Rabu, 09 Oktober 2019

Sabar Dan Ikhlas dalam Syariat Islam

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah.


  1. Pentingnya Sabar dan Ikhlas dalam Hidup menurut al-quran dan hadits

Sabar dan ikhlas di rangkum menurut al-quran dan haditsSeluruh kata yang terdapat dalam kamus Islam, jika maknanya diambil dari al-Qur`an maka kita akan bisa memahami makna tersebut secara mendalam, yang dapat membantu kita dalam memahami Islam pada seluruh aspeknya, karena al-Qur`an adalah ajaran Islam itu sendiri.





Kata ikhlas -dalam tinjauan etimonologi- banyak sekali terdapat dalam al-Qur`an, di antaranya:


    Khaalish, yaitu bersih dan tidak dicampuri noda apapun. Seperti dalam firman Allah, “Ingatlah, hanya kepunyaaan Allah-lah agama yang bersih.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)




    Khalashuu, yaitu memproteksi diri. Seperti dalam firman Allah, “Maka tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik.” (QS. Yûsuf [12]: 80)




    Khaalishah, yaitu khusus untukmu, sebagaimana dalam firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shâd [38]: 46)




    Mukhlishan, yaitu orang yang ikhlas memperjuangkan agamanya hanya untuk Allah semata, dan tidak ada cela sedikit pun. Kadangkala kata mukhlishan dipadukan dengan kata mukhlishin. Seperti dalam firman Allah, “Katakanlah, ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’” (QS. Az-Zumar [39]: 14); 


“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’” (QS. Az-Zumar [39]: 11)



    Mukhlashan, kadangkala kata ini dipadukan dengan kata mukhalashin. Seperti dalam firman Allah, “Sesungguhnya dia adalah orang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19]: 51)

Setiap kata ikhlas dalam al-Qur`an pasti mengandung salah satu makna di atas.
Hakikat ikhlas -seperti yang akan kami bahas nanti- adalah berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah Swt. Apabila kata ikhlas dihubungkan dengan kaum muslimin, maka mengandung makna bahwa mereka berlepas diri dari klaim Yahudi tentang tasybih (penyerupaan Uzair dengan Allah) dan klaim Nasrani tentang tatliist (trinitas).

Agar kami bisa memperjelas makna ikhlas seperti yang terdapat dalam al-Qur`an, maka kami akan memaparkan beberapa ayat al-Qur`an yang menyinggung kata ikhlas.

Pertama: Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Tuhanku menyuruhku menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah), ‘Luruskanlah wajah kalian di setiap shalat dan sembahlah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kami pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali kepada-Nya).’” (QS. Al-A’râf [7]: 29)

Kata “al-Qisth” dalam ayat di atas berarti konsisten dan bijaksana. Makna ayat tersebut adalah, Allah memerintahkan kalian untuk beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. “Mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya.” Maksudnya, hendaknya kalian mengkihlaskan ketaatan kalian untuk mengharapkan keridhaan Allah.

Ibadah kepada Allah tidak dianggap benar kecuali sesuai dengan apa yang datang dari sisi Allah melalui sabda Nabi-Nya Rasulullah Saw., dan harus bersih dari segala bentuk penyekutuan.

Kedua: Allah Swt. berfirman, “Dan mereka yakin bahwa mereka telah (terkepung) bahaya, maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’” (QS. Yûnus [10]: 22)

Maksudnya tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Karena saat itu mereka tidak berdoa kepada selain Allah seraya berkata, “Jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur,” yang tidak menyekutukan-Mu dengan siapa pun.

Ketiga:Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur`an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih.” (QS. Az-Zumar [39]: 1-2)

Yakni Kami bersihkan agama ini dari syirik dan riya dengan tauhid dan mensucikan rahasia. Ajaklah manusia untuk melakukan hal itu dan beritahukanlah kepada mereka, bahwa ibadah tidak layak dipersembahkan kecuali kepada Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih,” yakni, Allah tidak menerima amal seseorang kecuali jika amal itu dipersembahkan hanya kepada-Nya. Tiada sekutu bagi-Nya.

Qatadah berkata, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih.” Yakni kalimat syahadat, tiada Tuhan selain Allah.

Keempat:Allah Swt. berfirman, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS. Ghâfir [40]: 14)

Maksudnya, murnikanlah ibadah dan doa kepada Allah Swt. serta jauhilah perilaku dan aliran orang-orang musyrik.

Kelima:Allah Swt. berfirman, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Ghâfir [40]: 56)

Maksudnya, Dialah Dzat Yang Mahahidup selama-lamanya. Dialah Yang pertama dan Yang terakhir, Yang zahir dan Yang batin. “Tiada Tuhan selain Allah,” maksudnya tiada yang sanggup menandingi dan menyukutukan Allah. “Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya,” maksudnya mengesakan Allah seraya berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah. “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Ada sekelompok kaum intelektual menyuruh orang yang berkata, “Tiada Tuhan selain Allah,” untuk mengiringinya dengan ucapan, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” Sebagai manifestasi pengimplimentasian ayat di atas.

Keenam: Allah Swt. berfirman, “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). Agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya itu).” (QS. Al-‘Ankabût [29]: 65-66)

Menurut mufassirin (para ahli tafsir), yang dimaksud dengan ayat “Mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya,” adalah mereka tampak seperti orang yang memurnikan agama karena Allah semata, dia itu termasuk bagian dari orang-orang mukmin yang aktivitasnya hanya mengingat Allah, dan dia tidak pernah memohon kepada selain Allah. “Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat,” dan Allah menempatkan mereka di daratan, dengan seketika mereka beriman kepada Allah setelah mereka dihantui rasa takut yang amat sangat. “Tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” Yakni kembali melakukan kesyirikan. “Agar mereka mengingkari nikmat yang Kami berikan dan agar mereka (hidup) bersenang-senang dalam (kekafiran),” Yakni kembali kepada kekufuran dan mengingkari nikmat berupa keselamatan, yang semata-mata hanya untuk mendapatkan kesenangan dan kelezatan. Berbeda dengan keadaan orang-orang mukmin yang mensyukuri nikmat Allah, ketika diberikan keselamatan maka mereka jadikan nikmat itu sebagai pemacu untuk meningkatkan ketaatannya.

Ketujuh: Allah Swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Apakah kalian memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian; bagi kami amalan kami, bagi kalian amalan kalian dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.'” (QS. Al-Baqarah [2]: 139)

Maksudnya, apakah kalian akan mendebat kami tentang Allah dan tentang terpilihnya Nabi dari Arab yang bukan dari golongan kalian, seraya kalian berkata, “Jika Allah menurunkan (wahyu) kepada seseorang, niscaya Dia juga menurunkan wahyu kepada kami.” Dia melihat bahwa kalian lebih berhak menyandang kenabian daripada kami. “Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian.” Kita sama-sama hamba-Nya, Dia adalah Tuhan kita. Dia mencurahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. “Bagi kami amalan kami, bagi kalian amalan kalian.” Maksudnya, amal itu merupakan asas daripada perintah. Jika kalian memiliki amalan, kami juga demikian. “Dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.” Yakni kami hanya mengesakan dan beriman kepada Allah, sedang kalian menyekutukan-Nya. Orang-orang yang ikhlas lebih patut mendapat kemuliaan dan lebih berhak mendapat cap kenabian daripada yang lainnya.

Kedelapan: Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (di tempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itulah adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisâ` [4]: 146-147)

Maksudnya, orang-orang munafik akan mendapatkan balasan atas kekafiran mereka yang busuk pada hari kiamat kelak. Mereka akan di tempatkan di bagian bawah Neraka Jahannam. Tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan mereka, dan tidak ada yang sanggup mengeluarkan mereka dari azab yang pedih. Namun demikian, barangsiapa yang bertaubat ketika berada di dunia, niscaya Allah akan menerima taubat dan penyesalannya, selama taubat yang dia lakukan benar-benar ikhlas dan dia memperbaiki amalnya. “Berpegang teguh kepada Allah dalam semua urusannya.” Yakni, mereka mengubah sikap riya menjadi sikap ikhlas sehingga dicatat sebagai amal shaleh, meskipun hanya sedikit.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Mu’az bin Jabal r.a., dia berkata, “Bahwa Rasulullah pernah bersabda, ‘Hendaknya kamu tulus ikhlas dalam mengerjakan agamamu. Itu sudah cukup bagimu meskipun hanya sedikit.'”

Ada juga lafadz ikhlas dalam al-Qur`an yang tidak menggunakan kata ikhlas, akan tetapi mempunyai makna ikhlas. Yang demikian itu banyak terdapat dalam al-Qur`an. Di antaranya yang tercantum di berbagai surat berikut ini:

    Surat Al-An’aam [6]: 163
    Surat Al-Israa` [17]: 111
    Surat Al-Furqaan [25]: 2
    Surat An-Nisaa` [4]: 125
    Surat Al-Kahfi [18]: 125

Dan surat-surat yang lainnya dalam al-Qur`an.

Semua ayat-ayat dalam al-Qur`an yang menyinggung kata ikhlas, maka itulah yang akan dijadikan acuan oleh kita dalam menjelaskan pengertian ikhlas serta menjabarkannya sedetail mungkin. Ayat-ayat tersebut yang akan memberikan pemahaman yang tepat, seperti yang diinginkan oleh Islam terhadap lafadz dan musytaq kalimat ikhlas, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas.

Sumber: Ruknul Ikhlas: Fii Majaalaati al-‘Amaal al-Islaami, karya Dr. Ali Abdul Halim Mahmud. Diterjemahkan oleh Hidayatullah dan Imam (Kuwais).


Pentingnya Ikhlas dan sabar

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk : 2).


al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)


Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, ”Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)


Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19).

Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)


Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, ”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)


Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, ”Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)


Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, ”Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)


Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)


Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)


Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, ”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)


Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)


Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).


Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
  
baca juga :
semoga bermanfaat artikel Pentingnya Sabar dan Ikhlas dalam Hidup menurut al-quran dan hadits

Adab Penuntut Ilmu Dalam Islam

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah.

Dapat Dari Blog Sebelah
Makna adab
Adab secara bahasa artinya menerapakan akhlak mulia. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan:
وَالْأَدَبُ اسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَبَّرَ بَعْضُهُمْ عَنْهُ بِأَنَّهُ الْأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ
“Al adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinsikan, adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia” (Fathul Bari, 10/400).
Dalil wajibnya menerapkan adab dalam menuntut ilmu
Dalil-dalil dalam bab ini ada mencakup:
1. Dalil-dalil tentang perintah untuk berakhlak mulia
Diantaranya:
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أكملُ المؤمنين إيمانًا أحسنُهم خُلقًا
“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Tirmidzi no. 1162, ia berkata: “hasan shahih”).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّما بعثتُ لأتمِّمَ مَكارِمَ الأخلاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 45).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ أثقَلَ ما وُضِع في ميزانِ المؤمِنِ يومَ القيامةِ خُلُقٌ حسَنٌ وإنَّ اللهَ يُبغِضُ الفاحشَ البذيءَ
“Sesungguhnya perkara yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang Mu’min adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. At Tirmidzi no. 2002, ia berkata: “hasan shahih”).
2. Dalil-dalil tentang perintah untuk memuliakan ilmu dan ulama
Diantaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya” (QS. Al Hajj: 30).
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al Hajj: 32).
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al Ahzab: 58).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ
“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari no. 6502).
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي
“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali” (diriwayatkan Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i, dinukil dari Al Mu’lim hal. 21).
Urgensi adab penuntut ilmu
1. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong mendapatkan ilmu
Abu Zakariya An Anbari rahimahullah mengatakan:
علم بلا أدب كنار بلا حطب، و أدب بلا علم كروح بلا جسد
“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh” (Adabul Imla’ wal Istimla’ [2], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [10]).
Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan:
بالأدب تفهم العلم
“Dengan adab, engkau akan memahami ilmu” (Iqtidhaul Ilmi Al ‘Amal [31], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).
Sehingga belajar ada sangat penting bagi orang yang mau menuntut ilmu syar’i. Oleh karena itulah Imam Malik rahimahullah mengatakan:
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu” (Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17])
2. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong berkahnya ilmu
Dengan adab dalam menuntut ilmu, maka ilmu menjadi berkah, yaitu ilmu terus bertambah dan mendatangkan manfaat.
Imam Al Ajurri rahimahullah setelah menjelaskan beberapa adab penuntut ilmu beliau mengatakan:
حتى يتعلم ما يزداد به عند الله فهما في دينه
“(hendaknya amalkan semua adab ini) hingga Allah menambahkan kepadanya pemahaman tentang agamanya” (Akhlaqul Ulama [45], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [12]).
3. Adab merupakan ilmu dan amal
Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian dari ilmu, karena bersumber dari dalil-dalil. Dan para ulama juga membuat kitab-kitab dan bab tersendiri tentang adab menuntut ilmu. Adab dalam menuntut ilmu juga sesuatu yang mesti diamalkan tidak hanya diilmui. Sehingga perkara ini mencakup ilmu dan amal.
Oleh karena itu Al Laits bin Sa’ad rahimahullah mengatakan:
أنتم إلى يسير الأدب احوج منكم إلى كثير من العلم
“Kalian lebih membutuhkan adab yang sedikit, dari pada ilmu yang banyak” (Syarafu Ash-habil Hadits [122], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).
4. Adab terhadap ilmu merupakan adab kepada Allah dan Rasul-Nya
Sebagaimana dalil-dalil tentang memuliakan ilmu dan ulama yang telah kami sebutkan.
5. Adab yang baik merupakan tanda diterimanya amalan
Seorang yang beradab ketika menuntut ilmu, bisa jadi ini merupakan tanda amalan ia menuntut ilmu diterima oleh Allah dan mendapatkan keberkahan. Sebagian salaf mengatakan:
الأدب في العمل علامة قبول العمل
“Adab dalam amalan merupakan tanda diterimanya amalan” (Nudhratun Na’im fi Makarimi Akhlaqir Rasul Al Karim, 2/169).
60 adab penuntut ilmu syar’i
Berikut ini 60 adab-adab bagi penuntut ilmu syar’i yang kami sarikan dari kitab Al Mu’lim fi Adabil Mu’allim wal Muta’allim karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif Alu Asy Syaikh rahimahullah.
  1. Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Semata-mata hanya mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan tujuan duniawi. Seorang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi diancam dengan adzab neraka Jahannam.
  2. Hendaknya memiliki percaya diri yang kuat.
  3. Senantiasa menjaga syiar-syiar Islam dan hukum-hukum Islam yang zahir. Seperti shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam kepada yang dikenal maupun tidak dikenal, amar ma’ruf nahi mungkar, dan bersabar ketika mendapatkan gangguan dalam dakwah
  4. Berakhlak dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang dianjurkan dalam nash-nash syariat. Yaitu hendaknya penuntut ilmu itu: zuhud terhadap dunia, dermawan, berwajah cerah (tidak masam), bisa menahan marah, bisa menahan gangguan dari masyarakat, sabar, menjaga muru’ah, menjauhkan diri dari penghasilan yang rendahan, senantiasa wara, khusyuk, tenang, berwibawa, tawadhu’, sering memberikan makanan, iitsar (mendahulukan orang lain dalam perkara dunia) namun tidak minta didahulukan, bersikap adil, banyak bersyukur, mudah membantu hajat orang lain, mudah memanfaatkan kedudukannya dalam kebaikan, lemah lembut terhadap orang miskin, akrab dengan tetangga
  5. Senantiasa menunjukkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam gerak-geriknya, pakaiannya dan seluruh cara hidupnya
  6. Senantiasa merutinkan adab-adab Islam dalam perkataan dan perbuatan, baik yang nampak maupun tersembunyi. Seperti tilawah Al Qur’an, berdzikir, doa pagi dan petang, ibadah-ibadah sunnah, dan senantiasa memperbanyak shalawat
  7. Membersihkan dirinya dari akhlak-akhlak tercela, seperti: hasad (dengki), riya, ujub (kagum pada diri sendiri), meremehkan orang lain, dendam dan benci, marah bukan karena Allah, berbuat curang, sum’ah (ingin didengar kebaikannya), pelit, bicaranya kotor, sombong enggan menerima kebenaran, tamak, angkuh, merasa tinggi, berlomba-lomba dalam perkara duniawi, mudahanah (diam dan ridha terhadap kemungkaran demi maslahat dunia), menampakkan diri seolah-olah baik di hadapan orang-orang, cinta pujian, buta terhadap aib diri, sibuk mengurusi aib orang lain, fanatik golongan, takut dan harap selain kepada Allah, ghibah, namimah (adu domba), memfitnah orang, berdusta, berkata jorok.
  8. Menjauhkan diri dari segala hal yang rawan mendatangkan tuduhan serta tidak melakukan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah.
  9. Zuhud terhadap dunia dan menganggap dunia itu kecil, tidak terlalu bersedih dengan yang luput dari dunia, sederhana dalam makanannya, pakaiannya, perabotannya, rumahnya.
  10. Menjaga jarak dengan para penguasa dan hamba-hamba dunia, dalam rangka menjaga kemuliaan ilmu. Sebagaimana dilakukan para salaf terdahulu. Jika memang ada kebutuhan untuk itu maka hendaknya ketika ada maslahat yang besar disertai niat yang lurus.
  11. Sangat-sangat menjauhkan diri dari perkara-perkara bid’ah, walaupun sudah menjadi kebiasaan mayoritas orang.
  12. Perhatian dan fokus utamanya adalah mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk akhiratnya. Menjauhkan diri dari ilmu yang tidak bermanfaat.
  13. Mempelajari apa saja yang bisa merusak amalan, kemudian menjauhinya.
  14. Makan makanan dengan kadar yang sedikit saja, dari makanan yang halal dan jauh dari syubhat. Ini sangat membantu seseorang untuk memahami agama dengan baik.
  15. Banyaknya makan menyebabkan kantuk, lemah akal, tubuh loyo, dan malas.
  16. Mempersedikit makan makanan yang bisa menyebabkan lemah akal dan memperbanyak makanan yang menguatkan akal seperti susu, mushtoka, kismis dan lainnya.
  17. Mempersedikit waktu tidurnya, selama tidak membahayakan tubuhnya. Hendaknya tidur sehari tidak lebih dari 8 jam. Tidak mengapa penuntut ilmu merelaksasikan jiwa, hati, pikiran dan pandangannya jika merasa lelah (dalam aktifitas belajar) atau merasa lemah untuk melanjutkan. Dengan melakukan refreshing dan rekreasi sehingga ia bisa kembali fit dalam menjalankan aktifitasnya lagi. Namun tidak boleh membuang-buang waktunya untuk itu (liburan).
  18. Senantiasa bersungguh-sungguh untuk menyibukkan diri dengan ilmu, baik dengan membaca, menelaah, menghafal, mengulang pelajaran dan aktifitas lainnya
  19. Aktifitas-aktifitas yang lain dan juga sakit yang ringan, hendaknya tidak membuat seorang penuntut ilmu bolos menghadiri kajian atau lalai dari membaca dan mengulang pelajaran.
  20. Bersungguh-sungguh untuk bersuci dari hadats dan najis ketika menghadiri kajian, badan dan pakaiannya dalam keadaan bersih serta wangi. Menggunakan pakaiannya yang terbaik, dalam rangka untuk mengagungkan ilmu.
  21. Bersungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari sikap minta-minta kepada orang lain walaupun dalam kondisi sulit
  22. Mempersiapkan diri, memikirkan dan merenungkan hal yang ingin disampaikan sebelum diucapkan agar tidak terjatuh dalam kesalahan. Terlebih jika ada orang yang hasad kepadanya atau orang yang memusuhinya yang akan menjadikan ketergelincirannya sebagai senjata.
  23. Tidak bersikap sombong dengan enggan mengambil ilmu dan faidah dari orang yang lebih rendah kedudukannya atau lebih muda usianya atau lebih rendah nasabnya atau kurang populer atau lebih rendah ilmunya dari kita
  24. Tidak malu bertanya tentang masalah yang belum diketahui
  25. Taat kepada kebenaran dan rujuk kepada kebenaran ketika keliru, walaupun yang mengoreksi kita adalah penuntut ilmu pemula
  26. Meninggalkan debat kusir dan adu argumen
  27. Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran hati, agar hatinya bisa menerima ilmu dengan baik
  28. Memanfaatkan dengan baik waktu-waktu senggang dan waktu-waktu ketika badan fit. Juga memanfaatkan dengan baik waktu muda dan otak masih cemerlang.
  29. Memutuskan dan menghilangkan hal-hal yang menyibukkan sehingga lalai dari menuntut ilmu, atau penghalang-penghalang yang membuat menuntut ilmu tidak maksimal
  30. Senantiasa mengedepankan sikap wara (meninggalkan yang haram, makruh dan syubhat) dalam semua hal. Memilih makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang dipastikan halalnya.
  31. Mengurangi sikap terlalu banyak bergaul, terutama dengan orang-orang yang banyak main-mainnya dan sedikit seriusnya. Hendaknya ia tidak bergaul kecuali dengan orang-orang yang bisa ia berikan manfaat atau bisa mendapatkan manfaat dari mereka.
  32. Bersikap hilm (tenang) dan anah (hati-hati dalam bersikap) serta senantiasa sabar
  33. Hendaknya senantiasa bersemangat dalam menuntut ilmu dan menjadikan aktifitas menuntut ilmu sebagai rutinitasnya di setiap waktunya, baik ketika tidak safat ataupun ketika safar
  34. Hendaknya memiliki cita-cita yang tinggi untuk akhirat. Tidak hanya puas dengan sesuatu yang sedikit jika masih mampu menggapai yang lebih. Dan tidak menunda-nunda dalam belajar, bersemangat mencari faidah ilmu walaupun sedikit
  35. Tidak berpindah ke kitab yang lain sebelum menyelesaikan dan menguasai kitab yang sedang dipelajari
  36. Tidak mempelajari pelajaran yang belum dimampui. Belajar dari yang sesuai dengan kadar kemampuannya
  37. Selektif dalam memilih guru. Carilah guru yang mapan ilmunya, terjaga wibawanya, dikenal keistiqamahannya, bagus pengajarannya.
  38. Memandang gurunya dengan penuh pemuliaan dan penghormatan
  39. Memahami hak-hak gurunya, senantiasa ingat akan keutamaan gurunya, dan bersikap tawadhu’ di hadapan gurunya
  40. Senantiasa mencari keridhaan gurunya, merendahkan diri ketika ingin mengkritik gurunya, tidak mendahului gurunya dalam berpendapat, mengkonsultasikan semua masalah dengan gurunya, dan tidak keluar dari arahan-arahannya
  41. Memuji ceramah dan jawaban-jawaban gurunya baik ketika ada gurunya atau ketika sedang tidak ada
  42. Menghormati gurunya dengan penuh pengagungan, senantiasa mengikuti arahannya, baik ketia beliau masih hidup ataupun ketika beliau sudah wafat. Senantiasa mendoakan beliau. Dan membantah orang yang meng-ghibah beliau.
  43. Berterima kasih kepada gurunya atas ilmu dan arahannya
  44. Bersabar dengan sikap keras dari gurunya atau terhadap akhlak buruknya. Dan hal-hal ini hendaknya tidak membuatnya berpaling dari belajar ilmu dan akidah yang lurus dari gurunya tersebut.
  45. Bersegera untuk menghadiri majlis ilmu sebelum gurunya hadir
  46. Tidak menghadiri majlis sang guru di luar majelis ilmu yang diampunya, kecuali atas seizin beliau
  47. Hendaknya menemui gurunya dalam keadaan penampilan yang sempurna, hatinya tidak sibuk dengan hal-hal lain, jiwanya lapang, pikiran juga jernih. Bukan ketika sedang mengantuk, sedang marah, sedang lapar, haus atau semisalnya
  48. Tidak meminta gurunya untuk mengajarkan kitab di waktu-waktu yang menyulitkan beliau
  49. Tidak belajar kepada guru di waktu-waktu sang guru sedang sibuk, bosan, sedang kantuk, atau semisalnya yang membuat beliau kesulitan memberikan syarah (penjelasan) yang sempurna
  50. Jika menghadiri majelis ilmu, namun gurunya belum datang, maka tunggulah
  51. Duduk di majelis ilmu dengan penuh ada, penuh tawadhu, dan khusyuk
  52. Duduk di majelis ilmu dalam keadaan tidak bersandar pada tembok atau pada tiang.
  53. Memfokuskan dirinya untuk memandang gurunya dan mendengarkan perkataan gurunya, memikirkannya benar-benar sehingga gurunya tidak perlu mengulangnya.
  54. Tidak menengok ke arah lain kecuali darurat, dan tidak menghiraukan suara-suara lain kecuali darurat. Tidak meluruskan kakinya. Tidak menutup mulutnya. Tidak memangku dagunya. Tidak terlalu banyak menguap. Tidak membunyikan dahaknya sebisa mungkin. Tidak banyak bergerak-gerak, hendaknya berusaha tenang. Jika bersih hendaknya merendahkan suaranya atau menutupnya dengan sapu tangan
  55. Tidak meninggikan suaranya tanpa kebutuhan dan tidak berbicara kecuali darurat. Tidak tertawa-tawa kecuali ketika kagum jika tidak kuat menahan tawa hendaknya tersenyum saja.
  56. Ketika berbicara kepada gurunya hendaknya menghindarkan diri dari gaya bicara yang biasa digunakan kepada orang secara umum
  57. Jika gurunya terpeleset lisannya, atau gurunya menjelaskan perkara yang agak vulgar, jangan menertawakannya atau mencelanya
  58. Tidak mendahului gurunya dalam menjelaskan suatu masalah atau dalam menjawab pertanyaan
  59. Tidak memotong perkataan gurunya atau mendahuluinya dalam berbicara, dalam pembicaraan apapun
  60. Jika ia mendengar gurunya menjelaskan suatu faidah atau suatu pelajaran yang ia sudah ketahui, maka dengarkanlah dengan penuh gembira, belum pernah mengetahuinya sebelumnya
  61. Hendaknya tidak bertanya yang di luar konteks bahasan
    Tidak malu untuk bertanya kepada gurunya atau meminta penjelasan tentang hal yang belum ia pahami
Demikian paparan singkat mengenai adab menuntut ilmu. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah untuk mengamalkannya.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

Selain Khilafah Salah, Jangan Marah Dulu

Aku Berharap Dan Berdo'a Ummat Islam Segera Bersatu Dalam Satu Jama'ah Al Khilafah.

Duhai Saudaraku Seiman Dan SeAqidah Yang Saya Cintai Karna Allah SWT Dan Rasulnya ,,,AGAR TEGAKNYA HUKUM ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA DI MUKA BUMI YANG INI HAQ MUTHLAQ MILIK ALLAH SEMATA ...SAYA SAMPAIKAN BAHWA:::::::

Saya Katakan Dengan Jelas Bahwa Selain KHILAFAH (Khilafatulmuslimin)=KhilafahMilikKaumMuslimin). "Adalah Salah", Namun Bukan Bermakna Pengikut Jamaah Selain KHILAFAH Adalah Ahli Neraka, Dan Saya  Katakan Pula Bahwa,Tidak Juga Pasti Ummat  Yang Sudah Bersatu Dalam Khilafah Itu Masuk Surga,,,

Sebab Yang Menentukan KAUM MUSLIMIN masuk Surga Atau Tidak nya Adalah Haq Mutlak Milik Allah SWT.

Dan Perlu Di Ketahui Bahwa KHILAFAH itu Sarana Tempat Bersatu nya Ummat Islam Sedunia,Bukan Syarat Muthlaq Untuk Ummat Bisa Masuk Surga...

Dan dapat kita fahami bahwa Siapapun Orang nya Dan Di Dalam Jama'ah Apapun ,Jika Semasa hidupnya Seseorang Di Peruntukan Untuk Meninggikan Kalimat Allah SWT,Dan Membela Ajaran RASULULLAH, Kemudian Ia Naza' Dan Mengucapkan Kalimat Tauhid,Dan Allah Ridho Atas nya ,,, Sudah Pasti Kita Dapat perkirakan Bahwa seorang muslim tersebut , Insyaallah Akan Masuk Surga,Dan Jika Sebaliknya, Tentu pun Kita Dapat Memperkirakan ,Akan Di Manakah Tempat Tinggal Seorang Hamba Tersebut Kelak Di Yaumil JAZAA'....

ALLAH MUSTA'IINUM BI 'ABDIHID TUQOH
الله مستعن بعبده التقاة
Allah Selalu Menolong HAMBANYA YG Bertaqwa(Takut, Patuh Kepada Allah)

Aqidah Tentang Isytiwa'-Nya Allah SWT

AQIDAH Ahli Sunnah NU Terkait Allah SWT Ber Istiwa' Di Atas Arsy

ILMU TAUHID

Bolehkah Mengatakan Allah Bersemayam di Atas Arasy?

Ahad 26 Agustus 2018 12:30 WIB
Bagikan:
Bolehkah Mengatakan Allah Bersemayam di Atas Arasy?
Memiliki maklum dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah bahwa Allah mengizinkan jisimatau eksistensi fisikal yang memiliki volume. Tak dapat dihitung jumlah ulama yang memustahilkan makna fisikal ( jismiyah ) dari Allah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan sepenuhnya mengatakan:

إن الأسماء مأخوذة من الشريعة واللغة, وأهل اللغة وضعوا هذا الاسم - أي الجسم - على ذي طول وعرض وسمك وتركيب وصورة وتأليف, والله خارج عن ذلك كله - أي منزه عنه - فلم يجز أن يسمى جسما لخروجه عن معنى الجسمية, ولم يجىء في الشريعة ذلك فَبَطلَ

"Sesungguhnya istilah-istilah yang diambil dari peristilahan syariah dan peristilahan, bahasa ahli ahli yang berlaku istilah ini (jisim) untuk sesuatu yang memiliki panjang, lebar, tebal, susunan, bentuk dan hubungan, Allah yang berbeda dari itu semua. Maka dari itu, tidak boleh mengatakan bahwa Allah adalah jisim sebab Allah tak punya makna jismiyah . Dan, istilah itu juga tidak ada dalam istilah syariat, maka batal menyifati Allah demikian " (Abu al-Fadl at-Tamimy, I'tiqâd al-Imam al-Munabbal Ahmad bin Hanbal, 45).

Lalu bagaimana dengan suatu pertanyaan yang terbilang lumrah di telinga penduduk Indonesia bahwa Allah bersemayam di atas Arasy? Bolehkah mengatakan Allah bersemayam sementara bersemayam adalah tindakan fisikal yang hanya bisa dilakukan oleh jism (materi)?

Jika kita membaca Al-Qur'an terjemahan Kementerian Agama dari surat at-Taha ayat 5 berikut:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

Maka akan kita dapati terjemahannya adalah: "Tuhan Yang Mahapemurah yang bersemayam di atas 'Arasy". “Bersemayam di atas 'Arasy adalah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya”. (Lihat: Al Qur'an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama)

Bila kita terima begitu saja terjemahan ini jelas sekali: Ya, Allah bersemayam. Sederhana saja, tak sesederhana ini. Kita tidak dapat membahas masalah aqidah hanya berdasarkan pada terjemahan saja alasan dapat membuat terjemahannya tidak tepat. Dan, tentu saja cara seseorang menerjemah tergantung pada mazhab yang ia anut sehingga terjemahan satu orang bisa berbeda dengan yang lain, ditambahkan ini terkait dengan ayat Al-Qur'an yang memang kaya makna.

Ayat ini menggunakan redaksi istawayang diterjemahkan sebagai "bersemayam". Bila kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersemayam berarti: duduk, berkediaman, tinggal atau jika konteksnya adalah bersemayam dalam hati, maka maknanya adalah terpatri dalam hati. Dengan demikian, dapat dipahami dalam bahasa Indonesia, kalimat “bersemayam di atas 'Arasy” artinya duduk, berdiam atau tinggal di atas Arasy. Kesemua makna ini tanpa diragukan adalah makna jismiyah yang dibutuhkan jauh-jauh dari Allah karena tak pantas bagi kesucian-Nya.

Makna duduk sendiri dikecam sangat keras oleh Imam Syafi'i, bahkan hingga level yang dianggap kafir. Imam Syafi'i menerbitkan diriwayatkan oleh Qadli Husain menjelaskan apa yang dianggap sebagai berikut:

ومن كفرناه من أهل القبلة: كالقائلين بخلق القرآن, وبأنه لا يعلم المعدومات قبل وجودها, ومن لا يؤمن بالقدر, وكذا من يعتقد أن الله جالس على العرش; كما حكاه القاضي الحسين هنا عن نص الشافعي.

“Orang yang kami kafirkan dari kalangan orang yang shalat adalah: mereka yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah hasil dari, bahwa Allah tak mengerti apa yang terjadi sebelumnya, juga orang yang tak percaya takdir, demikian juga orang yang mengatakan bahwa Allah duduk di atas Arasy . Seperti diriwayatkan oleh Qadli Husain dari diskusi literal Imam Syafi'i. ”(Ibnu ar-Rif'ah, Kifâyat al-Nabîh untuk Syarh at-Tanbîh , juz IV, halaman 23).

Tentang vonis kafir terhadap aliran sesat di atas sebenarnya merupakan hal yang disetujui di tengah-tengah ulama, namun semua yang ada di atas adalah sesat. Bagaimana tidak sesat, katakanlah Allah duduk di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah telah menyetujui yang melekat di atas Arasy; mengatakan Allah tinggal atau berdiam di Arasy sama saja dengan mengatakan bahwa Allah punya volume dan ukuran fisik sehingga pasti Allah juga menciptakan. Kesemuanya sama sekali berhasil bagi Allah dan Maha Suci Allah dari semua itu. 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mengatakan Allah bersemayam di atas Arasy adalah persetujuan yang tidak tepat. “Bersemayam di atas 'Arasy adalah salah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya” dapat ditanyakan bagaimana bersemayam yang mereka maksudkan bersemayam dalam arti duduk, tinggal atau berdiam yang kesemuanya tidak layak bagi kebesaran dan kesucian Allah, tetapi makna lain yang layak bagi-Nya.

Namun demikian, harus dipilih yang diksi yang dipilih oleh tim penerjemah Kementerian Agama ini kurang tepat sebab kata bersemayam tak punya arti lain dalam kamus bahasa Indonesia selain makna jismiyah tersebut. Diksi yang kurang tepat ini memunculkan salah paham bagi orang awam. Padahal, dalam bahasa Arab kata istawa tak selalu berisi jismiyah , namun bisa diartikan bermacam-macam sesuai konteksnya. 

Hal ini berbeda kasusnya dengan kata " yad " yang oleh Kementerian Agama diterjemahkan sebagai "tangan". Meskipun kata "tangan" juga berkonotasi jismiyah , namun dalam KBBI kata ini tak hanya membahas tangan sebagai organ tubuh tetapi juga bisa juga sebagai non- jismiyah seperti arti kekuasaan, meminta dan memperbolehkan penerjemahan kata " yad " menjadi "tangan" lebih bisa dimaklumi. Yang sebaliknya paling aman adalah tidak menerjemah kata-kata yang membentuk sifat khabariyah ini, tetapi menerima apa adanya yang lalu yang berisi catatan tentang berbagai makna yang pantas bagi Allah.


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember

Tag:
Bagikan:
SABTU 25 AGUSTUS 2018 17: 0 WIB
Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah
Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah
Seluruh kaum muslimin mendukung bahwa Allah Mahabesar. Kemahabesaran Allah diucapkan berkali-kali dalam sehari dengan bacaan “ Allahu Akbar ” yang menunjukkan ikrar yang tak lebih besar dari Allah. Tapi bagaimanaakah kemahabesaran ini harus dimaknai?

Salah Satu kaidah hearts membahas Sifat Allah Adalah larangan membahasnya seperti membahas TENTANG materi ( Jism ). Kemahabesaran Allah adalah salah satu sifat Allah yang berhak milik-Nya yang dapat diperbandingkan dengan perbandingan dengan komposisi mana pun. Allah sudah Mahabesar sejak waktu belum berjalan dan sejak seluruh alam tercipta, tetap Mahabesar saat penciptaan-penciptaan tercipta dan tetap Mahabesar sampai kapanpun. Kemahabesaran Allah tidak dapat dimaknai sebagai ukuran fisik yang dapat kita memaknai seluruh hal di jagat raya ini yang semuanya serba material.

Jika kita membahas materi, maka materi mana saja yang bisa dikompilasi ukurannya lebih besar daripada lebih banyak menghabiskan ruang dibandingkan materi lain. Dari sinilah muncul rasio perbandingan antara materi yang satu dengan materi yang lain. Kita bisa membandingkan rasio antara mikroba dengan manusia, antara manusia dan planet bumi, antara planet bumi dengan sistem tata surya, antara sistem tata surya dengan galaksi, antara ini dan itu. Demikianlah cara kita membahas kebesaran seluruh materi di dunia ini; seluruhnya dari perspektif ukuran fisikal atau volume.

Namun apa mulianya yang besar dalam arti ukuran fisik? Apakah semua ukuran itu merupakan batasan? Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan mengenai masalah "besar". Kita tahu bahwa secara fisik tak perlu lebih dari sekadar volume tanpa kemuliaannya, sebagaimana yang diharapkan untuk disembah. Jika sesuatu berhak diagungkan dan disembah hanya karena ukurannya yang besar, maka tentu mikroba dibenarkan untuk menyembah manusia; Manusia juga dibenarkan kompilasi menyembah matahari dan bintang-bintang sebab hal itu memang jauh lebih besar atau dengan kata lain Mahabesar “rasio ukurannya” dibandingkan manusia. Tapi dikembalikan, semua ini salah setuju menurut Al-Qur'an dan Hadits yang memvonis semua yang ukurannya besar sebagai sesat. Sebesar apapun entitas fisik ( jism ),

Bila kita memaknai kebesaran Tuhan dengan perspektif material ini, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah memiliki ukuran dari ujung ke ujung. Kalau Allah punya ukuran yang lalu lalu siapa yang menentukan ukurannya atau yang mendesainnya seperti itu? Bila yang menentukan ukurannya adalah entitas lain artinya Allah punya sekutu, bahkan punya Tuhan yang membentuknya. Bila yang menentukan adalah diri-Nya sendiri maka berarti Allah berevolusi. Bila berevolusi berarti pastilah bukan Tuhan. Ini pertanyaan yang diajukan mengada-ada, pertanyaan yang diajukan naluriah seperti yang diminta al-Qur'an agar kaum muslimin kritis terhadap berbagai objek wisata

Ibnu Mandhur, pakar bahasa terkemuka dalam kitab Lisân al-'Arab-nya mengartikan batasan fisik ( hadd ) sebagai berikut:

وَمُنْتَهَى كُلِّ شَيْءٍ: حَدُّه

"Ujung segala sesuatu adalah hadd / batasannya". (Ibnu Mandhur, Lisân al-'Arab, juz III, 140)

Lantas jika demikian pengertiannya, apakah Allah punya batasan fisik? Ahlusussunnah Wal Jama'ah menyetujui mengatakan: Tidak !. Imam Ahmad, mengumumkan dinukil oleh Syaikh Abu Fadl at-Tamimi yang menjadi salah satu Imam Hanabilah di masanya, yang mengatakan:

والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش, وكان ينكر- الإمام أحمد - على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلها محدودة. 

Allah Ta'ala mengambil alih perubahan dan pergantian. Juga tidak memiliki batasan-batasan fisik sebelum Arasy terciptanya dan tidak juga setelah Arasy terciptanya. Imam ahmad juga mengingkari orang yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di segala tempat sebab semua tempat terbatas "(Abu Fadl at-Tamimi, I'tiqâd Imam Ahmad , 41)

Senada dengan itu, Imam di-Thahawi ini yang merupakan rujukan standar Ulama Asy'ariyah (Ahlussunnah Wal Jamaah) juga melibatkan:

وتعالى عن الحدود والغايات ، والأركان والأعضاء والأدوات ، لا تحويه الجهات كسائر المبتدعات

"Maha Suci Allah dari batas-batas ukuran dan ujung-ujung, juga dari segi tak-tak dan anggota badan. Dia tak diliputi berbagai arah seperti halnya menemukan seluruh hal yang baru". (at-Thahawi, Matn al-'Aqîdah at-Thahâwiyah )

Banyak sekali para ulama yang juga menafikan keberadaan fisik, baik besar atau kecil, atas Allah. Di antara mereka ada Imam ar-Razi, al-Baji, Ibnul Arabi, Ibnul Jauzi, al-Qurthuby, al-Baidhawi, an-Nawawi dan lain-lain yang merupakan rujukan umat.

Lalu diputuskan kemahabesaran Allah tidak bisa diselesaikan dalam perspektif ukuran yang pasti terbatas, lalu bagaimana Ahlussunnah memahaminya? Berikut penjelasan Imam al-Ghazali dalam al-Maqshad al-Asna tentang makna sifat al-Kabir :

الْكَبِير هُوَ ذُو الْكِبْرِيَاء والكبرياء عبارَة عَن كَمَال الذَّات وأعني بِكَمَال الذَّات كَمَال الووج 

Al-Kabîr (Mahabesar) maksudnya adalah yang harus keagungan ( kibriya ' ). Keagungan sendiri harus sesuai dengan kesempurnaan dzat. Yang saya maksud kesempurnaan Dzat adalah kesempurnaan eksistensi". (Imam al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnâ , 109)

Kesempurnaan Dzat atau eksistensi diterima oleh Imam al-Ghazali yang melengkapi dua pengertian sebagai berikut:

Sebuah. Al-Kabar dalam arti sudah lama ada. Dalam konteks manusia, mereka disebut kabîr kompilasi wujudnya sudah lama atau dengan kata lain sudah tua. Dalam arti inilah istilah " syaikhun kabîr " dalam al-Qur'an 28:23, maksudnya adalah orang yang sudah tua. Ketika kompilasi membahas Allah, maka makna ini lebih berarti dengan sifat al-Qadîm atau al-Awwal , yaitu membahas-Nya jauh sekali sudah ada sebelumnya semua yang terkait sebab Allah memang tidak punya awal mula. Dalam makna ini, Allah jelas adalah Akbar (paling kabîr ) dari semua hal di jagat ini, dalam artian paling lama sesuai dengannya.

b. Al-Kabar dalam arti hebat. Istilah ini dipakai dalam peristilahan berbagai bahasa di dunia. Istilah "orang besar" dalam bahasa Indonesia dimaksudkannya adalah orang hebat. Demikian juga dengan istilah "bos besar" dalam bahasa Inggris. Buat ini juga yang diusulkan oleh QS. Yusuf: 80, yang mana kata " kabîruhum " di sana bukan yang paling penting fisiknya atau yang paling tua umurnya, tetapi yang paling hebat ilmu dan akalnya. Besar dalam makna ini sama sekali tidak ada yang disetujui dengan ukuran fisik. Dalam makna ini, sudah jelas bahwa Allah adalah Akbar (paling Kabîr ) dari semua hal yang ada, dalam artian paling hebat dan paling berkuasa.

Demikianlah makna kemahabesaran Allah dalam perspektif Aswaja. Berbeda dengan orang-orang yang memaknai kata besar secara fisik, artinya ini sekali tak punya cacat, baik dengan nash, bahasa penuh atau akal. Wallahu a'lam


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember


JUMAT 24 AGUSTUS 2018 16:30 WIB
Maksud 'Keterpisahan Allah dari Seluruh Makhluk'
Maksud 'Keterpisahan Allah dari Seluruh Makhluk'
Dalam banyak pernyataan ulama salaf, ditemukan suatu keterangan bahwa Allah ﷻ terpisah ( bâ'in ) dari seluruh penemuan. Beberapa orang salah paham dengan makna kata “terpisah” ini. Mereka menyangka yang terpisah secara fisik atau ada jarak secara fisikal antara Tuhan dan makhluk. Di antara yang salah paham adalah Syekh Ibnu Taymiyah yang menyatakan:

وقد اتفق سلف الأمة وأئمتها: على أن الخالق تعالى بائن من مخلوقاته ليس في ذاته شيء من مخلوقاته ولا في مخلوقاته شيء من ذاته. والسلف والأئمة كفروا الجهمية لما قالوا إنه في كل مكان وكان مما أنكروه عليهم: أنه كيف يكون في البطون والحشوش والأخلية? تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ. فَكَيْفَ بِمَنْ يَجْعَلُهُ نَفْسَ وُجُودِ الْبُطُونِ وَالْحُشُوشِ والأخلية وَالنَّجَاسَات

"Sudah menjadi kesepakatan umat dan ulama salaf bahwa Allah Ta'ala terpisah dari penciptaannya. Tak ada dalam Dzat-Nya sesuatu pun dari koleksi-hasil dan tak ada dalam koleksi-temuannya sesuatu dari Dzat-Nya. Para Salaf dan para Imam mengafirkan Jahmiyah tatkala mereka mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat. Dan, di antara argumen mereka untuk menentang Jahmiyah adalah: Bagaimana Allah bisa berada di perut, kebun dan toilet? Maha Suci Allah dari itu semua. Lalu bagaimana dengan orang yang menjadikan Allah sebagai perut, kebun, toilet, najis dan kotoran itu sendiri? ”. (Ibnu Taymiyah, Majmû 'al-Fatâwâ , juz II, halaman 126)

Jadi, dalam pandangan Ibnu Taymiyah di atas, dan juga pandangan kelompok pendaku salafi dewasa ini, keterpisahan ( mubâyanah ) Allah adalah keterpisahan secara fisik antara Dzat Allah dan Dzat rupa. Dalam benak mereka, bila Allah mengambil terpisah dari arti Allah yang ada di dalam diri menciptakan, termasuk di dalam toilet, dalam kotoran dan yang diperlukan bagi Allah. Pengertian Penyanyi tentu bermasalah sebab Berarti Allah dianggap sebagai Jism (Susunan materi) sehingga can terpisah Beroperasi Fisik DENGAN Makhluk Yang Seluruhnya Berbentuk Fisik pula. Hanya dua jism yang mampu membuat jarak satu sama lain sehingga bisa disebut terpisah.

Sementara Ahlussunnah wal Jama'ah sama sekali menolak makna demikian alasan ini merupakan kemustahilan bagi Allah. Seperti dibahas sebelumnya, Allah tak can dikatakan tersambung ATAU terpisah DENGAN alam sebab Allah bukanlah Jism sehingga tak relevan mengatakan ITU. Secara khusus tentang sifat keterpisahan ( mubâyanah ) ini, Imam al-Baihaqi (458 H) menukil dan membenarkan sesuai ketentuan yang ditentukan berikut:

والقديم سبحانه عال على عرشه لا قاعد ولا قائم ولا مماس ولا مباين عن العرش, يريد به: مباينة الذات التي هي بمعنى الاعتزال أو التباعد, لأن المماسة والمباينة التي هي ضدها, والقيام والقعود من أوصاف الأجسام, والله عز وجل أحد صمد لم يلد ولم يولد وَلَمْ [ص: 309] يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ، فَلَا يَجُوزُ عَلَيْهِ مَا يَجُوزُ عَلَى الْأَََََِِِِِْ

"Allah Yang Maha Qadim, Tinggi di atas Arasy, tidak duduk dan tak berdiri, tak diatur dan tak terpisah dari Arasy. Yang dia maksud adalah keterpisahan Dzat dalam makna yang terpisah dan terpisah karena kebalikannya, begitu pula berdiri dan duduk adalah sifat-sifat jism . Sementara Allah Maha Esa, tak beranak dan tak diperanakkan dan tak ada yang setara dengan pun-Nya. Maka tak bisa dikembalikan diberikan apa pun yang boleh diberikan untuk jism ”. (Imam al-Baihaqi,  al-Asmâ 'wa as-Shifât , juz 2, halaman 308)

Bagi yang tidak terbiasa dengan kajian ilmu tauhid, tentu saja hal ini agak disetujui. Untuk menyederhanakan masalah, sebenarnya kata بائن atau مباينة dalam bahasa Arab memiliki dua arti yang berbeda. Arti pertama adalah terpisah secara fisik. Makna yang ditolak oleh Ahlussunnah wal Jamaah karena Allah tidak membentuk fisik. Arti kedua berbeda dalam arti betul-betul tak sama. Makna kedua inilah yang dikehendaki ulama salaf dari kalangan Ahlussunnah kompilasi mereka mengatakan bahwa Allah bâ'in 'an al-khalq (terpisah / berbeda dari hasil).

Syekh Ibnu Khaldun (808 H), menjelaskan perbedaan makna dalam kitab Târîkh -nya sebagai berikut:

إنّ المباينة تقال لمعنيين: أحدهما المباينة في الحيّز والجهة ، ويقابله الاتّصال. ونشعر هذه المقابلة على هذه التّقيّد بالمكان إمّا صريحا وهو تجسيم ، أو لزوما وهو تشبيه من قبيل الله وقد نقل مثله عن بعض علماء السلف من التّصريح بهذه المباينة ، فيحتمل غير هذا المعنى. ومن أجل ذلك أنكر المتكلمون هذه المباينة وقالوا: لا يقال في البارئ أنه مباين مخلوقاته, ولا متصل بها, لأن ذلك إنما يكون للمتحيزات ... وأما المعنى الآخر للمباينة, فهو المغايرة والمخالفة فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويته ووجوده وصفاته. ويقابله الاتّحاد والامتزاج والاختلاط. وهذه المباينة هي مذهب أهل الحقّ كلّهم من جمهور السّلف وعلماء الشّرائع والمتكلّمين والمتصوّفنامان

“Sesungguhnya mubâyanah disetujui bagi dua makna. Makna yang pertama adalah keterpisahan dalam batasan dan arah, ini adalah lawan kata dari ketersambungan fisik. Kita menyadari Ungkapan Penyanyi Dari keterkaitannya DENGAN Tempat, apabila Beroperasi gamblang dinyatakan Maka Berarti tajsîm (meyakini Allah Adalah Jism ). Atau hanya terdiri dari perubahan , maka itu adalah tasybîh dari sisi yang ditentukan sebagai Arah untuk Tuhan. Telah dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan mubâyanah ini, maka dikeluarkan bukan makna yang diminta. Karena berhubungan, para ahli kalam mengingkari mubâyanahdalam arti ini dan berkata: Allah tak boleh dibiarkan terpisah dari peran-Nya dan tak juga terkait dengan sebab-sebab hal itu hanya berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan fisik. ... Menjadi makna yang berbeda bagi mubâyanah adalah perbedaan dan ketidaksamaan. Karena itu diberikan Allah yang berbeda dari koleksi-koleksi-Nya dalam hal Dzat, hakikat, dan sifat-sifatnya. Makna ini adalah lawan kata menyatu, bercampur, dan larut. Mubâyanah dalam arti ini adalah mazhab orang-orang yang benar, adalah dari antara yang bersengketa salaf, ulama ahli fikih, ahli kalam, dan ahli tasawuf yang awal-awal seperti pengarang kitab Risâlah (Imam al-Qusyairi) dan orang-orang yang dicari-cari ” (Ibnu Khaldun,  Târîkh Ibnu Khaldûn , juz I, halaman 615).

Dengan demikian, jelaslah yang menyatakan bahwa Allah “terpisah” dari perbedaan pendapat tentang Allah yang berbeda dalam hal Dzat, hakikat, dan sifat-sifatnya dari setiap temuan yang ada. Bukan berarti ada jarak fisik yang bisa ditentukan dengan satuan jarak (seperti kilometer, mil, dan sebagainya) antara Allah dan membuat. Begitu pula, dengan arguentasi yang sama, keyakinan sebagian kecil orang yang menyangka bahwa Allah menyatu dengan manusia adalah keyakinan yang keliru. Wallahu a'lam.


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember

KAMIS 23 AGUSTUS 2018 15:30 WIB
Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya?
Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya?
Ada satu pertanyaan yang populer di kalangan para teolog Muslim. Pertanyaan ini menjadi kontroversi karena berkaitan dengan aqidah dan bahkan menjadi salah satu poin pembeda antara Ahlussunnah wal Jama'ah dan golongan lain. Pertanyaannya adalah: Apakah Allah berada di luar alam ataukah di dalam?

Pertanyaan ini sebenarnya adalah jebakan yang dijawab dengan salah satu dari jawaban yang tersedia, maka pasti akan salah. Jika kita mengatakan bahwa Allah berada di alam, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah bertempat dan bercampur dengan-Nya di alam dunia ini. Akan tetapi kompilasi kita mengatakan bahwa Allah di luar alam, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah terbatas di dalam ruang dan arah tertentu. Jadi, kedua jawaban ini dapat dipastikan salah dan dikembalikan untuk Tuhan yang diminta-Nya tidak terbatas dalam ruang atau waktu.

Karena merupakan para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah mengatakan bahwa Allah tidak di alam luar dan tidak juga di dalamnya. Imam Ibnul Jauzi (597 H) menjelaskan:

وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه لأن الدخول والخروج من لوازم المتحيزات 

“Demikian juga dibahas tentang Allah yang tidak berada di dalam alam dan juga tidak berada di luarnya karena di dalam atau di luar yang termasuk dalam kaitannya dengan perbedaan-perbedaan”. (Imam Ibnul Jauzi, Daf'u Syubahi at-Tasybîh , 130)

Senada dengan itu, Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini (471 H) juga mengatakan:

وأن تعلم أن الحركة والسكون والاتصال والانفصال .. 

"Engkau harus tahu tentang gerakan, diam, bersambung, berpisah sepenuhnya tidak mungkin bagi Allah Ta'ala sebab semua itu mewujud akibat perbatasan dan ujung". (Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini, at-Tabshîr fî ad-Dîn , 97) 

Meskipun banyak ulama yang menjelaskannya, namun banyak juga orang yang tidak dapat menjelaskan penjelasan di atas sehingga menyangka ucapan "tak di dalam dan tak di luar" dirancang pada penafian terhadap eksistensi Tuhan. Bagi mereka, jika tak di dalam alam dan tak di luarnya berarti sama dengan mengatakan tak ada. Akhirnya mereka membantah ini sekuat tenaga, seperti yang juga dilakukan oleh Salafi di era modern ini dalam buku-buku mereka.

Sebenarnya bukan hanya orang yang bingung, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (504 H) menjelaskan bahwa di masanya juga ada orang yang bingung dengan istilah ini sehingga menolaknya. Dia berkata:

إن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الأقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل ولا منفصل عنه; قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته 

“Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Suci dari tempat, ujung, arah dan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luarnya. Tidak juga Ia bersambung dan tidak juga terpisah dari alam. Akal sebagian besar kelompok menjadi bingung karena mereka tidak mampu mendengar dan mengetahuinya ”. (Imam Al-Ghazali,  Ihyâ 'Ulûm ad-Dîn , juz IV, halaman 434)

Meskipun mengetahui bahwa Allah tidak berada di alam atau di luarnya adalah aqidah yang sangat penting, namun ulama Ahlussunnah wal Jama'ah tetap memaklumi orang-orang pada umumnya yang tidak paham, sebab ini adalah perkara yang memang dapat digunakan oleh orang-orang dengan dukungan rasio yang standar. Imam Izzuddin bin Abdissalam (660 H), yang terkenal dengan julukan Sultanul Ulama, mengatakan:

فإن اعتقاد موجود ليس بمتحرك ولا ساكن ولا منفصل عن العالم ولا متصل به, ولا داخل فيه ولا خارج عنه لا يهتدي إليه أحد بأصل الخلقة في العادة, ولا يهتدي إليه أحد إلا بعد الوقوف على أدلة صعبة المدرك عسرة الفهم فلأجل هذه المشقة عفا الله عنها في حَقِّ الْعَادِي.

“Sesungguhnya percayaini ada eksistensi yang tidak bergerak juga tidak, tidak bertempat di dalam dan juga tidak terpisah dari alam, tidak bersambung dengan alam, tidak diikatkan dan tidak juga di luarnya, adalah ucapan yang tidak dapat diakses oleh orang lain dengan dukungan yang dapat dilihatnya. Juga takkan ada yang mengerti kecuali setelah memahami dalil-dalil yang sulit dipahami dan dipahami. Karena kesulitan inilah, maka Allah mengampuni orang pada umumnya yang tak mengerti ”. (Izzuddin bin Abdissalam,  Qawâ'id al-Ahkâm untuk Mashâlih al-Anâm , juz I, halaman 201)

Sementara jika mau berpikir sederhana saja, tidak ada yang rumit dari istilah ini. Allah tidak bisa mengungkapkan di alam atau di alam luar atau bersambung atau terpisah dengan sebab alam Allah memang bukan jism (materi) sehingga tidak relevan mengatakan itu semua yang menjadi ciri khas jism .

Ini sama saja dengan pertanyaan "apakah batu sebongkah adalah lelaki atau perempuan?" Sama juga dengan pertanyaan “Apakah suka kambing cerdas atau bodoh?” Menjawab cerdas atau bodoh dua-duanya salah sebab kambing memang tidak punya rasio. Jadi, yang salah dari semua ini adalah pertanyaannya. Andai sejak Awal dipahami bahwa Allah ﷻ Bukan Jism , Maka Pertanyaan seperti ITU tak akan membingungkan. Wallahu a'lam .


Abdul Wahab Ahmad , Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Centre PCNU Jember

BUKAN NEGARA ISLAM YANG MENJADI TUJUAN, KHILAFAH ADALAH BUKTI PENGAGUNGAN MANUSIA KEPADA ALLAH

BAI'AT UMMAT ISLAM YG BERSEDIA TUNDUK DAN PATUH PADA AL JAMAA'AH KHILAFATUL MUSLIMIN

<< 48:11 Surat Al-Fath Ayat 10 (48:10) 48:9 >>  اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَ...