam hati mereka terhadap ketetapan yang menjadi keputusan akhirmu. Dan mereka patuh terhadap hal itu dengan kepatuhan yang sempurna. Berhukum dengan apa yang telah dibawa oleh Rosululloh sholallohu alaihi wasallam yang bersumber dari kitabullah dan Sunnah dalam seluruh perkara kehidupan termasuk intisari keimanan,disertai dengan keridhaan dan penyerahan diri. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 65. Akan tetapi masalahnya tidak seperti anggapan orang-orang munafik itu. Kemudian Allah bersumpah demi Żat-Nya -'azza wa jalla- bahwa mereka tidak bisa menjadi orang-orang mukmin sejati sebelum mereka berhukum kepada Rasulullah di masa hidup beliau dan kepada syariatnya setelah beliau wafat dalam setiap perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka menerima keputusan hukum yang diberikan oleh Rasulullah dengan sukarela dan lapang dada, tidak merasa sempit dada dan ragu sedikit pun, dan berserah diri secara penuh serta tunduk dalam lahir dan batin mereka.

Tetapi Sifat Kemunafikan Itu , Akan Terus Bertempat Pada Hati Mereka,Lalu Mereka Akan Selalu Menjadi Penentang Dakwah Islam.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا (61)


Ayat ke 60
Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (4: 60)
Ayat 59 surat an-Nisaa yang telah dibahas sebelum ini menyebut kunci penyelesaian  semua perselisihan terletak pada al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. Ayat di atas mengkritisi orang-orang yang tidak saleh dan juga penguasa tirani yang anti kebenaran. Mereka itu disifati oleh  al-Quran sebagai manusia yang sesat lagi menyesatkan. Sejarah  menyebutkan  bahwa suatu saat di Kota Madinah, seorang muslim terlibat konflik dengan seorang Yahudi.
Si Yahudi mengusulkan agar merujuk kepada Rasulullah Saw untuk menyelesaikan konflik itu. Rasulullah Saw dijadikan juri untuk menentukan siapa yang salah danbenar.  Ironisnya, si muslim yang tidak setuju dengan gagasan itu. Mengapa demikian? Karena ia khawatir, keputusan Rasul Saw berseberangan dengan kepentingan pribadinya yang tidak benar. Ia akhirnya mengusulkan agar rahib Yahudi saja yang menjadi  hakim. Seba  ia yakin rahib itu dapat disogok dan pasti memenangkannya dalam kasus sengketa dengan si Yahudi. Ayat ini diturunkan untuk mencela perilaku buruk orang muslim tersebut.
Dari ayat tadi terdapat  tiga  pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.  Iman tanpa menjauhi kebatilan dan membenci thaghut bukanlah iman yang sejati.
2.  Siapa saja  yang mengaku beriman tapi dalam perbuatan selalu berpaling dari Tuhan adalah orang yang memusuhi Tuhan dan berada di barisan thaghut.
3. Menerima pemerintahan thaghut sama saja dengan menyiapkan  sarana bagi kegiatan setan  di tengah masyarakat.

Ayat ke 61
Artinya:
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (4: 61)
Ayat ini menyebutkan bahwa menjadikan orang non Muslim sebagai hakim merupakan pertanda kemunafikan. Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang Munafik menjauhi  al-Quran dan Sunnah Rasul Saw dan menyuarakan aspirasi orang-orang Kafir. Mereka ini bukan hanya tidak menerima hukum dan perintah ilahi, bahkan mengajak orang lain supaya bersikap seperti mereka sehingga tidak ada orang yang menentang mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.  Tugas seorang mukmin adalah menyeru manusia untuk menyembah Tuhan. Adapun yang diajak itu menerima atau tidak, adalah di luar tanggung jawabnya.
2.  Menentang kepeminpinan hak merupakan tanda kemunafikan yang paling nyata.

Ayat ke 62-63
Artinya:
Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". (4: 62)
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (4: 63)
Sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan  perbuatan buruk orang-orang Munafik yang mengutamakan orang-orang non muslim ketimbang  al-Quran dan  Sunnah Nabi, ayat ini menghimbau kaum Muslimin sedapat mungkin agar menghindari konfrontasi fisik secara langsung dengan mereka. Cukuplah dengan dialog dan nasehat serta peringatan akan akibat perbuatan mereka kelak. Karena  merupakan  urusan Tuhan  bagaimana nantinya menghukum mereka.
Salah satu alasan orang-orang munafik tidak suka menunjuk Rasul sebagai  hakim, karena mereka yakin Rasul akan  bersikap adil dalam menghakimi. Mereka  beranggapan  bahwa cara ini akan menyebabkan salah seorang dari yang berselisih akan dikecewakan.  Oleh kerenanya, mereka tidak ingin kemuliaan dan popularitas Rasul menurun. Itulah mengapa mereka tidak membawa masalah ini kepada Rasul Saw.
Jelas sekali di sini, bahwa alasan-alasan seperti ini adalah untuk lari dari tanggung jawab. Karena bila  popularitas Rasul  Saw itu  harus  dipelihara dengan cara seperti itu, maka pasti Tuhan lebih tahu dari mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.  Sumber penyelesaian  masalah individu dan sosial kembali kepada perbuatan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, manusia tidak boleh menyalahkan Allah, ketika ditimpa musibah.
2.  Berbelit-belit adalah petanda kemunafikan. Sama seperti sikap Munafikin yang ingin melemahkan Rasulullah Saw dengan alasan ingin memuliakan beliau.
3.  Orang Munafik bersumpah demi menutupi perbuatan kotor mereka.
4.  Biasanya orang yang berbuat keji menutupi perbuatannya dengan menyebutnya sebagai upaya untuk memperbaiki.

5.  Dalam menghadapi orang Munafik, terkadang perlu menjauhinya, tapi adakalanya menasihati atau memperingatkannya.


KHILAFAH TIDAK WAJIB???


SEUNTAI CATATAN UNTUK BUKU ILUSI NEGARA ISLAM

DALAM BUKU PENUH ILUSI, berjudul ilusi negara Islam, disebutkan oleh tim penulis nya bahwa Khilafah islamiyah dalam Islam tidak memiliki akar sejarah dan dasar ideologis serta yuridis dalam Islam.


Tim penyusun mengatakan itu hasil kajian majelis Bahtsul masa'il-nya Nahdlatul ulama yang melibatkan ratusan ulama.

barangkali tim penyusun mengira dengan mendompleng dan mengatasnamakan ratusan ulama maka pembaca akan percaya begitu saja tanpa mau lagi melakukan kajian.

Dengan segala hormat izinkanlah kami berbeda pendapat dengan mereka.

Kami yakin tim penyusun buku tersebut adalah orang-orang yang terbuka atas perbedaan.bukankah mereka tidak senang dengan sikap merasa paling benar dan memonopoli tafsir kebenaran?


jika mereka menutup diri dari koreksi memaksa pembacanya untuk mendapat dengan mereka maka mereka telah menantang diri mereka sendiri dan bukan seorang Demokrat.


Tadinya Kami ingin menguraikan berbagai ayat Alquran lalu hadits dan tafsir para ulama ahlussunnah tentang kehujahan Khilafah islamiyah. Tapi dia khawatir akan banyak makan waktu dan tempat. Maka,kami cukupkan satu sisi saja yang kami sampaikan yakni ijma' ulama tentang Khilafah.

ADANYA IMAMAH YANG MENAUNGI SELURUH UMAT ISLAM ADALAH WAJIB MENURUT IJMA'


PARA IMAM TELAH AKLAMASI (IJMA') bahwa wajibnya mengangkat seorang imamatul Uzma bagi seluruh umat Islam. hal ini ditegaskan oleh seorang ulama Mazhab Syafi'i mazhab nya para kyai di Indonesia Imam Abu Hasan Al Mawardi rahimahullahu ta'ala. Tetapi, ahlussunnah menyakini betapa pentingnya imamah dia bukanlah masalah Ushuluddin (Dasar agama dasar) , tetapi masuk zona furu'iyah,maka dari itu para ulama Kuwait memasukkan pembahasan khalifahan dalam al mausu'ah al fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah( ensiklopedi fiqih kwait). Adapun Syiah imamiyah mereka meyakininya sebagai bagian dari aqidah.

Imam Al Mawardi rahimahullah berkata: imamah kepemimpinan merupakan term bagi wakil kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. menegakkannya bagi manusia di tengah-tengah umat adalah wajib menurut ijma kecuali menurut Islam kecuali menurut Al-Ashomm yang telah menyimpang dari mereka . cuma,mereka  berbeda dalam kewajiban ini apakah wajib menurut akal atau syariat?
Lihat Di
👇
( Al ahkam as sulthaniyah halaman 3 mauqi' Al Islam)


Bahkan ijma ini bukan hanya bagi ahlussunnah, tetapi juga menurut kaum murji'ah Syi'ah dan khawarij.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Muhammad bin Hanzm rahimahullah dalam alfashl fil milal sebagai berikut,

Telah sepakat semua ahlussunnah semua murji'ah semua Syiah semua khawarij atas kewajiban adanya imamah dan sesungguhnya hukum mad wajib mengikatkan diri dengan pemimpin yang adil yang dapat menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan membimbing mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu Alaihi wasallam
Lihat Di

👇
(Al Fashl Fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal,1/451. Mawqi' Ruh Al Islam)

Syaekh Dr. Wahbah Az-Zuhaily Juga Menulis Demikian.

" Itu adalah ijma para sahabat dan tabiin telah atas wajibnya imamah hal ini dibuktikan dengan bersegera nya para sahabat secara langsung pada saat wafatnya Rasulullah shallallahu Alaihi wasallam sebelum mengurus jenazahnya.

Lihat Di
👇
(Asy-Syekh Wahbah Az-Zuhaily,Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu,8/278. Maktabah Misykah)

Demikianlah kewajiban Adanya Al Imamah adalah berdasarkan ijma para ulama'.

Apa yang dikatakan oleh Al Imam Al Mawardi dan Imam Ibnu hazm ini adalah dalam konteks kepemimpinan umum bagi umat Islam bukan kepemimpinan RT RW kepala dusun dan lain sebagainya sebab dia mengaitkannya dengan fungsi lembaga kepemimpinan sebagai penjaga agama dan pengatur dunia bagi yang membaca kitab nya ini akan mengerti bahwa Imam Al Mawardi sedang tidak berbicara tentang nation state tetapi Khilafah islamiyah. Ijma' ini sudah berlangsung sejak masa sahabat sebab ketika pengangkatan Abu bakar tak satupun yang menentang institusi kekhalifahan hingga diikuti oleh khalifah selanjutnya sampai runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1924 Masehi.

Walaupun umumnya kita menganggap masa-masa ideal hanya berlangsung pada masa Khulafaur Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz fakta terjemahan adanya Khalifah sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Mawardi Imam Ibnu Hasan dan syekh wahbah az Zuhaili merupakan koreksi atas pernyataan ketua PBNU yang dikutip dalam buku tersebut yaitu ilusii negara Islam,beliau menyebut wacana Khilafah islamiyah adalah gerakan politik bukan gerakan agama ( halaman 262).

dan belum pernah ada pernyataan ulama yang mengatakan bahwa menjalankan ijma merupakan gerakan politik hanya karena kebetulan muatan itu adalah berisi politik!

Dalam sumber pengambilan hukum Islam, ijma' merupakan salah satu sumber Islam yang harus diikuti dan ini sudah menjadi ketetapan para ulama ahlussunnah dari zaman ke zaman dan tentunya ratusan ulama yang disebut oleh tim penyusun bukan tersebut juga mengetahuinya.

Tentunya tim penyusun seharusnya mengetahui pula hal ini. Namun , agak sulit untuk meyakinkan pihak yang Alquran saja dikatakan sebagai produk budaya maka apalagi sikap mereka terhadap ijma'?


Ya, gunakanlah pendapat ulama yang selaras dengan nafsumu tetapi buanglah jauh-jauh pandangan ulama yang bertentangan dengan akal dan nafsu mu walau itu adalah Ijma'.

Kehujjahan ijma telah diakui semua umat Islam kecuali para pengikut hawa nafsu. berkata Imam Ibnu Ibnu Taimiyah,


" Ijma' telah menjadi kesepakatan antara umumnya kaum muslimin baik dari kalangan ahli fiqih sufi ahli hadits dan ahli kalam serta selain mereka secara global dan yang mengingkarinya adalah sebagian dari bid'ah seperti mu'tazilah dan Syiah".

saya tahu Imam Ibnu Taimiyah adalah nama yang tidak disukai oleh kalangan umumnya kyai NU Oleh karena itu tadinya saya enggan mengutipnya tetapi saya sadar bahwa buku ilustri ilusi Negara Islam ini dikeluarkan Atas Restu dan kata pengantar tokoh NU dan Muhammadiyah dan bukankah kelahiran Muhammadiyah disebut sebagai penerus dakwah Imam Ibnu Taimiyah dan syekh Muhammad bin Abdul Wahab? Sehingga, ketika buku ini menyerang Wahabi bukankah sama saja sedang menyerang Muhammadiyah kata bung Karno "jas merah" jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Baiklah,kalaupun tidak mau terima pendapat Imam Ibnu Taimiyah saya akan Kuti paparan seorang ulama madzhab asy-syafi'i mazhabnya para kyai di Indonesia YAITU Al Imam Al hafiz Al khatib Al Baghdadi. Beliau berkata :( Ijma') ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu diantara hujjah-hujjah syara dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan benarnya.

Allah ta'ala memerintahkan agar kita mengikuti ijma' dan bagi penentangnya disebut sebagai orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman yakni dalam firmannya:

" Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan Jalan orang-orang Mukmin kami biarkan ia leluasa terhadap kesehatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ( Quran surat an-nisa ayat :115)

Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Hasyim Asy'ari rahimahullah pendiri NU sebagai kewajiban mengikuti salah satu mazhab yang empat maka mengikuti ijtimak seluruh madzhab adalah lebih layak lagi untuk diwajibkan.

Dalam hadis juga disebutkan:

"SESUNGGUHNYAAllah ta'ala tidaklah menggemakan umatku dalam kesesatan dan tangan Allah bersama Al jamaah"

LIHAT 👇

(HR. At -Tirmidzi no 2255, SHOHIH,Lihat Shohihul Jami' no.1848)


Dan orang-orang yang mengingkari jemaah adalah penghancur dasar-dasar agama, sebagaimana kata Imam Az-Zarkhasih dalam kitab usul-nya, "orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma' sebagai hujjah maka mereka telah membatalkan Ushuluddin  (Dasar-dasar agama ) padahal lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah mereka Maka para mungkirul ijma (Orang Yang Mengingkari ijma' ) orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama."

maka bagaimana bisa keberadaan imamatun uzma khalifah yang telah ijma seluruh kelompok Islam ini dianggap tidak memiliki akar yuridis dalam Islam???

KEWAJIBAN AKAN ADANYA IMAM ATAU ASMA SUDAH TERLIHAT DARI DEFINISINYA

Dalam definisi yang disampaikan oleh Imam Al Mawardi sebenarnya sudah jelas kewajibannya.

Tertulis dalam al mausu'ah al fiqhiyyah Al Kwaitiyah ( ensiklopedi fiqih Kuwait) tentang makna Khilafah

("itu adalah kepemimpinan umum dalam agama dan dunia sebagai wakil dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dinamakan juga Al imamatul kubro")

Lihat 👇
(AL MAUSU'AH AL FIQHIYYAH AL KWAITIYAH,6/196. Wazarat Al Awqaf Wasy Syu'un Al Islamiyah)


Jika agama dan dunia wajib dijaga maka adanya penjaga  keduanya adalah wajib pula, yakni pemimpin (KHOLIFAH) Yang Berlandaskan Ajaran Islam,Al Qur'an dan Hadits,serta Ijma'.

Tertulis pula dalam kitab tersebut bahwa:

أما العامة فالمراد بها الخلافة أو الإمامة الكبرى ،وهي فرض كفايةٍ

"ADAPUN KEPEMIMPINAN UMUM ATAS SELURUH UMMAT ISLAM, MAKSUD NYA ADALAH KEKHILAFAHAN ATAU IMAAMATUL KUBRO, HUKUM NYA FARDHU KIFAYAH."

Lihat 👇
(AL MAUSU'AH AL FIQHIYYAH AL KWAITIYAH,6/196. Wazarat Al Awqaf Wasy Syu'un Al Islamiyah)

YA, DIA MEMANG FARDHU KIFAYAH sebab dalam satu wilayah Islam yang dibutuhkan hanya satu pemimpin besar imamatul kubro untuk semuanya. Keberadaannya adalah sebagai penjaga agama dan dunia mengaturnya dan memakmurkan nya dengan nilai kenabian dan rahmatan lil alamin sebagaimana disebutkan oleh Ad dahlawi ,Al Mawardi dan az-zuhaili, At-Taftazani.

Lihat👇👇👇👇👇
(Asy_ Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu,8/271.)

Ya, tim penyusun buku ilusi negara Islam menyangka bahwa film Islamiyah akan mengancam kemanusiaan dan menghancurkan NKRI, menjadi tempat bagi suburnya terorisme. Itu semua sama sekali tidak berdasar tuduhan tanpa bukti serta fitnah yang keji. Nampaknya pemikiran ini bukan analisa cerdas bukan nalar yang jernih sebagaimana klem yang mereka banggakan dan tidak layak keluar dari hasil kajian melelah kan 2 Tahun lamanya tetapi ini adalah analisa yang bermula dari paranoid akut khas orang liberal dan tendensius yang kelewat batas. Justru inilah ilusi bayangan sebenarnya yang menghantui pemikiran mereka sendiri, yang tidak menemukan bukti objektif apapun dalam kenyataan. Bagaimana mungkin mampu dibuktikan padahal Khilafah nya saja belum ada dan tidak pernah nah diberi kesempatan????


Jika mereka mengambil sampel adalah kekhalifahan masa-masa kekelaman dinasti-dinasti dalam Islam, tentu itu bukan contoh bukan pula obsesi justru itulah ilusi lain yang dibuat oleh mereka sendiri.


ketakutan luar biasa terhadap gerakan Islam dan penerapan Syariah pernah saya sangsikan langsung ketika masih kuliah karena saya sering berinteraksi dengan orang-orang seperti mereka saat itu. Mereka melecehkan jilbab tak peduli dengan adab dan akhlak Islam pergaulan pun lebih dekat ke kalangan kiri sangat mendukung kebebasan tanpa batas kalau bicara porno dan saya tahu benar mereka dahulunya adalah santri. Walau tingkah mereka ini tidak mewakili yang lainnya, dan masih ada yang baik dan tidak neko-neko. Tetapi, tipikal seperti ini selalu ada. Ya, cepat sekali siang menjadi malam.


("Al Khilafah Menuntut Adanya Seorang Kholifah")#

Minhajun Nabawi

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah


الحاضر خضم زاخر، تاريخ يعج بالتحديات. وجند الله لن يشقوا ذلك العباب إلى غد الإسلام إلا بعقيدة لا إله إلا الله، وأخلاقية لا إله إلا الله، وعقل تابع لوحي الله، ماض في تنفيذ أمر الله، على خطى رسول الله.
انقطاع كلي ضروري عن تفسخ الآخرين خلقا، وهجانتهم فكرا، وتبعيتهم حسا ومعنى.
وبقدر ما تكون وصلة جند الله بكلمة الله وسنة الله أقوى، تتضاءل في أعيننا العقبات والتحديات. ويكتسب الحاضر المعقد الثقيل الوطأة على الأمة إغراء فريدا للمجاهد الذي يجعل غاية أمانيه إحدى الحسنيين.
أعداء الإسلام يصفون لنا السم على أنه الدواء الناجع. يشيرون بِحِمْيَةِ «الانقطاع الإبستمولوجي» لِمَرِيضِنَا ليتم بتر الإسلام من كيان الأمة. ويجعلون هذا الانقطاع مقدمة ضرورية لنقلنا إلى منهاج اللاييكية والاشتراكية والثورية إلخ.
والمنهاج النبوي يبدأ أيضا بالانقطاع عن موارد الجاهلية فيما يرجع للعقيدة والخلق والذاتية ومنهاج العلم والعمل. ليكون الوحي مصدر فكرنا، وتكليف الله سبحانه وتعالى حافزنا للعمل، وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم رائدنا
25
دع قِصار الفهم، عن غباوة أو تَغَابٍ، يُسِفُّون عندما يلقنون الناس أن الإسلام رجوع لحضارة الجمل، وفكر الحيض والنفاس، استخفافا لعقول الناس، واستهزاء بأحكام الله، ومنها أحكام الحيض والنفاس التي تحتل مكانتها، وتبقى خالدة ما تُلي القرآن. وكل حكم من أحكام الله عز وجل جزء لا يتجزأ من المنهاج النبوي.
وردت كلمة «منهاج» في الكتاب والسنة:
قال الله عز من قائل: {وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً} (المائدة، 48). فسر عبد الله بن عباس رضي الله عنهما الشرعة بأنها ما جاء به القرآن، والمنهاج ما جاءت به السنة. فعلى هذا تكون الشريعة أو الشِّرْعَةُ أمرَ الله المنزل الضابط للتكليف وشروطه وأحوال المكلفين، ويكون المنهاج هو التطبيقَ العملي للشريعة، وإنزالَها على أحداث التاريخ في الإطار الزماني والمكاني والاجتماعي الاقتصادي السياسي المتغير المتطور، الذي تمثل السيرة النبوية نموذجا فذا له، لكن نموذجا حيا قابلا للتجدد في روحه وإن تنوع الشكل. وبهذا الفهم الواسع المتحرك للسنة يمكننا أن نتجاوز ضيق من يفهم السنة تكرارا حرفيا تعبديا للشكل، تكرارا يضيع معه ومن جرائه روح السنة وأهدافها. فما كان من السنة تعبدا من أقوال الرسول صلى الله عليه وسلم وأفعاله وتقريراته ثوابت لا يجوز عليها التحويل. وما كان منها سلوكا سياسيا ومعالجة لحياة الناس وسياسة للمال والجهاد دخل في

26
حيز الصناعة التي تستقي الحكمة من معين الوحي والنبوة، والحكمة العملية من خبرة التاريخ.
وهي صناعة يساعد على فهمها صيغة «مِفْعال» التي جاء عليها «منهاج» الدالة في لغة العرب على الآلة كمسمار، أو مجال الحركة كمضمار، أو أداة القسمة والعدل كميزان. سنة إذا هي المنهاج بشمولية قابلياتها في الفعل والحركة ووضع الأمور في مسارها الشرعي.
وفعل نهج وانتهج في اللغة يلحق معنى كلمةِ شرع واشترع. إذ كلاهما يحمل معاني الطريق والسلوك والسير.
فلننظر كيف جاءت كلمة «منهاج» في كلام النبوة لنستخلص منها مفتاح الطريق في رفقتنا هذه التي تنطلق من الإطلال على حاضرٍ مُرٍّ، وتتبع ما رسمه الوحي لتاريخنا الماضي والحاضر والمستقبل.
الحديث الأول:
روى الإمام أحمد رحمه الله بسند صحيح عن حبيب بن سالم رحمه الله عن النعمان بن بشير رضي الله عنه قال: «كنا قعودا في المسجد مع1 رسول الله عليه وسلم، وكان بشير رجلا يكف حديثه. فجاء أبو ثعلبة الخشني فقال: يا بشير بن سعد، أتحفظ حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأمراء؟
1 كذا في المسند. ولعل المتن يستقيم هكذا: في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم

27
فقال حذيفة: أنا أحفظُ خطبته. فجلس أبو ثعلبة. فقال حذيفة: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها. ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها. ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها. ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها. ثم تكون خلافة على منهاج النبوة. ثم سكت. قال حبيب: فلما قام (أي وَلِيَ الأمر، وأحتَفِظُ باستعمالهم لكلمة قام فلنا معها شأن) عمر بن عبد العزيز، وكان يزيد بن النعمان بن بشير في صحابته، فكتبت إليه بهذا الحديث أذكره إياه. فقلت له إني أرجو أن يكون أمير المؤمنين، يعني عمر، بعد الملك العاض والجبرية. فأدخل كتابي على عمر بن عبد العزيز، فسُرَّ به وأعجبه».
من خلال هذا الحديث النبوي تدخل كلمة منهاج لتؤدي وظيفتها الحركية، إذ تربط تاريخ انبعاث الأمة بعد أطوار الخلافة الراشدة الأولى، فالملك العاض، فالملك الجبري، باتباع المنهاج النبوي. والحديث يتضمن الوعد الصادق بأن الخلافة الراشدة تعود. يتشبث وهم التاريخانيين بنظرية «الحتمية التاريخية» التي لا سندَ علميا لها والتي انتهى أجلها مع موت الإديولوجيات في عصرنا، ويملأ هذا الوهم في تفكير المادي فراغا خلَّفَه كُفْرُهم بالقضاء والقدر. 
وهو هذا الحديث يجمع لنا
28
-1 شرع الله الذي يضمن الخلافة في الأرض لمن اتبع الهدي النبوي.
-2 قدر الله الذي يَكشف أطوارَه الوحيُ، وتبلغُ بشارتُه عمر بن عبد العزيز رحمه الله فيُسَرُّ، وتبلُغُنا فنُشَمِّرُ احتفاء بالبشرى، وتأهبا لورود القدر الموعود، توكلا منا، مع إعداد القوة، واتخاذ الأسباب، لا نعاسا وأحلاما.
الحديث الثاني:
نقل الإمام الشاطبي عن الحافظ البزار رحمهما الله رواية لهذا الحديث تشتمل على زيادة مهمة. جاء في كتاب الموافقات أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إن أول دينكم نبوة ورحمة. وتكون فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله جل جلاله. ثم يكون ملكا عاضا فيكون فيكم ما شاء الله أن يكون، ثم يرفعه الله جل جلاله. ثم يكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله جل جلاله. ثم تكون خلافة على منهاج النبوة تعمل في الناس بسنة النبي، ويُلْقِي الإسلام بِجِرَانِهِ (أي يتمكن في الأرض) في الأرض، يَرْضَى عنها ساكن السماء وساكن الأرض، لا تدع السماء من قطر إلا صبته مِدْراراً، ولا تدع الأرض من نباتها وبركاتها شيئا إلا أخرجته».
إن الفرق بين المؤمن الذي يسمع عن الله ورسوله ويعقل وبين صم العقلانية الكافرة أنَّ المؤمن العاقل بقلبه عن الله لا تنفصل في ذهنه ولا في عمله حركة الشرع الإلهي الآمر بالمغالبة والمقاتلة والجهاد والمدافعة لنصر الله عن سماعه بالإيمان والإيقان حديث القدَر المُنَزَّلَ به الوحي.
29
المحلل المادي لا يرى التاريخ البشري إلا صراع طبقات وعصبيات بمعزل عن السماء. والمسلم الخرافي يتحول إيمانه بالقدر انسحابا من ميدان العمل والمدافعة، فيتعطل لديه الحافز الشرعيُّ على عمل الصالحات. أما المؤمن الجامع بين النظرتين فلا تناقض لديه بين ما أمِرَ به وما قُدِّر عليه. يسعى جهده، ترتبت النتائج المنطقية على جهده أو تخلَّفَتْ. فهو بهذا طاقة فاعلة. وهكذا كان المرسلون والصديقون والشهداء والصالحون. ولا فرق بين خرافية الحالمين من المسلمين وخرافية معتقدي الحتمية التاريخية إلا أن عقيدة هؤلاء تُحْيِي فيهم جذوة الصراع وتُضْرِمُ ناره، بينما تقتل خرافية أولئك روح الجهاد.
حديث البزار رحمه الله يزيدنا توضيحا للخلافة الموعودة المرتقبة حيث يعرف المنهاج النبوي أنه: «عمل في الناس»، أي سياسة وحكم وتصرف اقتصادي وعدل اجتماعي، بسنة النبي. كما يزيدنا توضيحا لنتائج اتباع منهاج النبوة، من رضى ساكن السماء وساكن الأرض عنها، أي بركة الله واجتماع كلمة الأمة. ويصف لنا هذه البركة ازدهارا اقتصاديا ورخاء.
نكمل هذين الحديثين العظيمين بستة أحاديث لم تذكر فيها كلمة «منهاج» لكنها تبين للذين يومنون بالغيب فيهيئون له من الأسباب المشروعة ما يكفل نزول القدر مراحل تاريخ الأمة كما سُطِّرَتْ في الأزل وأخبر عنها الصادق المصدوق صلى الله عليه وسلم:


30
الحديث الثالث:
روى الشيخان وأبو داود رحمهم الله عن حذيفة رضي الله عنه قال: «كان الناس يسألون النبي صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني. فقلت يا رسول الله! إنا كنا في جاهلية وشر، فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال: نعم! قلت: وهل بعد ذاك الشر من خير؟ قال: نعم! وفيه دَخَن. قلت: وما دخَنُه يا رسول الله؟ قال: قوم يستنون بغير سنتي، ويهدون بغير هديي، تعرف منهم وتنكر. فقلت: فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال: نعم! دعاة على أبواب جهنم. من أجابهم قذفوه فيها. فقلت يا رسول الله! فما ترى إن أدركني ذلك؟ قال: تلزم جماعة المسلمين وإمامهم. قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: فاعتزل تلك الفِرَقَ كلّها ولو أن تَعَضَّ بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك».
هذا الحديث الشريف يزيدنا بيانا لمرحلة الملك العاض، وهو، والله أعلمُ، الملك الوراثي من لدن نهاية الخلفاء الأربعة الراشدين إلى سقوط الدولة العثمانية. ويزيدنا بيانا لمرحلة الملك الجبري وهو، والله أعلم، الحكم المستبد الذي يعرفه زمننا، وقد وصف رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحديث الأول والثاني المرحلة التالية بأنها ملك عاض. صفتان تخرجان الحكم عن دائرة السنة من حيث كونُه ملكاً لا خلافة، ومن حيث كونُه

31
عاضا أو عضوضا كما في بعض الروايات. والعض القهر والظلم. وفي الحديث الأول والثاني يصف المصطفى صلى الله عليه وسلم المرحلة التالية بأنها ملك جبرية. ملك كالأولى وجبر هو أشد من العض. في حديث حذيفة رضي الله عنه يتطابق الملك العاض مع مرحلة الخير الذي فيه دخَن. والدخن الكدَر. ولا ريب أن من ملوك الوراثة السابقين أفذاذاً قليلين كانوا رجال الإسلام، دافعوا وجاهدوا. فهم الخير في سلسلة الوراثة العاضة وهي الشر. ولا شك أن تلك الدول لم تتنكر للإسلام جهارا، رغم الفسق المستخفي والمفضوح، كما يتنكر له حكام هذا الزمان الذين يجهرون بالكفر. هؤلاء الحكام المرتدون علنا أو ضمنا منذ أتاتورك أحق من ينطبق عليهم اسم الدعاة على أبواب جهنم.
في هذا الحديث الثالث يوصي المعلم المعصوم صلى الله عليه وسلم كل مؤمن، من خلال وصيته لحذيفة رضي الله عنه، أن يلزم إن أدركه عهد أهل الجبرية، جماعة المسلمين وإمامهم وأن ينقطع عن تلك الفرق، عصابات الدعاة على أبواب جهنم. وانظر رحمك الله من حواليك كم حزبا لاييكيا لبراليا أو تقدميا اشتراكيا أو جماهيريا شعبيا يدعو الناس لنبذ الدين كِفاحاً أو يتلون على الدين نفاقاً، فمُعْضِل المؤمن الحريص على دينه أن ينجوَ من النار ودُعاتِها كما حَرَص حذيفة رضي الله عنه ألا يقع في الشر بعد الخير. هنا يُبَلِّغُ صوت النذير البشير صلى الله عليه وسلم المؤمن أن يلزم جماعة
32
المسلمين وإمامهم. فإن لم يكن جماعة وإمام فلا أقل من اعتزال فرق الضلال. وجماعة المسلمين اليوم وغدا لا تزال في طور التكوين وليداً ناشئا في أرجاء أقطار التجزئة. واجب المؤمن الحريص على دينه أن يساهم في إنشائها وتقويتها ودعمها استعدادا للمرحلة الموعودة، مرحلة ما بعد الملك الجبرية. وهي كما قرأنا في الحديثين الأول والثاني مرحلة الخلافة على منهاج النبوة. وللمؤمن الضعيف دائما رخصة الفرار بدينه يرعى غنمه في قُنَّة جبل ويدع الناس من شره كما جاء في الصحيح.
الحديث الرابع:
أخرج الإمام أحمد رحمه الله عن المقداد بن الأسود رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «لا يبقى على ظهر الأرض بيت مَدَرٍ ولا وَبَر (أي سكان الحضر والبادية) إلا أدخله الله كلمة الإسلام، بعِزِّ عزيزٍ أو ذُلِّ ذليلٍ. إما يعزهم عز وجل فيجعلهم من أهلها أو يذلهم فيدينون لها». ويروي الإمام أحمد رحمه الله الحديث من طريق آخر عن تميم الداري رضي الله عنه.
هذا الحديث يبشر بظهور الإسلام وعزته وانتشاره في الأرض انتشارا يعم ظهرها. وهذا ما لم يحدث بعدُ. ولعل الله عز وجل يذخر للآخرين رجال الخلافة الثانية مِثلَ ما يسر على يد الأولين
33
الحديث الخامس:
أخرج الإمام مسلم وأبو داود والترمذي رحمهم الله عن ثوبانَ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إن الله زوى لي الأرض، فرأيت مشارقها ومغاربها، وإن أمتي سيبلغ مُلكُها ما زوى لي منها». الحديث.
وهذا لما يحدث. لما يبلغ سلطان الإسلام -بعز عزيز أو ذل ذليل- مشارق الأرض ومغاربها. وسيحدث، وعد من الله ورسوله غير مكذوب. وينفسح أمام المؤمن أفق المستقبل مشعا. وما أشد ظلمة حسابات المستقبليين الذين يتخيلون «سيناريوهات» لمستقبل البشرية إذ يعتمدون على تدبيرهم وحذقهم. والمستقبلي المؤمن بين يديه وعد الله ورسوله ينير أمامه، فإنْ حَسَبَ وقدَّر واحتاط وخطط -وكل هذا واجب شرعي- فإنما يفعل على بينة من قَدَر ربه. وهذا فرق ما بين الذي يخبط في ظلام الأرقام والأوهام والذي تلقى كلمة الحق فهي له إمام.
الحديث السادس:
أخرج الإمام مسلم رحمه الله عن جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة. فينزل عيسى، فيقول أميرهم: تعال صل لنا.
34
فيقول: لا! إن بعضكم على بعض أمراء، تكرمة الله هذه الأمة».
هذه الرواية أخرجها الإمام مسلم رحمه الله في كتاب الإيمان من صحيحه. وفي كتاب الإمارة أخرج الحديث من تسع طرق يكمل بعضها متن بعض تفيد أن طائفة من الأمة لا تزال إلى يوم القيامة «ظاهرين على الحق» «لا يضرهم من خذلهم»، ولا من «خالفهم» ولا من «ناوأهم»، «قاهرين لعدوهم». وآخر رواية في كتاب الإمارة هي المسندة إلى سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا يزال أهل الغرب ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة». وقد فسر المحدثون «أهل الغرب» بأنهم العرب، قاله ابن المديني رحمه الله. وفسروه بأنهم أهل الشام أو أهل بيت المقدس أو أهل الدلو. وقال عياض رحمه الله: هم أهل الشدة والجَلَد. وذكر التادلي رحمه الله في مقدمة كتاب التشوف أن الحديث ورد في مسند بَقِيٍ بن مَخْلَدٍ رحمه الله، وهو كتاب تحت الطبع في الكويت، وعند الدارقطني رحمه الله بلفظ المغرب بميم قبل الغين1. فهل هو ما يسمى اليوم بالمغرب. وهل يجوز أن نقصر الخير في قطر دون قطر؟ نعم جاء في أحاديث صحاح تأكيد فضل أهل اليمن وأهل الشام وغيرهما. لكن نرجو أن تكون هذه الطائفة الموعودة المقاتلة على الحق المنتصرة القائمة على جهادها خلافة المنهاج النبوي أوسع دائرة وأعمق أثرا من أن يحصرها قطر.
1 في جل مخطوطات صحيح مسلم: لا يزال أهل المغرب بالميم
35
في حديث نزول عيسى عليه السلام أن بعضنا على بعض أمراء، ونحن يومئذ ظاهرون أي لنا دولة وشأن في العالم. هذا يزيدنا فهما للبشارة. وتخصص أحاديث كثيرة -بلغ بها بعض المحدثين سبعين حديثا و أكثر- فيها الثوابت الحسان، دولة الإسلام آخر الزمان بنعت الهداية، تخبرنا عن المهدي من آل البيت الذي «يملأ الأرض عدلا بعد أن ملئت جورا». من هذه الأحاديث ما رواه أبو داود والترمذي رحمهما الله عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «لو لم يبق من الدنيا إلا يوم واحد لطول الله ذلك اليوم حتى يبعث الله فيه رجلا مني -أو من أهل بيتي- يواطئ اسمه اسمي واسم أبيه اسم أبي، يملأ الأرض قسطا وعدلا كما مُلئت ظلما وجَوْراً». وهو حديث ثابت لا يقل عن درجة الحسن. وله عند أبي داود والترمذي وغيرهما رحمهم الله ظهائر كثيرة تقويه.
لكن الخطرَ كلّ َ الخطر في الفهم العامي لقيام المهدي الموعود. رجال قاموا في تاريخنا وتسموا مهديين ونفع الله بهم. معذورون إن اشرأبت أعناقهم للمزية الفريدة، ومعذور من قاتل عن الإسلام إلى جانبهم. وما هي إلا هَبَّات متتابعة التقى فيها الداعي المقتنع بقضيته بجمهور ينتظر. أما الانتظار البليد فهو الخطر. أن تبقى العامة في أحلام الانتظار وخموله دون النهوض والتشمير. ومن الفهم العامي أن يتصور الناس رجلا -بلغ ما بلغ من التوفيق والعلم والشجاعة والحيوية- يبرز فجأة والناس من حوله نيام خاملون

36
فتحدث المعجزة. ولن يبلغ أحد ولا معشار ما خص به محمد صلى الله عليه وسلم من التوفيق وكل خصال الخير. ومع خاصية النبوة والرسالة والعصمة فإن قيامه صلى الله عليه وسلم تدرج على سنة الله في النبيئين قبله، واندرج جهاده في تاريخ الأرض وهو صراع ومدافعة ومغالبة. ولن يكون المهدي الموعود، الذي نصدق به جميعا أيتها الأمة من شيعة وسنة، إلا لحظة من لحظات الجهاد والخلافة على منهاج النبوة. ربما يكون زمانُه قمة الجهاد والخلافة كما تدل على ذلك الأحاديث الثابتة عندنا وعند إخوتنا. لكن حياة رجل يجدد الله به أمة ويوحدها لا تكفي لتهيء الإحياء والتجديد والتوحيد. والفهم السليم لأخبار المهدي هو ذلك الفهم الذي لا يعزل القدرَ المنحدرةَ إلينا حقائقُه، روايةً، عن شرع الله الذي يطلب إلينا دراية الجهاد وضرورة إيقاظ الأمة وتعبئة الطاقات.
الحديث السادس الذي أوردناه يشد من عزمنا على طريق الخلافة على المنهاج النبوي، إذ أحْضَرَنَا مشهداً غيبيا يشهد لنا فيه المسيح عليه السلام أن إمامنا مِنَّا، تحقيقا لبشارة حبيبنا محمد صلى الله عليه وسلم بأن طائفة من الأمة لا تزال «ظاهرة» على الحق إلى يوم القيامة. والحديثان الرابع والخامس يفسران الظهور بأن الإسلام يعم أهل المَدَر والوَبَر، ويبلغ ملكُ هذه الأمة مشارق الأرض ومغاربها. وفي إطار هذه البشارة لا تتفرد أحاديث المهدي عن سياق القتال عن الدين والقوة في ذلك، حتى «لا يضرهم

37
من خذلهم وناوأهم»، وحتى يقهروا عدوهم. ففي هذا السياق لا تكتسي قيادة رجل موفق مهدي حلة السماوية المحلقة فوق الواقع المتعالية عليه. وإنما بعد جهاد تاريخي لأمة موعودة. ولحاجة الناس إلى تجسيد المعاني في رجل تبلورت همم أجيال المسلمين حول الانتظار. ونرجو أن يستيقظ هذا الانتظار من خمول القرون، وأن يتحرر من القفزات التاريخية باسم الهداية لينشط زحف الأمة إلى غدها المحقق وعدا من الله ورسوله.
الحديث السابع:
روى الإمام أبو داود والإمام أحمد رحمهما الله بسند جيد عن ثوبان رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «يوشك الأمم أن تَداعَى عليكم كما تَدَاعى الأكَلَةُ على قَصْعَتِها. فقال قائل: ومن قِلَّةٍ نحنُ يومئذ؟ قال: بل أنتم كثير، ولكنكم غُثاءٌ كغثاء السيل! ولَيَنْزِعَنَّ الله من صدور عدوكم المهابةَ منكم. ولَيَقذفنَّ الله في قلوبكم الوهْن. فقال قائل: يا رسول الله! وما الوهْن؟ قال: حب الدنيا وكراهية الموت».
هذا الحديث يوقظنا من الأماني المستقبلية لحاضر نعرف ما فيه من اتفاق عدونا على قتالنا حتى إننا قصعةٌ هنيئة يُحَلِّقُون حولها. ما أنصع بيانك يا سيدي يا رسول الله! ونعرف كثرتنا عددا وهواننا على عدونا هوانَ الغُثَاءِ. ونعرف جرأة عدونا علينا حتى يغزونا في عواصم أقطارنا فلا نحركَ ساكناً. يا لله لبَيروتَ ومظلومي فلسطين وضحايا أفغانستان!
38
ونعرف الوهْن –وهو كلمةٌ مِفتاحٌ- على شكل تخاذل قادة العرب والمسلمين واستسلامهم للعدو، بل تملُّقِهِم المَهِينِ على الأعتاب لتبقى الكراسي عليها أصنام طاغوتية تتماثل لتعبدها أمة التوحيد. ينبغي أن نزداد معرفة بكل هذه الأدواء لنتعلم كيف نستخلص النار من تحت الرماد، كيف نأكل بدل أن نترُكَ قادة الجبر يقدموننا لقمة سائغة للعدو، كيف نجند هذه الكثرة لتنهض بأعباء البناء، كيف ننفخ في الأمة نفَس العزة بالله، كيف نقتحم صروح العدو مفضلين الموت في سبيل الله على عيشة الهوان.
هذا الحديث يرجعنا إلى الأرض والزمان والحالة المزرية. والمسافة بعيدة بين الموعود المشرق والظلام المحدق. بين الأمة المقاتلة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وعهد الخلافة الراشدة الأولى وبين الأمة الغثائية اليوم. بدأ الانتعاش والحمد لله وبزغ فجر الصحوة. لكن الدعوة اليوم في طفولتها لا ترقى لرجولة المهاجرين والأنصار ومن زاحمهم في الصف واصطف بالمناكب. رغم بطولات مجاهدينا في أفغانستان وعرامة الثورة الإسلامية في إيران لا تزال السِّمَةُ السائدة في سواد الأمة الخمولَ والوهْنَ.
إن أمة الإسلام أمة تومن بالغيب، ولا هدي في القرآن لمن لا يومن بالغيب. وما آمن من آمن إلا بالغيب: بالله عز وجل وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر. كل ذلك غيب. غيب ينفعل له عالم الحس والشهادة بالإيمان الفاعل المحرك. تخاف الله وعقابه فتنفعل. ترجو جنته ورضاه فتنفعل.
39
يَحْيَى قلبُك بحب الله ورسوله وبتصديق وعدهما وترتفع همتك لتكون ممن يحبهم الله ويقربهم إليه فيَرتفع عملك وجهادك ليسامي جهاد السابقين وعملهم. والله عز وجل الفاعل لا غيره.
إن مما يثبط العزائم ويدخل اليأس في الأمة تراخيها عن منافسة السلف الصالح وتلذذها بذكرهم وتسليها بتقديس أمجادهم، تعويضا عن ضآلة الحاضر وهوانه، وتحولا عن مواجهة أنفسنا لنحملها محمل الرجال. يقرأ بعضنا الأحاديث النبوية التي تشير لفضل الصحابة وفضل القرون الأولى، وينسى أن يتلقى الأحاديث الواردة في فضل الأجيال اللاحقة بما تستحقه من فرح واستبشار وتحفز للجهاد. لذا نورد الحديث الثامن ونبرزه كما أبرزنا أحاديث الخلافة الثانية وقوة الطائفة المهدية الظاهرة، وانتشار الإسلام وانتصاره.
الحديث الثامن:
أخرج أبو داود رحمه الله عن أبي أمية الشعباني رحمه الله أنه سأل أبا ثعلبة الخشني رضي الله عنه قال: «ما تقول في هذه الآية: «عليكم أنفسكم»؟ قال: أما والله لقد سألت عنها خبيرا! سألتُ عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: بل ائتمروا بالمعروف وتناهوا عن المنكر. حتى إذا رأيت شحا مطاعا وهوى متبعا ودنيا مُؤْثَرَةً وإعجابَ كل ذي رأي برأيه فعليك -يعني بنفسك- ودع عنك العوام. فإن من ورائكم أيام الصبر، الصبر فيها

40
مثل قبض على الجمر. للعامل فيهم مثل أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله». قال أبو داود رحمه الله: وزادني غيره: قال يا رسول الله! أجر خمسين منهم؟ قال: أجر خمسين منكم».
هذا حديث صحيح أخرجه أيضا الترمذي وابن ماجة وابن حبان رحمهم الله. قال الترمذي رحمه الله: حديث حسن.
فيه حث على الائتمار بالمعروف والتناهي عن المنكر. وهما واجبان على الأمة وجوب كفاية، يُسْتثنَى من الوجوب من لا يستطيع أن يقوم نفسه وغيره. فذاك يفتح الحديث له رخصة التزام خُوَيْصَّةِ نفسه والابتعاد عن العامة. وتحت الحكم العاض والجبري انزلق مجال الوجوب الكفائي فأصبح استثناء وتحول الاستثناء المرخص للضعفاء قاعدة عامة. وهكذا عم الرضى بالظلم والخنوع لسلطان القهر والسيف.
في زماننا وصل الشح المطاع ذروته على شكل مستكبرين استأثروا بثروات الأمة. ووصل الهوى المتبع غايته بفشو الفجور والفسق والردة والفساد. واتسع الناس في الدنيا وتنافسوها ونسُوا الآخرة. وتنازعت السلطانَ على رقاب الأمة طوائفُ متشاكسة تستند إلى مدارس وثقافات دخيلة علينا. فما يجد طلاب العذر وملتمسو الرخص فرصة أبين من هذا ليستروا وَهْنَهم وراء تأويل الحديث النبوي.
أما من يحمل همم الرجال، ويتصدى لمهمات الرجال، ويحدث نفسه
41
بمزاحمة الرجال على باب الله الكريم الوهاب، فهي الغنيمة المثلى: أن يصبر في الواجهة ويقاتل لنصر الله، مقتحما وهج نيران الفتنة، ولفيح التيار الجاهلي الغازي، فيفوز بالعمل الفرد بأجر خمسين منهم رضي الله عنا وعنهم.
من الناس من يقرأ شطر الحديث ويقف عند رخصة الانزواء عن العامة، أي تطليق هم مصير الأمة. وتلزم جهود لنضع في بؤرة اهتمام هذه الأجيال هذه العزمة النبوية على شد القبضة والصبر ساعة على مرائر الجهاد. وإنها لمأدُبَةٌ من الله ما أكرمها! ولا ينهج منهاج النبوة من لا يصبر كما صبر الأولون ويعمل للذي عملوا
42
إحدى الحسنيين
النظرة الثورية الواردة المستوردة تركز على التكتيل والتعبئة وصراع الطبقات وما يواكب ذلك في قطار الإديولوجية محررة الإنسان في زعمها. وشباب المسلمين يحسون الظلم الواقع على الشعوب الإسلامية ويتفاعلون مع الناقم على الظلم ويلتفون حول الصارخ على الظلم، وتجيش عواطفهم فيتجندون تحت لواء الاشتراكية الثورية يلعب بهم المثقفون المغربون وطلاب الزعامات. ذلك أن غثائية الأمة ووهنها، وهما ناتجان عن قرون العض والجبر، فتتت العزائم الإيمانية وسكنت رياح الإيمان التي تحمل لعشاق الشهادة عبير الجنة.
واليوم برز المؤمنون لميدان الجهاد. فهم معرضون لعَدْوَى الحوافز الأرضية التي تسلح الأعداء وتدفعهم. فعلى اللسان تظهر عبارات الثورة والنضال وما إليهما. وفي النفوس يتسلل الحقد على العدو والاعتماد على مجرد الوسائل الأرضية. وفي الآمال يتخايل النصر على صورة رئاسة وعلو نبلغُهما باسم الإسلام. عَدْوَى مُهَدِّدَة لا بد من التماس المنعة ضدها.
لئن اتكل المسلمون على كثرتهم وحيلتهم وذكائهم يوشك أن لا يُغْنِيَهم ذلك من الله شيئا. من الممكن أن يبدأ تحركنا استجابة لموعود الله واستقبالا للخلافة الموعودة. ثم إذا توغلنا في المعركة ووقفنا وجها لوجه مع شاغلات المدافعة نسينا الله ورسوله، ونسينا طلبنا الأول، وذبنَا في طلب
43
الظهور حبا للظهور. ويومئذ لا تكون الخلافة على منهاج النبوة لأنَّ من بيدهم سيف السلطان نبذوا القرآن.
إن دولة القرآن ما هي معنى نازل من السماء. إنما هي نصر من الله يسعى على الأرض ممَثّلا في صف جند الله، وتنظيم جند الله، وتولي جند الله الخلافة في الأرض عن الله. ما داموا جنداً لله، عبيداً لله، طالبين وجه الله فهي الخلافة.
إن جند الله لا ينشأون نشأة عفوية على أخلاق الرجال وإيمان الرجال وعزائم الرجال وعبودية الرجال لله عز وجل. إنما تؤلفهم التربية، ويؤلفهم التنظيم، ويجمعهم ويوحدهم آصرة الإحسان. نذكر هنا بهذا الحق لكيلا ننسى أن تربية جند الله وتأليفهم مقدمة لكل عمل جهادي ينبري للعظائم. وقد كتبنا في الموضوع ما شاء الله من فهمنا «للمنهاج النبوي تربية وتنظيما وزحفا» في كتابنا الذي يحمل هذا العنوان. فليكن هذا مقررا. فإن هذا الكتاب الذي بين أيدينا مبني على ذاك. يشرحه ويكمله.
ونختم بوصف جند الله من كتاب الله وصفا جامعا.
قال الله تعالى: {إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ


BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH

BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN

<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >>  اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...